Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Misi Budaya Denmark Melalui Gelaran Layar Tancap

16 Maret 2017   22:49 Diperbarui: 17 Maret 2017   08:00 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenda khusus untuk mengantri makanan selama film diputar. Yang ngantri lumayan panjang, sampai-sampai penonton yang datang belakangan sempat kehabisan. (foto: dokpri)

Seumur-umur, jujur saya belum pernah nonton layar tancap. Meskipun pada zaman saya masih kecil, beberapa kali pertunjukan layar tancap pernah digelar di kawasan kompleks tempat tinggal saya yang saat itu masih banyak tanah kosong. Soalnya, saya termakan cerita oleh entah ayah atau almarhumah ibu, biasanya film-film yang diputar di layar tancap itu film nggak mutu, bahkan cenderung blue (alias film menjurus tabu), he he he.

Akan tetapi, menonton layar tancap di lapangan terbuka (alias open air screening) sebenarnya juga bukan milik Indonesia semata. Contohnya di Denmark. Di negeri Skandinavia yang lebih sering mengalami malam lebih panjang ketimbang siang, memanfaatkan momen-momen musim semi yang udaranya cukup bersahabat untuk menonton film beratapkan langit. 

Cuma, malasnya saya kalau menonton pertunjukan di tempat terbuka di negerinya para pangeran dan puteri ini, bukannya menonton film, tapi malah terganggu dengan pasangan-pasangan yang asik membuat film romantis sendiri di tengah-tengah pertunjukan :). Tidak hanya Denmark, setahu saya beberapa negara di negeri Barat sana juga ada tradisi menonton film outdoor, termasuk di Amerika Serikat. 

Layar yang digunakan berupa LED berukuran raksasa dengan sound system sangat memadai. Lihat saja penontonnya sampai nggak bergeming, kecuali yang antri makanan ya :D. (foto: dokpri)
Layar yang digunakan berupa LED berukuran raksasa dengan sound system sangat memadai. Lihat saja penontonnya sampai nggak bergeming, kecuali yang antri makanan ya :D. (foto: dokpri)
Nah, pada hari Rabu malam kemarin, tepatnya tanggal 15 Maret 2017, Kedutaan Besar Denmark bekerjasama dengan Kineforum menggelar open air screening di halaman Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Di sini saya tidak akan membahas filmnya, melainkan prasarana dan fasilitas yang disediakan oleh panitia. Dalam bayangan saya, menonton film layar tancap, apalagi di negara tropis yang sudah pasti banyak nyamuknya (dan kuatir hujan), langsung pupus. Sebaliknya, acara layar tancap dikemas dengan sangat rapi dan nyaman.

Contohnya, layar yang digunakan bukan sembarang layar dari kain seperti halnya layar-layar tancap yang biasa digelar di kompleks perumahan, melainkan layar LED raksasa yang jernih dengan kapasitas sound system yang maksimal. Suara yang dihasilkan pun, membuat penonton ikut terbawa dalam suasana yang mencekam. Saya membayangkan berapa bujet yang digelontorkan untuk menyewa layar sebesar itu. 

Apalagi film yang ditayangkan, The Keeper of Lost Causes (2013), ber-genre film noir, alias film-film a la detektif yang saya perkirakan bakal banyak adegan lumayan... sadis. Kemudian, tenda yang dipasang juga tenda yang apik seperti yang sering kita lihat di event-event bazar atau pameran di pusat perbelanjaan. Selain itu, penonton diberikan kenyamanan menonton beralaskan kain, bahkan boleh leyeh-leyeh di atas bantal-bantal besar dan empuk yang disusun berjejer dari ujung ke ujung. Meskipun memang tidak semua penonton kebagian dapat bantal-bantal tersebut, sih. Tapi, lumayan banyak lah bantalnya. 

Tenda khusus untuk mengantri makanan selama film diputar. Yang ngantri lumayan panjang, sampai-sampai penonton yang datang belakangan sempat kehabisan. (foto: dokpri)
Tenda khusus untuk mengantri makanan selama film diputar. Yang ngantri lumayan panjang, sampai-sampai penonton yang datang belakangan sempat kehabisan. (foto: dokpri)
Ditambah lagi dengan fasilitas snack dan air minum gratis yang lumayan mengenyangkan, hingga menyebabkan antrian panjang penonton. Snack-nya pun langsung dimasak dan disiapkan di tempat. Selain pop corn, ada singkong goreng, pisang goreng bertabur parutan keju dan muisjes,  kentang goreng, dan martabak atau omelet. Minumannya, selain lemon tea, ada juga es krim sundae vanila coklat yang lumayan mengenyangkan, loh. Ini judulnya makan atau nonton, ya? ;)

Tapi, yang membuat saya takjub adalah toilet-toilet yang disediakan selama acara berlangsung. Berhubung saat itu teater besar sedang tutup, awalnya saya sempat bingung harus menumpang toilet gedung yang mana. Untungnya, seorang panitia memberitahukan saya bahwa mereka juga menyediakan portable toilet yang letaknya di samping teater besar, dengan warna merah menyala. Lalu, jangan bayangkan portable toilet-nya jorok dan tidak nyaman. Sebaliknya, ketika saya memasukinya, toilet tersebut wangi dan bersih sekali. 

Selain itu, tombol-tombol untuk wastafel dan untuk flush juga membuat saya terkagum-kagum, karena kita tinggal menginjakkan kaki saja ke bulatan-bulatan besar di bawah. Bikin saya betah berlama-lama di dalamnya, ha ha ha. Saya pun sempat bertanya ke penjaga toilet, bagaimana toilet ini bisa ada di sini, apakah Kedutaan Denmark yang menyediakan. Mereka pun menjawab toilet itu memang khusus disewa untuk acara tersebut.

Toilet umum portabel yang disediakan panitia. Di dalamnya terasa wangi dan terlihat bersih, bikin betah berlama-lama :D. (foto: dokpri)
Toilet umum portabel yang disediakan panitia. Di dalamnya terasa wangi dan terlihat bersih, bikin betah berlama-lama :D. (foto: dokpri)
Hhm... salut saya dengan totalitas panitia (baik itu pihak Kedutaan maupun Kineforum) untuk memberikan layanan dan kenyamanan yang terbaik bagi para penonton. Sepertinya, usaha mereka layak kita tiru jika ingin menyuguhkan sesuatu yang terbaik bagi siapa pun. Termasuk salah satunya ya berinvestasi di bidang seni dan budaya. Menonton pertunjukan film kan juga merupakan bagian dari kegiatan budaya. Budaya menunjukan karakter suatu bangsa. 

Di film ini, salah satu tokoh sentralnya, seorang detektif keturunan Arab digambarkan sedang menunaikan ibadah sholat. Hhm.. jarang-jarang film Eropa menampilkan adegan seperti ini, loh. (foto: dokpri)
Di film ini, salah satu tokoh sentralnya, seorang detektif keturunan Arab digambarkan sedang menunaikan ibadah sholat. Hhm.. jarang-jarang film Eropa menampilkan adegan seperti ini, loh. (foto: dokpri)
Oya, satu lagi. Di akhir film, diperlihatkan salah seorang detektif yang keturunan Arab bernama Assad sedang menunaikan sembahyang layaknya umat Islam yang sedang sholat. Secara tidak langsung, film ini ingin menunjukkan bahwa Denmark menghargai perbedaan keyakinan penduduknya, bahkan dianggap setara. 

Yah, jika biasanya stereotip orang Arab yang ditampilkan di film-film Barat adalah teroris, di film ini ia malah menjadi tokoh sentral protagonis yang menyelamatkan tokoh utama. Wah, komplit deh paket misi budaya melalui film yang ingin dihadirkan Denmark ke penonton Indonesia. Salut! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun