Peradaban global, setidaknya satu dasawarsa terakhir, mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam bidang teknologi. Tidak asing lagi di telinga kita jika era ini dikenal dengan Era Digital. Sebuah era yang mampu menyulap manusia meninggalkan dunia nyata dan memadati dunia maya dengan hanya melihat segala sesuatunya dari monitor kaca. Dunia nyata, dunia yang di atasnya kita dapat berpijak, berkomunikasi, dan bersentuhan, terasa seperti sepi di tengah keramaian.
Ledakan teknologi yang sedang menyejarah ini tidak hanya menggila di berbagai tempat, namun juga di berbagai golongan usia. Mulai dari usia anak sampai usia tua. Di zaman ini, kita tidak perlu merasa heran bila melihat banyak orang di banyak tempat menunduk dan mengarahkan wajah mereka ke telapak tangannya. Mereka bukan sedang garis-garis telapak tangan, melainkan sedang seru sendiri bersama gadget kesayangan mereka. Hidup di dunia maya. Bahkan komunikasi di dalam keluarga dapat menjadi dingin akibat panasnya euforia warga dalam menggunakan berbagai alat teknologi canggih. Inilah jenis peradaban baru yang sedang membumi hampir di setiap tempat, tanpa terkecuali di kota Jakarta.
Di tengah peradaban baru itu, muncul sebuah fenomena yang sepertinya memberikan harapan baru. Taman Amir Hamzah, salah satu dari banyak taman di Ibukota, kini telah disulap Ahok menjadi RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak). RPTRA ini diresmikan pada tanggal 26 Februari lalu. Sejak saat diresmikannya, sejak saat itu pula RPTRA Amir Hamzah tiba-tiba menjadi sangat ramai. Ada seratusan lebih anak-anak tampak riang gembira kala itu. Mereka bergembira karena dapat bermain dengan begitu leluasa. Sebagian dari mereka asyik bermain futsal. Berlari. Bermain perosotan. Bermain basket. Tidak satu pun dari mereka yang memegang gadget, benda sihir itu. Tidak ada orang yang sibuk sendiri dengan kedua jari jempolnya. Sebagian lain tidak begitu jelas apa yang sedang mereka lakukan, namun terlihat ada kebahagiaan yang terpancar dari rawut wajah mereka. Terlihat sebuah situasi yang akrab dan hangat di antara masyarakat. Situasi yang bertolak belakang jika kita bandingkan dengan peradaban baru tadi di mana orang-orang disibukkan oleh gadget-nya sampai-sampai mengabaikan orang di sekelilingnya. Waktu itu, tampaklah jenis peradaban lama yang sudah lama tidak terlihat. Hidup di dunia nyata.
Pemandangan ini, sekali lagi, berbeda jauh dengan pengamatan-pengamatan sebelumnya yang sempat menyinggung dampak negatif dari Era Digital. Dampaknya begitu gila-gilaan sampai mampu merampas waktu-waktu yang berharga bersama kolega dan keluarga. Bagaimana tidak hal itu terjadi, sebab anak-anak di Era Digital sudah disuguhkan dengan berbagai perangkat elektronik sejak dini. Akibat dari tindakan ini, rantai komunikasi hakiki di antara kita manusia pun terputus.
Mungkinkah kita hanya terjebak dan tidak tahu caranya untuk keluar dari jebakan Era Digital? Benarkah kita sudah terperangkap di dalam ruang perangkap Era Digital? Mungkinkah kita bisa melepaskan diri dari perangkap ini? Jika yang kita lakukan hanyalah bersikap konsumtif terhadap produk-produk teknologi, maka sepertinya memang tidak ada daya lagi untuk mengelak dari perangkap raksasa ini. Kalau pun kita tidak bisa lagi menghindar, mungkinkah kita membangun ruang di dalam ruang perangkap itu agar selalu ada tempat bagi manusia "hidup" di dunia nyata.
Kabar baiknya, pertanyaan itu menemukan satu jawaban bagi kita. Entah disadari atau tidak, program Ahok mendirikan RPTRA ternyata punya kekuatan luar biasa untuk membuat ruang di dalam ruang perangkap Era Digital. RPTRA dibangun sebagai tempat warga berkumpul, saling berkomunikasi, dan tempat untuk anak-anak bermain. Tidak hanya itu, meskipun tercantum kata “Ramah Anak,” hal itu tidak berarti bahwa RPTRA diperuntukkan khusus hanya bagi anak-anak, melainkan tempat bagi semua golongan usia dan sosial – yang ramah anak.[caption caption="RPTRA Amir Hamzah selalu ramai dipadati penduduk hampir setiap sorenya."][/caption]
Sudah puluhan RPTRA yang dibangun di seluruh kota Jakarta. Jika nanti ada 200 RPTRA, dengan mengandaikan 150 orang anak berkumpul di setiap RPTRA, maka itu berarti sekitar 30.000 anak memiliki kekuatan untuk membangun ruang pertahanan mereka di dalam ruang perangkap Era Digital. Apalagi jumlah angka tersebut belum termasuk para orangtua yang menjaga mereka serta kaum muda yang ikut-ikutan nongkrong di sana. Kekuatan RPTRA adalah menjadi benih yang tidak disangka-sangka tertanam dan menumbuhkan semacam contra-culture terhadap pengaruh buruk Era Digital. Hal ini dapat menjadi sebuah perjuangan menyelamatkan peradaban generasi masa depan yang sedang mendesak masuk manusia untuk hidup di dunia maya, membuat sepi dunia nyata, dan membuat kita tidak begitu memandang adanya eksistensi lain di sekitar kita.
Apakah dunia masa depan akan lebih mengutamakan eksistensi teknologi ketimbang manusia, sehingga manusia bukan lagi menjadi tuan atas buatan tangannya? Sesungguhnya kita tidak tahu, namun hal itu mungkin saja menjadi nyata jika kita lengah. RPTRA yang kita lihat sangat kecil untuk menjawab dampak negatif Era Digital. Namun, dengan optimisme yang realistis, RPTRA telah menjadi angin segar bagi kita, bagaimana RPTRA mengembalikan makna komunikasi verbal di antara kita di dunia yang nyata. Selamat membangun ruang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H