Mohon tunggu...
Dina Oktaviani
Dina Oktaviani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Salah bukan berarti gagal, Hwaiting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gusti Asnan: Religionalisme, Historiografi, dan Pemetaan Wilayah Sumatra Barat Tahun 1950-an

22 Desember 2023   13:14 Diperbarui: 22 Desember 2023   14:06 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Regionalisme Sumatera Barat 

Sebuah perjalanan melintasi zamannya, Sumatera Barat memiliki akar sejarah yang merentang hingga era perdagangan VOC. Nama "Sumatera Barat" pertama kali diperkenalkan oleh VOC sebagai hoofdcomptoir van Sumatra's Westkust, sebuah unit administratif yang mencakup pantai barat Sumatera dari Barus di utara hingga Indrapura di selatan.

Namun, destinasi sejarah Sumatera Barat tak berhenti di sana. Pada tahun 1819, setelah masa interregnum Inggris, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kendali dan memulai perubahan signifikan di wilayah ini. James Du Puy, komisaris Hindia Belanda di Padang, memahami pentingnya daerah pedalaman bagi penguasaan pesisir. Maka dimulailah kampanye militer yang memunculkan perjanjian dengan Sultan Alam Bagagar Syah pada 1821, membentuk Residentie Padang en Onderhorigheden.

Dengan kemenangan Belanda setelah hampir 16 tahun perang, status administratif berubah menjadi Gouvernement Sumatra's Westkust pada 1836. Namun, perjalanan tidak berakhir di sana. Tahun 1905, Tapanuli dipisahkan, dan era pendudukan Jepang pada 1942 membawa perubahan signifikan, mengubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu dan mengecualikan Bangkinang dari Sumatera Barat.

Indonesia merdeka membawa perubahan baru. Sumatera Barat menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah pada 1948. Tahun 1957, respons terhadap pengambilalihan provinsi memicu pembentukan Provinsi Sumatera Barat yang mandiri, mengakhiri era Sumatera Tengah.

Meminangkabaukan Sumatera Barat

Pada awalnya, Residentie Padang en Onderhorigheden dibentuk untuk mengatasi wilayah kekuasaan Belanda di daerah budaya Minangkabau. Pembagian administratif menjadi dua Districten pada 1823, yaitu District Padang dan District Minangkabau, mencerminkan pembagian tradisional Minangkabau menjadi rantau (pesisir) dan darek (luhak nan tigo). Saat Residentie Padang en Onderhorigheden menjadi Gouvernement Sumatra's Westkust, perbedaan antara Minangkabau dan non-Minangkabau tetap dipertahankan. Gouvernement tersebut terbagi menjadi Residentie Padangsche Benedenlanden, Residentie Padangsche Bovenlanden, dan Residentie Tapanoeli, mencerminkan pemisahan kelompok etnis Minangkabau dan Batak.

Pada 1905, pemisahan Tapanuli meresapi keinginan P. Merkus untuk membedakan Minangkabau dan Batak. Identifikasi ini diterima positif oleh penghulu Minangkabau, melihatnya sebagai bagian dari Minangkabau Raya di bawah Raja Belanda. Namun, ketegangan politik global dan pendudukan Jepang memunculkan reaksi beragam di Sumatera Barat.

Upaya meminangkabaukan Sumatera Barat muncul pada pertengahan 1920-an, saat rencana penggabungan Keresidenan Sumatera Barat dengan Tapanuli ditolak oleh kaum adat. Mereka menyatakan bahwa penggabungan itu akan menimbulkan konflik, dan lebih baik Sumatera Barat disatukan dengan Jambi dan Kuantan. Dukungan ini terwujud dalam pembentukan Dewan Minangkabau pada tahun 1918.

Pada tahun 1926, kongres adat dilakukan, menghasilkan keputusan untuk membatalkan rencana penggabungan dengan Tapanuli. Kaum adat semakin aktif menulis tentang Minangkabau dan menerbitkan karya-karya yang memperkuat identitas Minangkabau. Tambo Minangkabau dan temuan monografi nagari mendukung gagasan bahwa Minangkabau melibatkan daerah di luar administratif Sumatera Barat, seperti Kuantan, Kampar, dan Batanghari.

Meskipun peta teritori ini diterima hingga akhir pemerintahan Belanda, masuknya Jepang mengubah dinamika. Jepang mengeluarkan Bangkinang dari administrasi Sumatera Barat dan memasukkannya ke Riau Shu. Meskipun berkurangnya teritori Sumatera Barat di bawah Jepang, identitas Minangkabau sebagai dasar administratif tetap dipertahankan.

Perkembangan Politik Tahun 1950-an: Sejarah Baru dan Peta Baru 

Pada awalnya, setelah proklamasi kemerdekaan, Sumatera Barat dijadikan sebagai wilayah administratif setingkat keresidenan. Tahun 1948 menjadi titik penting ketika, berdasarkan UU No. 10/1948, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi digabungkan menjadi sebuah provinsi yang dinamai Provinsi Sumatera Tengah. UU yang disahkan pada tanggal 15 April 1948 itu menetapkan Bukittinggi sebagai tempat kedudukan gubernur Sumatera Tengah. Pembentukan provinsi ini memberikan dominasi kepada orang Sumatera Barat di kawasan tersebut. Keunggulan ini disebabkan oleh jumlah penduduk Sumatera Barat yang lebih besar daripada Riau dan Jambi, serta tingkat pendidikan yang lebih maju dibandingkan dengan kedua provinsi tersebut. 

Sumatera Barat telah lama menjadi daerah dengan penduduk terpadat di Pulau Sumatera sejak abad-abad yang lalu. Selain itu, sejak akhir abad ke-19, Sumatera Barat telah dikenal sebagai daerah dengan jumlah penduduk terpelajar yang mencengangkan dibandingkan dengan kelompok etnis lain di Sumatera. Banyaknya sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan, dan minat anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke luar daerah, terutama ke Jawa, menjadi faktor penting dalam kehadiran kaum terpelajar ini. Peran aktif Sumatera Barat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia juga dipengaruhi oleh keberadaan mereka, dan setelah kemerdekaan, sebagian besar menjadi pemimpin terkemuka di negara ini. 

Dominasi orang Sumatera Barat dalam pemerintahan daerah Sumatera Tengah sangat terlihat. Gubernur pertama dan sebagian besar anggota DPRST berasal dari Sumatera Barat. Dewan Eksekutif Provinsi juga didominasi oleh mereka, termasuk ketuanya. Bahkan, mayoritas kepala jawatan tingkat provinsi berasal dari Sumatera Barat. Proporsi yang tidak seimbang juga terlihat dalam penempatan kabupaten di provinsi ini, di mana sebagian besar berada di bekas Keresidenan Sumatera Barat. Bahkan di beberapa kabupaten di Riau dan Jambi, mayoritas anggota DPRD juga berasal dari Sumatera Barat.

Sumber :

Gusti Asnan. 2011. Antara daerah dan negara Indonesia tahun 1950-an: Pembongkaran narasi besar Integrasi Bangsa. Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun