Setelah kenyang melahap Nasi Jamblang Mang Dul, rencana perjalanan kami berdua selanjutnya adalah membeli oleh-oleh batik di Batik Trusmi. Namun, saya dan teman saya sama sekali nggak ngerti, dan nggak tahu bahwa Batik Trusmi itu letaknya lumayan jauh di pinggiran kota Cirebon, di sebuah kawasan bernama Plered, yang apabila ditempuh dengan becak… mungkin malam baru sampai saking jauhnya, ha ha. Kalau saya lihat di google maps, jaraknya ada sekitar 5,6 kilometer bila ditempuh dengan mobil. Jika ditempuh dengan becak, hhmm… mungkin bisa tiga kali lipatnya!
Nah, bodohnya kami lagi, kami tidak menanyakan terlebih dahulu ke abang becak tentang jauh-dekatnya kawasan itu bila dicapai dari Jalan Dr.Cipto, tempat Nasi Jamblang Mang Dul berada. Begitu pula dengan abang becaknya, yang menjawab iya-iya saja, dengan sorot mata polosnya. Apalagi, saya pikir, kan si abang becak sudah saya kasih makan, jadi dia pasti sudah menimbun energi baru untuk mengayuh becaknya mengantarkan kami ke sana. Padahal siang itu panas terik dan menyengat, mungkin suhunya bisa jadi mencapai 35 derajat Celcius, terlebih lagi sol sepatu saya sudah terasa panas sekali seperti dipanggang.
Setelah becak keluar dari gapura Selamat Datang, teman saya mulai bertanya-tanya. “Kayaknya jauh deh, Din,” katanya sambal menutup hidung dengan syalnya, agar tidak terkena debu. “Kalau ke Pecinan gimana ya?” Lalu teman saya berseru sambal mendongak, “Pak! Jauh ya, Pak? Kalau Pecinan jauh nggak, Pak?!”
Si supir becak melongok ke bawah, melihat kami. “Ya, Bu?”
“Masih jauh, Pak, ke Trusmi?!” teriak teman saya lagi.
“Ya, Bu, jauh!” serunya dari atas.
“Kalau ke Pecinan?! Jauh nggak?!” tanya teman saya makin sebal.
“Jauh, Bu,” jawab si supir becak. Pendek.
Lah, gimana sih si Bapak… keluh saya dalam hati.
“Jauhan mana, Trusmi atau Pecinan?!” ketus teman saya lagi.
“Trusmi lebih jauh, Bu! Gimana, Bu, mau balik aja?!” Si abang becak membalas tak kalah sengit. Ia memberhentikan becaknya ke pinggir, lalu turun dari sadelnya.
Raut muka teman saya sudah berlipat-lipat dengan alis mengernyit. “Bilang dong, Pak, kalau jauh! Jangan diam saja!”
“Iya, Bu, ke Trusmi jauh!!” kata si abang becak lagi, wajahnya sungguh-sungguh. “Ke Pecinan saja ya, Bu?”
“Ya sudah, ke Pecinan kalau gitu!” erang teman saya, sebal.
Si supir lalu memutar becaknya, dengan posisi kami masih berada di dalam. Sementara itu, udara terasa luar biasa panas menyengat, dengan sorot matahari yang semakin terik. Jam tangan saya menunjuk ke angka satu.
Mendekati masjid, teman saya pun meminta persetujuan saya untuk menyudahi jalan-jalan menggunakan becak. “Din, kita turun di masjid ini aja sebentar! Cari becak yang lain!”
“Pak, sampai sini aja ya, Pak!” teriak teman saya dari dalam tumpangan.
“Sampai sini aja, Bu?” tanya si abang becak, tetiba nadanya berubah riang.
“Iya, turun sini aja!”
“Terus habis ini kita naik apa, Mbak?” bisik saya. “Mosok becak lagi? Nanti sama saja dong, bertingkah lagi. Ini masih jauh lohkita kalau mau balik ke hotel. Taksi juga nggakada.” Perkiraan saya perjalanan kembali ke hotel akan memakan waktu sama lamanya dengan perjalanan dari hotel ke keraton.
“Udah, pokoknya turun dulu!” balas teman saya ikut berbisik.
Benar-benar menyebalkan juga si abang becak ini. Menurunkan kita di tengah perjalanan, mau kembali ke hotel saja juga tidak mungkin dengan berjalan kaki. Panas-panas pula!
“Kasih aja Din yang pantas berapa,” bisik teman saya lagi setelah kami berdua turun. Lalu saya menyodorkan selembar seratus ribu, yang diprotes oleh si supir becak.
“Lho, Mbak, saya kan sudah mengantar dari pagi, jauuuh, Mbak. Sampai keraton lagi,” keluhnya dengan wajah setengah memelas, setengah kesal.
Saya melirik ke teman saya. Tapi teman saya pun sepertinya enggan mengeluarkan uang, karena kami juga belum berbelanja di Trusmi. Akhirnya saya tambah lagi selembar lima puluh ribu, barulah si abang becak tersenyum sumringah. Sambil menunduk memberikan isyarat terima kasih, ia kembali naik ke atas sadel becaknya.
Saya dan teman saya? Bersungut-sungut masuk ke pelataran masjid, kepanasan!
Shopping atau Nggak Shopping di Batik Trusmi
Melepas penat, kami berteduh sejenak di tangga pelataran masjid yang belakangan baru saya ketahui bernama Mesjid Raya At Taqwa. Bangunan megah dengan halaman seluas 2600 meter persegi ini terletak di Jalan R.A. Kartini, dan merupakan masjid terbesar berarsitektur modern di Cirebon. Sayang, karena pada saat itu kami terlalu lelah, jadi saya tidak terpikir untuk memotretnya, ha ha…Konstruksinya mirip-mirip Mesjid Al-Akbar di Surabaya, namun bedanya masjid yang ini tidak memiliki kubah, melainkan atapnya dibuat dengan arsitektur menyerupai atap rumah pendopo.
Lalu belum sempat juga saya membuka mulut, teman saya langsung menyeru ke sekumpulan remaja, cowok-cowok dan cewek-cewek di dalam stand, yang saya perkirakan masih usia baru selesai kuliah dan usia awal bekerja. “Mbak, Mas, mau tanya dong di sini ada taksi nggak ya, soalnya saya belum pernah ketemu taksi di sini (maksudnya di Cirebon).”
“Iya, kayaknya Blue Bird nggak ada ya di Cirebon?” timpal saya.
“Taksi? Taksi Blue Bird… hhmmm, setahu saya nggak ada sih, Mba,” jawab seorang cowok dengan nada malas-malasan.
Teman saya tambah sebal mendengar jawabannya. “Nanya beneran kok nggak serius gitu sih jawabnya,” rutuknya setengah berbisik.
Untungnya seorang mbak-mbak berjilbab dengan senyum polos menjawab, “Nggak ada, Mba. Tapi ada namanya Taksi Bhineka.”
Lalu saya teringat, sebelum kami tadi memasuki pelataran masjid, saya sempat melihat sebuah mobil minivan yang keluar dari halaman masjid menuju ke jalan raya, dengan tulisan Bhineka pada kaca belakang
“Taksi di sini ukurannya besar, Mba, bisa muat banyak,” imbuh temannya yang lain lagi, yang berdiri di samping produk susu pelangsing, seorang pria muda berkacamata.
“Ada nomor teleponnya, nggak?!” sembur teman saya.
“Ada, Mba, sebentar ya.” Lalu pria itu mengeluarkan notes, dan meminta si mbak berjilbab mencarikan nomor telepon taksi di HP-nya.
Singkat cerita, setelah dua kali menelpon, akhirnya kami dapatkan jugalah sebuah taksi yang dalam waktu sekitar lima belas menit akan meluncur ke masjid ini. Sambil menunggu, tiba-tiba pria muda berkacamata itu membawa selebaran brosur ke hadapan kami. “Mbak, hari Minggu besok ada acara, nggak? Kalau nggak ada, Mbak bisa ikut kegiatan kami nih, bermanfaat juga, bla bla…”
Saya melirik ke brosur susu pelangsing yang digenggamnya. Buset, malah jualan dagangannya ke kita nih orang..
Raut wajah teman saya semakin terlihat bete. Menahan amarah, teman saya malah menjawab dengan nada yang disabar-sabarkan, “Kami ini dari Jakarta, Mas. Nanti malam sudah kembali ke Jakarta. Maaf ya,” jawabnya singkat dengan senyum dipaksakan.
Pemuda berkacamata itu hanya meringis, “Oh, dari Jakarta, Mba..” lalu ia kembali ke stand-nya, masih sambil tersenyum.
Luar biasa deh orang Cirebon ini, pikir saya. Kalau di Jakarta, seorang sales macam dirinya pasti akan pantang menyerah memburu kita untuk menawarkan produknya, atau setidaknya membujuk kita sampai mau untuk sekadar mengikuti acaranya supaya pada akhirnya kita tertarik dan membeli produk tersebut.
Ketika terbangun, Pak Doni sambil senyum-senyum membukakan pintu untuk saya. Mungkin dia geli mendengar cerita kami lalu melihat saya tertidur pulas. Ternyata kami memang sudah sampai di kompleks Batik Trusmi, bahkan persis di sebelah pintu masuk sampingnya.
Kembali ke toko batik Trusmi, saya melihat ratusan manusia berjejal di dalam toko seluas hypermarket-hypermarket yang ada di Jakarta. Yah, nggak berjejal banget sih, tapi ruammmeee deh, melihatnya seolah-olah sedang berada di dalam pasar induk sayur-mayur. Sumpek!!!
Ketika sedang mengamati cokelat-cokelat penghibur suasana hati itu, mendadak diperdengarkan suara musik pengiring tari-tarian yang lumayan memekakkan telinga. Saya mencari sumber suara, dan ternyata tidak jauh dari rak cokelat, di sebuah pojokan, sedang berlangsung sebuah pementasan tari topeng yang diperagakan oleh dua orang remaja putri. Suaranya berasal dari alat sound system yang dipasang di samping mereka. Sambil menunggu teman saya berburu batik mega mendung khas Cirebon, saya malah tenggelam menikmati sajian tari tradisional tersebut. Untuk hiburan seperti ini, saya rela deh meraih kepingan logam dalam saku tas saya untuk disumbangkan kepada kedua penari belia. Hiburan yang menyenangkan, apalagi setelah mengalami kejadian tidak enak dengan si abang becak, ha ha ha…
Kami kembali ke hotel masih sore, sebelum Maghrib menjelang, akibat kelelahan dan kepanasan berkeliling dengan becak.
Makan malam kami lalui di dalam hotel, dengan memesan empal gentong yang ternyata uueenaaak… Tidak sia-sialah meskipun tidak keluar hotel untuk makan malam kali itu, harganya juga sepadan, rasanya pun tidak kalah dengan rasa kaki lima. Setidaknya begitulah menurut pendapat kami. Saking lelah dan lapar, makanan kami habiskan, tak bersisa. Nggeragas!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H