Beberapa tahun belakangan, usaha start up berbasis teknologi digital semakin berkembang di berbagai negara, tidak ketinggalan pula di Indonesia. Kalau menurut definisi abang Wikipedia, start up itu merupakan sebuah kongsi atau badan usaha berbasis kewirausahaan, yang dikelola oleh sekumpulan orang dalam kelompok kecil, dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital seperti internet dan media sosial interaktif seperti facebook, instagram, dan sifat usahanya inovatif yaitu memberikan ide atau metode baru. Ketika usaha ini bisa menjawab permasalahan atas kebutuhan masyarakat, maka start up tersebut juga bisa dikatakan sebagai suatu kegiatan kewirausahaan sosial, yang dalam istilah kerennya disebut social entrepreneurship.
Seiring berkembangnya kewirausahaan sosial berbasis teknologi digital di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Singapura, dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, maka digagaslah sebuah pertemuan yang mengumpulkan para wirausahawan/wati digital-sosial tersebut dalam acara ASEAN Conference on Social Entrepreneurship. Acara yang digelar selama tiga hari dari tanggal 24 hingga 26 Oktober 2016 di Hotel Bidakara Jakarta ini menghadirkan tidak hanya para wirausahawan/wati start up yang didominasi oleh generasi muda (yang saya temui kebanyakan masih kuliah), melainkan juga para investor yang terdiri dari perusahaan publik maupun swasta.
Proyek Wirausaha Sosial untuk Pembangunan Berkelanjutan di ASEAN
Saya kebetulan diundang untuk mengikuti acara tersebut sebagai pengamat, (lebih tepatnya blogger :p), pada hari terakhir konferensi. Di hari ketiga tersebut, ketiga finalis social entrepreneurs dari kawasan Asia Tenggara mempresentasikan proyek start up mereka di hadapan para juri. Ada sekitar 100 orang audiens yang diundang untuk turut menilai hasil proyek kolaboratif setiap finalis, yang terdiri dari tiga kelompok beranggotakan individu berbeda bangsa.
Finalis pertama mempresentasikan proyek TripAbility yang merupakan kolaborasi tiga wirausaha sosial dari Indonesia yaitu Kerjabilitas dan DNetwork, serta dari Kamboja dengan nama Epic Arts Cafe. TripAbility, singkatan dari Travel for all Abilities, merupakan platform online yang fungsinya nanti kira-kira seperti Trip Advisor tapi dikhususkan bagi para penyandang disabilitas, bertujuan memberikan informasi tempat-tempat wisata dengan fasilitas yang bersahabat bagi para penyandang disabilitas.
Finalis kedua yaitu The Agrigator Platform, didisain oleh tiga wirausaha sosial dalam bidang pertanian dari Indonesia dengan nama perusahaan Javara, NokHook dari Thailand, dan DVIC dari Vietnam. Platform ini dirancang sebagai database online yang berisi informasi para produsen pangan di Asia Tenggara, dengan tujuan menghubungkan antara investor dan buyer dari seluruh dunia dengan para produsen ini. Selain itu, kegunaan lainnya yang ingin dicapai dari aplikasi online ini adalah memberikan informasi mengenai perolehan sertifikasi, branding dan marketing produk-produk pangan.
Setelah presentasi, acara dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan tiga orang pembicara dari sektor pemerintahan, perusahaan (corporate) dan kalangan wirausaha sendiri. Mereka adalah Bapak Teguh Sambodo dari Dirjen Industri, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Eugene Ho sebagai Head of Corporate Affairs SAP South East Asia (perusahaan pengembangan aplikasi perangkat lunak) dan Shana Fatina sebagai CEO dari Tinamitra Mandiri Group, sebuah wirausaha sosial yang berfokus pada bisnis energi dan pengurangan karbon.
Diskusi yang berlangsung seru ini membahas tantangan para pelaku wirausaha sosial dalam menghadapi peraturan-peraturan negara setempat terkait prioritas nasional dan kepentingan pemerintah. Bukan berarti para social entrepreneurs ini diminta untuk menantang pemerintah loh ya, sebaliknya mereka diajak untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan mewujudkan rencana pembangunan bersama-sama, karena pemerintah sendiri masih kurang informasi mengenai dunia wirausaha sosial berbasis teknologi yang berkembang pesat.
Kegiatan wirausaha sosial yang dianggap sebagai tren baru dalam berbisnis justru dinilai membawa misi yang mulia karena mempunyai misi sosial untuk berbagi terhadap lingkungan di sekitarnya. Ada lima kunci dalam mendukung kegiatan social entrepreneurship, yaitu to digitize atau membuat segala sesuatunya serba digital agar lebih mudah diakses, to act together yaitu bekerja sama saling membangun, to transform atau mengubah cara kerja menjadi lebih efektif, to engage yaitu turut terlibat dalam kegiatan yang bersifat values sharing, dan skills improvement yaitu mengasah keahlian lebih baik lagi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (disingkat SDG - sustainable development goals).
Bazar Produk dan Industri Wirausaha