Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kultur India dalam Film Nominasi Oscar "Lion" di Festival Sinema Australia 2017

30 Januari 2017   00:32 Diperbarui: 30 Januari 2017   15:55 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saroo kecil dibintangi oleh Sunny Parwa, aktor pendatang baru dengan akting jempolan yang juga berasal dari lingkungan kumuh di India. (foto sumber: Youtube)

Sepertinya, budaya atau kultur India selalu menarik untuk diangkat ke dalam sebuah film yang menelurkan berbagai penghargaan atau setidaknya nominasi di berbagai kancah festival internasional. Sebut saja Slumdog Millionaire, Life of Pi, dan terakhir Lion. Menariknya, film-film jawara festival berlatar belakang budaya India ini tidak ada yang disutradarai oleh sutradara asal India. Setidaknya, untuk ketiga film di atas.

Lion, film besutan Garth Davis, sutradara asal Australia, juga menjadi film penutup pada Festival Sinema Australia Indonesia(FSAI) yang digelar selama tiga hari di Senayan City, Jakarta, sejak tanggal 26 hingga 29 Januari 2017. Festival sinema yang digelar Kedutaan Besar Australia ini dilaksanakan untuk kedua kalinya, dan tahun ini selain di Jakarta, FSAI juga akan roadshow ke Makassar serta Surabaya. Menariknya lagi, film-film yang diputar semuanya gratis! Tapi, berhubung gratis, kalian yang tinggal di kedua kota ini harus cepat-cepat registrasi online terlebih dahulu ya via website ini: Festival Sinema Australia Indonesia 2017.

Kembali ke film Lion, melihat adegan di awal, mulanya saya pikir film ini akan banyak unsur ironi dan sedikit unsur kekerasan seperti Slumdog Millionaire. Terlebih lagi, melihat Sunny Pawar, aktor cilik yang memerankan Saroo saat masih kecil, mirip sekali dengan tokoh utama di Slumdog tatkala dirinya juga masih balita.

Dev Patel memerankan Saroo dewasa yang berusaha menemukan ibu kandungnya di tanah kelahirannya di India. (foto sumber: www.usatoday.com)
Dev Patel memerankan Saroo dewasa yang berusaha menemukan ibu kandungnya di tanah kelahirannya di India. (foto sumber: www.usatoday.com)
Tapi, nyatanya, saya justru merasakan kekaguman terhadap tokoh Saroo yang selalu selamat dari bahaya, bahkan iri karena ia akhirnya diadopsi oleh pasangan keluarga muda Australia. Misalkan ketika ia ditemukan oleh seorang wanita muda yang mengajaknya ke rumah, memberinya makan dan memandikannya, saya pikir wanita ini wanita baik-baik yang dapat menjadi ibu pengganti bagi Saroo. 

Namun, siapa nyana ketika suatu hari wanita tersebut membawa seorang pria, lalu pria tersebut mengamati Saroo lekat-lekat, terutama fisiknya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain. Saya kagum Saroo mempunyai insting yang bagus sehingga ia langsung kabur dari tempat itu dengan berlari secepat kilat.

Siapa juga yang tidak iri, melihat nasib Saroo yang awalnya hidup di daerahslum atau kumuh di sebuah kota kecil di Khandwa, lalu menggelandang di jalanan kota Kalkuta, hingga ditemukan oleh seorang pemuda yang membawanya ke sebuah panti anak-anak gelandangan, dan kemudian diangkat anak oleh John dan Sue, merasakan hidup nyaman di Tasmania, Australia sampai bisa kuliah jurusan perhotelan di Melbourne. 

Yang mengharukan, meskipun Saroo kecil hanya bisa berbahasa Hindi (sedangkan orang-orang di Kalkuta ternyata menggunakan bahasa Bengali), ia tetap bisa bertahan hidup. Sampai kemudian ia belajar bahasa Inggris selama berada di panti sambil menunggu hari kepergiannya ke Australia.

Saroo kecil dibintangi oleh Sunny Parwa, aktor pendatang baru dengan akting jempolan yang juga berasal dari lingkungan kumuh di India. (foto sumber: Youtube)
Saroo kecil dibintangi oleh Sunny Parwa, aktor pendatang baru dengan akting jempolan yang juga berasal dari lingkungan kumuh di India. (foto sumber: Youtube)
Namun, perjuangan Saroo tidak terhenti sampai di situ. Kisah sebenarnya baru dimulai ketika Saroo ingin kembali ke India untuk menemukan ibu dan kakaknya, karena ia selalu dibayang-bayangi kekhawatiran bahwa keduanya selalu mencari keberadaannya. Berhubung sewaktu Saroo tersesat dan terpisah dari ibunya serta kakaknya, ia masih berusia lima tahun, ia tidak tahu nama-nama stasiun yang dilewatinya, melainkan berdasarkan ingatannya semata akan ciri khas tempat-tempat yang pernah dilaluinya.

Dari kisah film ini, tersirat bahwa Australia merupakan negeri idaman orang-orang yang ingin lepas dari kesengsaraan. Ini menarik, karena selama ini negara yang dianggap menjadi impian kebebasan setiap orang adalah Amerika Serikat dengan slogan American Dream-nya. Namun, ternyata ada pula yang menganggap Australia adalah negara yang eksotis tempat terwujudnya mimpi-mimpi, setidaknya seperti yang saya lihat di film ini. Kesan serupa juga pernah saya tangkap sewaktu menonton film Prancis beberapa tahun yang lalu yang mengangkat cerita anak-anak dari lingkungan kumuh kaum imigran kota Paris dan bermimpi bisa pergi ke Australia.

Saroo Brierley turut hadir dalam penutupan FSAI 2017 bersama Alison Purnel dari Kedutaan Besar Australia bagian Advocacy dan Outreach, diapit para panitia FSAI 2017, Senayan City, Jakarta. (foto: dokpri)
Saroo Brierley turut hadir dalam penutupan FSAI 2017 bersama Alison Purnel dari Kedutaan Besar Australia bagian Advocacy dan Outreach, diapit para panitia FSAI 2017, Senayan City, Jakarta. (foto: dokpri)
Film berdurasi 118 menit ini dibintangi oleh Dev Patel sebagai Saroo dewasa (yang wajah dan fisiknya yang kekar bikin saya pangling, karena sangat jauh berbeda ketika ia memerankan tokoh Jamal di Slumdog Millionaire). Selain itu ada Nicole Kidman dan David Wenham yang berperan sebagai orangtua angkat Saroo, dan Rooney Mara sebagai kekasih Saroo. 

Didukung oleh penampilan prima dari aktor dan aktris sekelas Oscar, serta cerita berbobot yang diangkat dari kisah nyata, membuat film yang diproduksi tahun 2016 ini mendapat nominasi Academy Awards 2017 untuk enam kategori. Kategori yang dimaksud yaitu: Film Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik (Dev Patel), Aktris Pendukung Terbaik (Nicole Kidman), Musik Soundtrack Terbaik, Naskah Adaptasi Terbaik dan Sinematografi Terbaik.

Yang mengejutkan, Saroo Brierley yang asli pun turut hadir di FSAI Jakarta ini, dan berbagi cerita seputar filmnya maupun secuplik kisah hidupnya seusai film diputar. Saroo Brierley menuangkan kisah hidupnya ini dalam sebuah memoar berjudul “A Long Way Home” sebelum diadaptasikan ke film layar lebar. Rencananya, setelah kembali dari Amerika Serikat untuk menghadiri ajang Academy Awards, ia ingin kembali melanjutkan menulis buku yang akan menjadi prekuel dari memoarnya.

A Long Way Home, novel memoar Saroo Brierley yang diangkat ke layar lebar. Setelah film Lion, rencananya Saroo akan kembali menulis buku yang akan menjadi prekuel film Lion. (foto sumber: http://saroobrierley.com/)
A Long Way Home, novel memoar Saroo Brierley yang diangkat ke layar lebar. Setelah film Lion, rencananya Saroo akan kembali menulis buku yang akan menjadi prekuel film Lion. (foto sumber: http://saroobrierley.com/)
Yang menjadi pertanyaan saya sekarang, bisakah suatu hari film-film berlatar budaya Indonesia juga mendapatkan nominasi di ajang-ajang festival bergengsi sekelas Oscar? Padahal isu sosial budaya di Indonesia tidak kalah eksotis dan kompleksnya seperti di India. Jika film-film pendek Indonesia yang mengangkat isu sosial sudah lumayan banyak merajai festival-festival internasional seperti Prenjak garapan Wregas Bhanuteja atau What They Don’t Talk About When They Talk About Love karya Mouly Surya (film yang terakhir saya sebut ini juga ikut diputar dalam rangkaian Kompetisi Film Pendek FSAI 2017), saya optimis suatu hari film-film berdurasi panjang karya sineas Indonesia juga dapat bercokol di Academy Awards ;). ***


Judul Film: Lion

Sutradara: Garth Davis

Pemain: Dev Patel, Nicole Kidman, David Wenham, Rooney Mara, Sunny Pawar

Durasi: 118 menit

Tahun rilis: 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun