Seperti berlian mentah yang belum diasah. Mungkin seperti inilah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan eksistensi anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia. Anak jalanan adalah anak yang berusia 5 sampai 18 tahun yang sebagian waktunya berada di jalanan untuk mencari nafkah, berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan biasanya telah putus sekolah.
Anak jalanan sendiri sudah ada di Indonesia sejak tahun 1980an dengan jumlah yang bertambah secara signifikan di tahun 1997 dimana kritis multidimensi melanda Indonesia. Tren ini mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan jumlah anak jalanan dan anak terlantar yang dapat berkurang ataupun bertambah setiap tahunnya. Namun, dikutip dari data Kementrian Sosial, pada tahun 2020 jumlah anak terlantar sendiri mencapai 67.368 orang dan menjadi fenomena yang seharusnya disorot ketika gaung Merdeka Belajar muncul di sektor pendidikan Indonesia.
Masalah pendidikan yang dialami oleh anak jalanan biasanya berupa masalah putus sekolah. Menurut Nurkamila (2013), anak jalanan lebih memilih bekerja daripada bersekolah dikarenakan biaya pendidikan yang cukup mahal sehingga mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan sekolah mereka. Selain itu, jam sekolah yang bertabrakan dengan jam kerja membuat anak jalanan dan anak terlantar seringkali bolos dan berujung pada putus sekolah.
Tidak dapat dipungkiri, meskipun pemerintah terus mengeluarkan terobosan di bidang pendidikan, sangat sedikit sekali yang mampu menyentuh langsung anak jalanan dan anak terlantar. Bahkan bisa dibilang, mereka termasuk ke dalam kaum marjinal pendidikan. Dimana akses pendidikan yang mereka terima belum semerdeka anak lainnya.
Selain itu, program paket A dan B yang merupakan program pendidikan luar sekolah bagi anak putus sekolah, termasuk anak jalanan, belum mencapai tingkat maksimal di lapangan. Ajisukmo (2009) menyatakan bahwa hal ini dikarenakan sulitnya pengakuan kesetaraan ijazah paket A dan B oleh sekolah formal. Kurikulum pendidikan luar sekolah  bagi anak jalanan juga kurang menarik dan tidak relevan dengan minat, kebutuhan, serta karakteristik mereka.
Dinas sosial dan beberapa rumah singgah yang menyediakan fasilitas pendidikan luar sekolah juga belum cukup mengakomodasi kebutuhan anak jalanan akan pendidikan. Banyak anak jalanan yang kembali ke jalan pasca menerima pendidikan tersebut. Alasannya sederhana: pendidikan yang diterima tidak cukup bagi anak jalanan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kurikulum yang kurang relevan dengan perkembangan zaman, serta output kemampuan anak jalanan yang kurang sesuai dengan kebutuhan di sektor formal ataupun sektor wirausaha di masa sekarang.
Ketika pendidikan anak-anak yang lain telah menuju era metaverse, seharusnya pendidikan anak jalanan juga tidak lepas dari teknologi dan tidak lagi menggunakan cara konvensional. Pendidikan yang diberikan kepada anak jalanan dengan cara yang lama akan membuat gap anak jalanan dengan kondisi sekarang yang serba teknologi menjadi semakin lebar. Oleh karena itu, digitalisasi media pembelajaran dengan kurikulum digital yang disesuaikan dengan kebutuhan anak menjadi kunci untuk mengeluarkan kemampuan terbaik anak jalanan dan anak terlantar.
Digitalisasi media pembelajaran bagi anak jalanan berupa aplikasi sekaligus kurikulum baru yang tidak dilepaskan dari teknologi dalam proses belajar mengajarnya. Hal ini memiliki tujuan jangka panjang:
- Anak jalanan bebas mengakses materi dari mana saja dan kapan saja, sehingga anak yang tidak sempat belajar pada siang hari karena bekerja dapat belajar pada malam hari secara individu ataupun didampingi dengan seorang instruktur,
- Mengenalkan konsep digital kepada anak jalanan sehingga pengetahuan mereka tentang teknologi di era metaverse ini tidak tertinggal terlalu jauh dari anak sebayanya,
- Anak jalanan mendapat skill digital yang memiliki peluang cukup luas sehingga dapat memanfaatkannya pada sektor formal dan bisa dijadikan bekal untuk meninggalkan kehidupan jalanan,
- Mewujudkan merdeka belajar bagi anak jalanan dan anak terlantar yang sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan",
- Biaya pendidikan yang lebih murah atau bahkan gratis dengan memberdayakan dinas sosial serta rumah singgah yang tersebar di Indonesia.
Bagaimana Konsep Pembelajaran Digital untuk Anak Jalanan dan Anak Terlantar?
Ki Hajar Dewantara memiliki trikon asas pendidikan: kontinyu, konvergen, dan konsentris yang dapat digunakan sebagai asas dasar dalam pengembangan aplikasi dan kurikulum digital bagi anak jalanan dan anak terlantar. Selain itu, beliau juga memiliki konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan pribadi yang merdeka, dimana individu dapat memilih menjadi apa saja dan menghargai kemerdekaan yang dimiliki orang lain. Sehingga hasil yang diharapkan akan maksimal, teurtama jika penggunaan aplikasi dapat dilakukan secara kontinyu, konvergen, dan konsentris.
Ada 3 komponen dasar yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum belajar anak jalanan, yakni pengetahuan dasar, keterampilan hidup, dan keterampilan vokasi. Di masyarakat sosial kita, anak jalanan dan anak terlantar sering kali dipandang sebelah mata karena cara bertahan hidup yang kurang sesuai secara sosial atau bahkan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum (Nurkamila, 2013). Kepribadian mereka yang keras karena kehidupan jalanan juga menjadi sebuah masalah yang harus diperbaiki dalam konsep pembelajaran digital ini.
Aplikasi sebaiknya dikembangkan dengan pelajaran budi pekerti di dalamnya sehingga anak jalanan dapat mempelajari tentang sikap dan prilaku yang sesuai dengan norma masyarakat. Selain itu, aplikasi juga harus dibangun dengan critical and deep thinking, dimana anak jalanan dapat mengeksplorasi dan mengembangkan materi yang sudah ada, serta kurikulum yang mampu memunculkan rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan kreatif pada anak jalanan dan anak terlantar.
Konsep pembelajaran yang akan digunakan adalah berpusat kepada murid, bukan kepada guru ataupun kepada aplikasi. Sehingga aplikasi dengan kurikulum khusus anak jalanan ini akan menyesuaikan materi sesuai dengan karakter dari anak jalanan tersebut.
Ada 5 hal yang diterapkan dalam cetak biru aplikasi dengan kurikulum khusus anak jalanan dan anak terlantar ini:
1. Aplikasi Berbasis Machine Learning
Sebelum menggunakan aplikasi sebagai media digital pembelajaran anak jalanan dan anak terlantar, aplikasi harus mengidentifikasi kepribadian, latar belakang, minat bakat, juga tingkat akademis yang dimiliki anak. Dalam mewujudkan hal ini, kolaborasi lintas jurusan sangat diperlukan dari mulai: bidang psikologi untuk mengidentifikasi kepribadian, minat bakat, serta latar belakang anak, bidang keguruan yang mengidentifikasi tingkat akademis yang dimiliki anak, serta bidang teknologi informasi untuk mengolah data yang diperoleh menjadi sebuah algoritma aplikasi.
Anak nantinya akan diberikan pertanyaan untuk mengidentifikasi dan output yang dihasilkan berupamateri pembelaharan yang sesuai dengan kepribadian, latar belakang, minat bakat, juga tingkat akademis yang dimiliki anak. Dengan materi yang sesuai, maka daya tangkap dan minat anak dalam belajar menjadi cukup tinggi sehingga proses belajar akan lancar dan kontinyu.
2. Pelajaran Pengetahuan Dasar Tematik untuk Mendapat Ijazah Penyetaraan
Meskipun sebagian sekolah menolak ijazah penyetaraan, ini masih menjadi cukup penting jika anak jalanan terjun ke sektor formal. Ada baiknya bagi perusahaan atau bahkan sektor pemerintah mulai menerima lulusan dengan ijazah penyetaraan. Terutama jika kurikulum dari paket A, B, dan C sudah terdigitalisasi.
3. Skill Life
Adanya pelajaran keterampilan hidup, dimana kemampuan ini mencakup soft skill, sikap, dan bagaimana anak jalanan dapat melakukan praktik critical thinking dan deep thinking. Ini akan memacu ide-ide dan kemampuan publik anak jalanan dan dapat mendukung mereka dalam mencari pekerjaan.
4. Pilihan Kemampuan Vokasi yang Sesuai dengan Kemampuan, Minat, dan Bakat
Materi kemampuan vokasi ditambah dengan pelatihan hard skill yang lebih bervariasi. Jika biasanya materi ini hanya sebatas menjahit, membatik, dan lainnya, mulailah merambah ke sektor teknologi dan sektor modern lainnya.
Aplikasi akan memuat kemampuan SEO, developer, CRM, desain grafis, atau bahkan digital marketing yang pelung kerjanya lebih luas. Jika tidak ingin bekerja di sektor formal, kemampuan vokasi tersebut bisa digunakan untuk membuka usaha digital dengan target pendapatan yang lebih tinggi atau mendukung kemampuan lainnya. Misalnya jika anak jalanan dan anak terlantar memiliki kemampuan menjahit, dengan pengetahuan digital marketing dan CRM, maka usahanya bisa menjadi lebih besar dan lebih sesuai dengan kondisi sekarang yang serba teknologi.
5. Â Adanya Sertifikat Kompetensi dari Dinas Terkait
Pada era sekarang selain ijazah, sertifikat kompetensi menjadi poin pendukung yang bisa digunakan anak jalanan dan anak terlantar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sehingga aplikasi digital untuk anak jalanan dan anak terlantar ini diharapkan memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan pihak terkait, dalam hal ini Kemendikbud.
Output awal yang diharapkan dari aplikasi pembelajaran digital bagi anak jalanan dan anak terlantar adalah mereka dapat pekerjaan yang layak dan keluar dari kehidupan jalanannya. Output jangka panjangnya adalah mampu menarik keluarga keluar dari garis kemiskinan. Sehingga dengan adanya sertifikat kompetensi yang layak dari dinas terkait, anak jalanan diharapkan dapat bekerja di sektor formal.
Merdeka Belajar pada awalnya adalah kebijakan pemerintah agar anak dapat memilih pelajaran yang diminati serta mengoptimalkan bakat dan memberikan sumbangsih bagi negara. Agaknya perlu diingat, bahwa merdeka belajar seharusnya dapat dinikmati semua pihak, termasuk anak jalanan dan anak terlantar. Sehingga mereka juga memiliki pilihan yang tidak terbatas pada pendidikan konvensional, namun juga mampu beradaptasi pada globalisasi dan menyesuaikan diri di era teknologi.
Sesuai dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara: bahwa pendidikan akan menghasilkan pribadi yang merdeka, dimana individu dapat memilih menjadi apa saja dan menghargai kemerdekaan yang dimiliki orang lain. Termasuk anak jalanan dan anak terlantar.
Â
Referensi:
Ajisuksmo, C.R.P., 2013. Faktor-Faktor Penting Dalam Merancang Program Pendidikan Luar Sekolah Untuk Anak Jalanan Dan Pekerja Anak. Hubs-Asia 16, 36--48. https://doi.org/10.7454/mssh.v16i1.35
Berliyanti, S.A., Situmorang, M., 2015. Pendampingan anak jalanan dalam bidang pendidikan. Res. Report-Humanities ....
Bilich, C., n.d. How can ICT be Used to Improve Street Children ' s Plight: A Proposal for the City of Santa Fe , Argentina.
Busri, H., Teddy, F.X., Samodra, B., 2018. Mobile Architecture as Education Quality Enhancement of Street Children 115--118.
Farihah, I., Saida, K.R., 2020. Pendidikan bagi anak jalanan. J. IAIN Kudus 269--283.
Hairani siregar: Faktor dominan anak menjadi anak jalanan di kota Medan, 2004. USU e-Repository 2008, 2008.
Haling, S., Halim, P., Badruddin, S., Djanggih, H., 2018. Perlindungan Hak Asasi Anak Jalanan Dalam Bidang Pendidikan Menurut Hukum Nasional Dan Konvensi Internasional. J. Huk. Pembang. 48, 361. https://doi.org/10.21143/jhp.vol48.no2.1668
Kamila, N., 2013. Masalah Pendidikan Anak Jalanan di Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo. Artik. Ilm. Has. Penelit. Mhs. 1--6.
Masud, S., 2019. Developing a Creative Learning Format for Street Children.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H