"Betul, D. Duniaku serasa gelap, gitu, seperti mati lampu...."
"Halah, kalau mati lampu, tinggal ambil senter, lalu nyalakan lilin, petromaks, obor, atau bisa dengan segera nyala dengan lampu emergency atau diesel." ucapku mengerucutkan bibir.
Liam menuang teh ke cangkirnya sendiri. Sementara itu, aku sibuk memperhatikan gerak-geriknya. Diam-diam, aku kangen dengannya. Kangen memukul bahunya lagi. Kangen "mem-bully-nya".
Liam memang berbeda dengan Al. Bersama Al, aku jaim. Namun, tidak demikian halnya jika aku bersama Liam. Aku bisa santai berbicara banyak hal kepadanya, bahkan hal tabu sekali pun. Entahlah, kukira dia adalah soulmate-ku tapi ternyata dugaanku salah. Selain itu, mungkin karena kami pernah sekelas di taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas.
Sayangnya, Liam memilih berlayar di kapal pesiar dan meninggalkanku cukup lama sebelum akhirnya kembali dengan kabar yang membahagiakan. Yaitu, dia telah menikah dengan perempuan eropa bermata jeli. Perempuan itu telah memberikan bayi perempuan berusia tiga bulan.
"Bagaimana kabar, Al, D?"
Aku mendadak masuk angin kala Liam menyebutkan nama itu.
Liam menatapku lurus dan dalam. Dia nampak menyesali pertanyaannya. "Ups, maaf, D. Duh, salah bertanya." Liam meralat pertanyaannya dengan cepat. "Biar bagaimanapun, aku mengenal kalian berdua. Oleh sebab itu, aku menanyakan hal tersebut kepadanya. D, takkan pernah kulupakan moment itu. Moment ketika kau menduakanku dengan Al. Dudul bingits, D. Ketika kutahu bahwa selingkuhanku adalah Al, fuih...."
"Selain itu, apakah kau mengenal Widya? Widya itu siapa, D?" tanya Liam berusaha mengembalikan keceriaanku.
"Istrinya Al." jawabku enggan.
Liam menatapku aneh.