Mohon tunggu...
Dina Purnama Sari
Dina Purnama Sari Mohon Tunggu... Dosen -

There is something about Dina... The lovely one...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resensi Novel "Milea: Suara dari Dilan" Sarat Moral dan Pengetahuan

2 Oktober 2016   21:30 Diperbarui: 4 April 2017   16:37 3363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aneh. Menurut lu, kenapa sih novel Dilan itu bisa laku? Klo menurut gue sih, isinya biasa aja, ya kisahnya menye-menye begitu. Kisah cinta abegeh yang... Bla, bla, bla." Komentar tersebut hanya ditanggapi dengan senyum oleh temannya yang berjenis kelamin sama, perempuan dan nampaknya usia mereka masih belasan tahun. Keduanya menenteng plastik berisikan beberapa buku yang telah mereka beli dan mungkin salah satu buku yang mereka beli juga terdapat di stan Mizan yang ramai pengunjungnya. Tak hanya ramai pengunjung, tapi pembelinya juga dan saya termasuk di antara mereka. Lumayanlah, saya mendapatkan diskon tiga puluh persen untuk setiap tiga novel yang saya beli. Nanti, insya Allah akan saya buat resensinya satu per satu di sini. Sabar, ya.

Uhuk! Saat mendengar komentar dari salah seorang remaja perempuan yang juga mengunjungi salah satu stand di Indonesia International Book Fair (IIBF), Sabtu siang menjelang sore, 1 Oktober 2016, saya hanya tersenyum dan tercekat. Yups, senyum karena target novel yang ingin saya beli tercapai. Alhamdulillah.  Tercekat karena tidak semua pembaca menyukai novel karangan Pidi Baiq, utamanya serial Dilan. Yo wislah, 'nggak apa-apa.  Adapun, IIBF telah diselenggarakan pada tanggal 28 September-2 Oktober 2016, di Assembly Hall Jakarta Convention Center, Jakarta. 

Baiklah. Setibanya di rumah, usai bersih-bersih diri dan shalat, saya membuka novel "Milea: Suara dari Dilan" terlebih dahulu. Novel yang berisikan beberapa bab itu memang sarat moral dan pengetahuan. Pastinya, berbeda dengan kedua seri Dilan terdahulu yang banyak kesalahan dalam ejaan. Seri Dilan yang ketiga kali ini lebih tertib dan santun dalam penyusunan kalimatnya. Ya, walaupun masih ada pemborosan kata dalam beberapa kalimatnya. Salah satunya terdapat dalam halaman 14 , paragraf ketiga, baris kedua,"... banyak momen-momen berharga..." yang seharusnya cukup "... banyak momen berharga..." atau "...momen-momen berharga...." Akan tetapi, sudahlah, saya tidak akan membahas hal-hal berkaitan dengan teknis penulisan karena nanti malahan akan seperti membahas "1001 kesalahan berbahasa", salah satu buku 'sakti' yang pernah saya miliki dan pelajari saat kuliah di Jatinangor, Sumedang dan Dago Atas, Bandung. 

Yup, saya akan berbagi mengapa tetap semangat membeli dan melahap serial Dilan hingga tuntas. Hal itu karena tak hanya jauh lebih baik dari segi ejaan, faktor kedekatan geografis Dilan dan Milea dengan saya pada tahun 1990-an, namun juga sarat moral dan pengetahuan. Sang penulis, Pidi Baiq, yang akrab dipanggil ayah oleh para follower dan fansnya, sungguh penulis cerdas yang terkadang kosakata dan alur yang dipilihnya membuat saya 'termenye-menye'. Duh, entah apa arti yang benar untuk 'termenye-menye'. 

Sarat moral dan pengetahuan. Tak hanya mengenai pengakuan Dilan terhadap perasaannya kepada Milea tapi juga sarat moral dan pengetahuan. Dari novel ini, saya seolah diingatkan kembali akan beberapa pengetahuan yang telah lama saya lupakan, salah satunya mengenai pentingnya menangis. Hal itu karena airmata yang mengalir di pipi adalah kelenjar yang diproduksi oleh proses lakrimasi untuk membantu membersihkan dan melumasi mata kita. 

Pelajaran pentingnya airmata terdapat pada pelajaran biologi (halaman 19). Jadi, secara tidak langsung, Pidi Baiq memberikan ilmu pengetahuan dalam novelnya, tak hanya kisah cinta remaja laki-laki dengan perempuan. Belum lagi, moral yang dikandung dalam novel ini sungguh dalam. Jika menurut Milea, geng motor yang dimiliki Dilan adalah geng motor yang luar biasa namun tidak demikian halnya dengan Dilan. Bagi Dilan, geng motornya itu biasa saja dan dia tidak menempatkan perkelahian sebagai hal yang penting tapi untuk melakukan perlawanan karena terlebih dahulu diserang dan alhamdulillah Dilan berani melakukan hal tersebut.

 Istilahnya, kalau ada yang (maaf) mengatakan Anda anjing, maka kamu harus gigit dia karena katanya kamu itu anjing. Hadeuh, pernyataan tersebut terdapat dalam halaman 48. Jika tidak cerdas dan bijaksana, maka bisa disalahartikan menjadi eye for eye atau jika digigit atau disakiti maka balaslah sesuai dengan yang kau dapatkan dari mereka. Akan tetapi, jika ditanggapi dengan bijak dan cerdas, maka tidak selamanya eye for eye, bisa jadi diganti eye for ear, ups atau eye for sedekah. 

Selain, istilah eye for eye (menurut saya pribadi), masih banyak pesan moral lainnya, di antaranya, apa yang bisa dilakukan saat kekasihmu memutuskanmu, bahwasannya perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu, bagaimana mengatasi cemburu terhadap kekasih, bagaimana kamu harus berkomunikasi dengan sang mantan, bagimana respek Dilan dan teman-teman sekolahnya saat guru yang mereka kasihi meninggal dunia, juga arti kehilangan sahabat dan anggota keluarga. Semuanya itu dijabarkan dengan bijak dan santai, khas anak muda. Sepintas, ciri khas anak muda seperti halnya tulisan-tulisan Raditya Dika.

Kerenlah! Tak sia-sia, saya meluangkan waktu ke IIBF dan setia mengikuti kisah Dilan. 

Oia, satu lagi, saat membuka halaman 358, ternyata Dilan seri pertama telah terbit untuk Edisi Revisi. Mantap. Edisi revisi, sesuatu yang belum pernah saya baca dengan jelas pada halaman depan fiksi....

Judul --> Milan: Suara dari Dilan

Penulis -->  Pidi Baiq

Penerbit --> Pastel Books

Terbit--> Cetakan ke III, Dzulhijjah 1437 H/September 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun