Oh Tuhan, mimpi apa aku ini…ucapku dalam hati. “Tentu saja. Tapi.. aku harap tidak lama, karena aku tidak tahan udara dingin.”
Alain tertawa lagi, kali ini sambil mengedipkan mata. “Iya, aku tahu, udara di sini sangat jauh berbeda dengan suhu tropis di negaramu.”
Tidak lama kemudian, setelah memakaikan coatuntukku, kami berdua sudah berada di pinggiran sungai Seine, menyusuri boulevard Saint Michel.
“Tadi, di dalam kafe itu, banyak sekali turis Amerika ya,” ucapku mencoba membuka pembicaraan.
“Oh, memang, apalagi malam ini ‘kan malam Valentine,” jawab Alain. “Orang Amerika memang senang sekali menghabiskan malam Valentine di kota yang kata mereka romantiiss…,” ia memberi penekanan pada kata romantis.
Ha ?!! Aku sampai tidak menyadari bahwa hari ini tanggal empat belas Februari !
“Diana, aku lupa memberikan sesuatu seusai training,” Alain kemudian menghentikan langkahnya. Ia menghadap ke arahku, yang membuatku ikut menghentikan langkah.
Kali ini, aku berhadap-hadapan dengannya. Jarakku dengan Alain hanya beberapa senti, yang membuatku semakin gugup. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sekantong besar permen warna-warni.
“Ini oleh-oleh dan kenang-kenangan dari kantorku, untuk kau bagi-bagikan nanti bagi para pengunjung dan calon klien di kantormu ya,” ujar Alain seraya menyerahkan kantong transparan berisi permen ke tanganku. Ia tersenyum lebar. “Tapi, kau sisakan juga setengahnya untukmu,” bisiknya di telingaku. Jambangnya yang lebat dan rambutnya yang ikal, membuatnya terlihat lebih mirip sosok pria Italia.
“Kau pasti lelah sekali ya, setelah seminggu penuh training,” ujar Alain tersenyum. “Dan besok kau sudah pulang.” Ia menatapku lekat-lekat. “Kau hati-hati ya selama di perjalanan Sampai jumpa nanti di Indonesia.”
“Tentu, Alain,” balasku tersenyum. Bola matanya yang coklat gelap bagai membiusku. Begitu teduh. Menghangatkan.