Lagi-lagi, serangan aksi teror kembali melanda kota Paris pada Kamis malam 21 April kemarin. Kali ini, tempat penyerangan itu terjadi di kawasan elit Champs-Elysées, yang terkenal juga dengan kawasan butik-butik kelas dunia seperti Hermès, Louis Vuitton, Sephora, dan banyak lagi. Namun, tragedi itu justru saya ketahui dari status facebook seorang mahasiswi Indonesia kenalan saya yang sedang menempuh studi di kota tersebut.
Kebetulan teman saya ini dengan seorang mahasiswi Indonesia lainnya sedang melintas di kawasan tersebut setelah sebelumnya berfoto-foto di depan monumen Arc de Triomphe sekitar jam 8 malam. Champs-Elysées yang saat itu sedang dipadati turis tiba-tiba dikejutkan dengan suara tembakan lima kali, yang awalnya dikira suara mercon. Teman saya pun refleks berlari mencari tempat persembunyian ke restoran terdekat, masih dengan diiringi suara tembakan di sekelilingnya. Alhamdulillah keduanya berhasil pulang dengan selamat ke apartemen masing-masing, meskipun trauma yang dirasakannya tentu akan membekas di ingatan.
Kejadian Teror di Jakarta
Penasaran, saya lari ke bawah (bilik kantor saya di lantai atas) untuk mengetahui apa yang terjadi. Baru saja mau keluar pintu, saya sudah dihalau oleh satpam dan seorang staf petinggi Prancis yang memerintahkan kami untuk masuk ke dalam gedung. Tepat ketika saya membuka pintu, saya mendengar suara rentetan tembakan. Jika saya terbiasa mendengar suara tembakan di film-film action, kali ini rentetan tembakan itu terdengar begitu nyata, dan sontak membuat jantung saya berdetak cepat.
Belum juga habis keterkejutan saya, tiba-tiba terdengar suara dentuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih kencang, yang saya duga dari arah Sarinah. Saya dan teman-teman sudah ketakutan apakah gedung kantor kami ini jadi sasaran amukan para teroris, berhubung negeri Prancis juga terus-menerus dilanda teror. Apakah para teroris itu tidak berpikir bahwa sebagian besar yang bekerja di gedung ini justru orang Indonesia dan kebanyakan dari kami adalah muslim? Untungnya dugaan saya keliru, karena para teroris itu sebenarnya ingin menyerang Starbucks di daerah Thamrin yang dianggap hegemoninya kaum kafir Amerika Yahudi.
Teror di Prancis, Reaksi Kemarahan Masyarakat Muslim Prancis terhadap Pemerintah?
Saya di sini tidak akan menulis menggunakan analisa-analisa yang rumit dan detail, melainkan berdasarkan pengamatan sederhana saya sebagai orang yang pernah dekat dengan Prancis, baik dari sisi personal maupun profesional. Negara Prancis memang diakui sebagai negara multikultur dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di Eropa, melebihi Inggris. Menurut Wikipedia, populasi penduduk muslim di Prancis mencapai 4.710.000 atau 7,5%, dibandingkan Inggris yang hanya 2.422.000 atau 4,6%. Namun yang saya rasakan selama tinggal di Prancis maupun beberapa kali mengunjungi negeri itu, penduduk muslim Prancis seakan-akan masih termarjinalkan terutama dari segi ekonomi dan pendidikan.
Saya tidak tahu persis mengapa mereka yang termarjinalkan ini seakan-akan sulit untuk berintegrasi ke dalam kultur Prancis. Padahal dari segi komunikasi, bahasa Prancis bagi sebagian warga imigran atau keturunan imigran sudah menjadi bahasa kedua mereka karena adanya politik Prancis di masa lampau yang mengharuskan warga negara jajahannya menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa resmi. Memang dari segi nilai-nilai budaya, bisa jadi ada beberapa hal yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip yang dianut warga muslim. Misalkan cara hidup, pilihan makanan, pilihan berbusana, dan hal lainnya. Selain itu, prinsip sekularisme yang dianut pemerintah mungkin menyebabkan warga Muslim merasa tidak bebas menjalankan ibadahnya. Maka, sebagian dari mereka mungkin memilih untuk tidak menyatu dengan kultur dan budaya setempat lalu membentuk komunitas sendiri. Apalagi, masyarakat Prancis pada umumnya yang saya lihat memang tidak terlalu terbuka terhadap warga asing, kecuali jika si warga asing ini melakukan pendekatan-pendekatan terlebih dahulu terhadap warga lokal dengan cara menyelami budaya mereka.
Padahal yang dimaksud sekularisme ala Prancis adalah pembatasan praktik keagamaan hanya dalam lingkup individu atau ruang pribadi saja, bukan untuk dicampuri dengan urusan pemerintahan. Artinya, penduduk muslim di Prancis tetap boleh menjalankan ibadah seperti sholat, mengaji, di mana pun mereka berada asalkan bukan di ruang publik. Pemerintah juga tidak akan campur tangan dalam masalah-masalah keagamaan, seperti urusan perkawinan, hukum, kematian atau penguburan warga, juga tidak boleh mencampurkan urusan politik ke dalam ranah agama, tidak seperti di Indonesia. Perlu juga diketahui bahwa Prancis pun mempunyai banyak masjid, dan masjid di kota Paris, La Grande Mosquée de Paris, merupakan masjid terbesar di Prancis dan pernah menjadi tempat berlindung warga Yahudi Eropa selama masa pendudukan Nazi. Ada pun terkait larangan penggunaan jilbab hanya berlaku di sekolah-sekolah negeri dan institusi pemerintahan yang berada di Prancis saja. Banyak dari teman saya yang mengenakan jilbab tetap bisa berkuliah di kampus-kampus di Prancis, juga banyak kolega saya yang berjilbab tetap bisa bekerja dengan tenang di lingkungan kedutaan besarnya di Jakarta.
Ini berbeda dengan prinsip sekularisme a la Turki yang benar-benar membatasi ruang gerak warganya sendiri untuk beribadah, seperti khutbah Jum’at harus disortir terlebih dahulu, dan ditiadakannya sekolah-sekolah agama yang menyebabkan terputusnya rantai pendidikan agama dari orangtua ke anak-anaknya. Ini ironis karena Turki merupakan negara dengan warga asli mayoritas Muslim, dan pernah dikuasai oleh Kekaisaran Utsmaniyah sebagai salah satu kekaisaran Islam terbesar di dunia. Kebetulan saya juga pernah tinggal beberapa bulan di Turki jadi sempat mengamati sendiri bagaimana keseharian penduduknya dalam menjalankan ibadah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H