Seumur-umur, jujur saya belum pernah nonton layar tancap. Meskipun pada zaman saya masih kecil, beberapa kali pertunjukan layar tancap pernah digelar di kawasan kompleks tempat tinggal saya yang saat itu masih banyak tanah kosong. Soalnya, saya termakan cerita oleh entah ayah atau almarhumah ibu, biasanya film-film yang diputar di layar tancap itu film nggak mutu, bahkan cenderung blue (alias film menjurus tabu), he he he.
Akan tetapi, menonton layar tancap di lapangan terbuka (alias open air screening) sebenarnya juga bukan milik Indonesia semata. Contohnya di Denmark. Di negeri Skandinavia yang lebih sering mengalami malam lebih panjang ketimbang siang, memanfaatkan momen-momen musim semi yang udaranya cukup bersahabat untuk menonton film beratapkan langit.Â
Cuma, malasnya saya kalau menonton pertunjukan di tempat terbuka di negerinya para pangeran dan puteri ini, bukannya menonton film, tapi malah terganggu dengan pasangan-pasangan yang asik membuat film romantis sendiri di tengah-tengah pertunjukan :). Tidak hanya Denmark, setahu saya beberapa negara di negeri Barat sana juga ada tradisi menonton film outdoor, termasuk di Amerika Serikat.Â
Contohnya, layar yang digunakan bukan sembarang layar dari kain seperti halnya layar-layar tancap yang biasa digelar di kompleks perumahan, melainkan layar LED raksasa yang jernih dengan kapasitas sound system yang maksimal. Suara yang dihasilkan pun, membuat penonton ikut terbawa dalam suasana yang mencekam. Saya membayangkan berapa bujet yang digelontorkan untuk menyewa layar sebesar itu.Â
Apalagi film yang ditayangkan, The Keeper of Lost Causes (2013), ber-genre film noir, alias film-film a la detektif yang saya perkirakan bakal banyak adegan lumayan... sadis. Kemudian, tenda yang dipasang juga tenda yang apik seperti yang sering kita lihat di event-event bazar atau pameran di pusat perbelanjaan. Selain itu, penonton diberikan kenyamanan menonton beralaskan kain, bahkan boleh leyeh-leyeh di atas bantal-bantal besar dan empuk yang disusun berjejer dari ujung ke ujung. Meskipun memang tidak semua penonton kebagian dapat bantal-bantal tersebut, sih. Tapi, lumayan banyak lah bantalnya.Â
Tapi, yang membuat saya takjub adalah toilet-toilet yang disediakan selama acara berlangsung. Berhubung saat itu teater besar sedang tutup, awalnya saya sempat bingung harus menumpang toilet gedung yang mana. Untungnya, seorang panitia memberitahukan saya bahwa mereka juga menyediakan portable toilet yang letaknya di samping teater besar, dengan warna merah menyala. Lalu, jangan bayangkan portable toilet-nya jorok dan tidak nyaman. Sebaliknya, ketika saya memasukinya, toilet tersebut wangi dan bersih sekali.Â
Selain itu, tombol-tombol untuk wastafel dan untuk flush juga membuat saya terkagum-kagum, karena kita tinggal menginjakkan kaki saja ke bulatan-bulatan besar di bawah. Bikin saya betah berlama-lama di dalamnya, ha ha ha. Saya pun sempat bertanya ke penjaga toilet, bagaimana toilet ini bisa ada di sini, apakah Kedutaan Denmark yang menyediakan. Mereka pun menjawab toilet itu memang khusus disewa untuk acara tersebut.
Yah, jika biasanya stereotip orang Arab yang ditampilkan di film-film Barat adalah teroris, di film ini ia malah menjadi tokoh sentral protagonis yang menyelamatkan tokoh utama. Wah, komplit deh paket misi budaya melalui film yang ingin dihadirkan Denmark ke penonton Indonesia. Salut! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H