Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928....
Menarik untuk dilihat dari segi sejarahnya karena ada semangat kepemudaan di dalamnya. Belum lagi, salah satu isinya adalah "Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia." Hal itu berarti bahwa bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pemersatu di Indonesia dan sudah dipelajari di beberapa negara, seperti di Australia dan Jepang. Namun, bukan berarti bahasa asli bangsa Indonesia, bahasa ibu atau dikenal dengan bahasa daerah boleh dilupakan karena pada dasarnya bahasa yang dipergunakan di Indonesia beragam.
Berkaitan dengan hal itu, pada hari ini, Sumpah Pemuda, tak elok rasanya jika saya tak berbagi kisah mengenai semangat menulis. Menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Harap maklum, bahasa daerah tidak terlalu saya kuasai dengan baik, cenderung pasif. Demikian halnya dengan bahasa asing lainnya, seperti Inggris. Kalaupun pernah mempelajari bahasa Mandarin, Jepang, dan Jerman di sekolah dan kursus, mohon maaf, kemampuannya pun tidak meningkat, tetap segitu aja, bahkan cenderung lupa....
Semangat menulis saya dapatkan sejak mengenal huruf-huruf, bisa membaca dan menulis serta berbicara. Semangat tersebut semakin menebal kala didukung oleh keluarga. Semangat yang berbeda jika saya melakukan kegiatan lainnya, seperti bermain peran di panggung. Ah, saya memang tak pandai bermain peran di panggung. Melukis, mengolah suara, dan memainkan alat musik pun saya tak pandai. Saya hanya bisa menulis.
Ternyata, semangat menulis itu memang kudu didukung oleh lingkungan dan kerja keras. Jika malas dan hanya bermimpi tanpa pernah mewujudkannya, ya hasilnya sama saja. Hal itulah yang saya rasakan. Sebagai penulis hobi, target menelurkan karya tulisan satu kali dalam setahun merupakan hal yang luar biasa. Padahal, jika saya mau melebihkan sedikit saja kerja keras dan menyingkirkan kemalasan itu, maka insya Allah bisa seproduktif penulis lain yang memang profesi mereka adalah penulis.
Kemudian, semangat menulis itu juga bisa ditambah dengan silaturahhim yang baik. Jika kita memperbanyak silaturahhim dengan banyak orang, maka insya Allah akan mendatangkan rezeki tersendiri. Silaturahhim itu bisa dengan bertemu dan berkumpul dengan teman baru dan teman lama, baik sesama penulis maupun bukan sesama penulis. Selain itu, bergabung dengan komunitas literasi pun mampu memberikan semangat tersendiri dalam menyalurkan kesenangan menulis tersebut. Setidaknya, ketika mengetahui bahwa teman di dalam komunitas tersebut berhasil menelurkan karyanya di media massa ataupun diterbitkan oleh penerbit major maupun indie bisa menimbulkan iri tersendiri bagi diri saya. Iri yang positif,"Jika dia bisa menghasilkan karya seperti itu, mengapa saya tidak bisa?" Nah, iri positif inilah yang bisa menyemangati saya untuk tetap menulis.
Berlatih dan terus berlatih. Menulis apa saja yang saya mau, bisa, ataupun yang diminta oleh orang lain merupakan tiga hal yang mendasari mengapa saya tetap semangat menulis. Berlatih dan terus berlatih hingga nantinya akan terbentuk sendiri akan menulis dalam genrenya....
Kemudian, banyak membaca dan bergaul. Bergaul bisa diartikan dengan meningkatkan, memperluas, menambah, dan memperkuat silaturahim. Membaca? So pasti, membaca segala macam informasi baik online maupun cetak. Menontom film, menonton tv, dan mendengarkan musik bisa juga dijadikan semangat untuk menambah wawasan menulis.
Jika mengalami stuck in moment atau writer block, maka rehatlah sejenak. Salurkan kesenangan ke hal lain, seperti mempercantik diri ke salon, makan kue yang enak, dan berjalan-jalan keluar rumah atau boboan seharian saja di rumah. Hal itu yang biasa saya lakukan. Terkadang, menghindari teman-teman di komunitas literasi muslim, flp jakarta, yang saat ini saya aktif di dalamnya pun saya lakukan. Terutama, di kala jenuh itu melanda
Nah, terakhir, berkaitan dengan semangat menulis, saya mengutip saran dari beberapa senior di flp jakarta, yaitu jika tidak atau belum bisa mewujudkan diri menjadi penulis, maka setidaknya menikahlah dengan menulis, tinggal dekat toko buku, atau berteman dan bersahabat dengan penulis. Setidaknya, semoga dengan demikian, semangat menulis itu tetap ada, ya setidaknya bisa ikut ngetop dengan status suami atau istri dan dengan sahabat atau teman yang berprofesi sebagai penulis, dan bisa menghadiri kegiatan kepenulisan yang biasanya atau mungkin diselenggarakan di toko buku dekat rumah dan tidak ketinggalan informasi mengenai buku, majalah, ataupun jurnal terbitan terbaru baik yang sedang happening maupun yang biasa saja.
Salam literasi! Semoga saya tetap semangat menulis dengan tulisan yangpositif!
Salam Sumpah Pemuda!
Tetap semangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H