Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Boulevard Saint Michel

12 Februari 2017   14:09 Diperbarui: 12 Februari 2017   14:39 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku bertemu dengan Alain di toko buku legendaris di kota Paris. (foto sumber: www.literarytraveler.com)

Paris menyimpan banyak kenangan. Paris menyimpan banyak cerita. Begitu pula dengan yang kualami. Setelah empat tahun yang kulalui dalam duka, aku tidak menyangka akan kembali lagi ke kota romantis ini.

Tatkala kususuri tepian sungai Seine di sepanjang boulevard Saint Michel, kisah itu berkelebat lagi dalam ingatanku.

            “Nanti kita janjian ketemu di Saint Michel ya,” tulismu melalui Yahoo Messenger. Pada masa itu, Blackberry dan Whatsapp belum ada. Sedangkan untuk ber-SMS, kami yang masih berstatus mahasiswa rasanya berat untuk mengeluarkan pulsa. Meskipun saat itu, kurs Euro tidak setinggi sekarang.

            Aku tinggal di lain kota. Namun aku sering mampir ke Paris karena berbagai hal. Penduduknya lebih majemuk, senang bertegur sapa meskipun tidak saling kenal. Selain itu, aku punya teman-teman Indonesia yang tinggal di sini. Di kotaku, pada tahun itu, mahasiswa Indonesia hanya dua, aku, dan satu orang lagi. Kami tidak kenal dekat. Walaupun bahasa Prancisku lancar, bukan berarti aku mudah bergaul dengan warga lokal.

Di kota romantis ini pula aku bertemu dengannya. Jujur, aku tidak terlalu mengharapkan banyak hal dari kota ini. Kisah klasik negeri dongeng di kota romantis bagiku isapan jempol belaka. Bisa menginjakkan kaki berulang kali di kota menara Eiffel saja sudah merupakan anugerah.

Namun, hal itu terjadi begitu saja. Secara tidak sengaja aku berkenalan dengannya pada sebuah bazar internasional. Aku dan ia menjadi liaison officer, atau LO, untuk stand Indonesia. Entah, aku langsung merasa klop dengannya. Bahkan kami saling berjanji untuk menjadi LO lagi untuk sebuah acara kebudayaan yang digagas KBRI. Dan setelah acara itu berakhir, aku jadi semakin ingin sering kembali ke Paris. Walaupun itu artinya aku harus menghabiskan sekitar dua ratus Euro untuk bolak-balik dengan TGV. Saat itu, sebagai penerima beasiswa yang lumayan besar, jumlah sebanyak itu bagiku tidak masalah, Meskipun memang, aku tidak mempertimbangkan kemungkinan terburuk ketika uang beasiswa yang kuterima, seiring berakhirnya masa studiku, akan habis.

Pertemuan di Saint Michel itu tidak terlaksana. Kau lebih memilih berolahraga bersama teman-temanmu di lapangan asrama. Sementara, dua ratus Euro sudah kugelontorkan hanya untuk bisa bertemu kembali denganmu, di sini. Di kota romantis ini. Dan kemungkinan aku tidak akan kembali lagi. Aku terpaksa pulang ke Indonesia. Aku sudah tidak punya uang. Disusul dengan penyakit yang mendera ibuku. Juga sebuah penyakit yang tidak kusangka, menimpaku. Selama dua tahun.

*

Musim dingin di kota romantis tahun ini, bagi warga lokal, katanya tidak terlalu dingin. Meskipun bagiku, setelah empat tahun berlalu tidak merasakan suhu di bawah sepuluh derajat, tetaplah dingin. Namun, tidak ada salju.

            Sengaja kutampilkan foto-foto, kali ini dengan diriku di dalam foto itu, di laman facebook-ku. Namun, tetap saja, orang-orang yang iri padaku, bahkan sejak empat tahun lalu ketika aku mendapat beasiswa terbesar dan bisa keliling dunia—maksudku Eropa—memberi puluhan komentar tidak terduga. Jika dulu, komentar-komentar itu berupa, “Ingat Indonesia ya, jangan lupa pulang”; “Wow, keren, tapi cowoknya mana?”; “Jalan-jalan melulu!”. Kini komentar itu menjadi, “Balik lagi lu ke sana?”; “Koq fotonya sendirian aja?”; “Hebat, jalan-jalan lagi!”; “Lu sekarang modis dan cantik banget ya!”. Tetapi, aku ingat sekali, tatkala aku jatuh sakit, bahkan terpuruk dalam depresi, kutampilkan foto tanganku dengan infus. Namun komentar-komentar itu bisa dihitung dengan jari!

Boulevard Saint Michel, tempat aku mengenang cerita lama, dan menyusun cerita baru. (foto sumber: www.allparisguide.com)
Boulevard Saint Michel, tempat aku mengenang cerita lama, dan menyusun cerita baru. (foto sumber: www.allparisguide.com)
            Kini, aku kembali berjalan kaki menyusuri Boulevard Saint Michel. Tak jauh dari situ ada Quartier Latin. Setiap selesai training, aku selalu menyempatkan diri mampir ke kawasan ini. Selain bernostalgia, aku menyukai bangunan-bangunan berdisain antik dari zaman Abad Pertengahan, hingga toko-toko buku terkenal yang berada di sepanjang jalanan berlapis batu cobblestone.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun