Sayangnya, museum ini tidak dilengkapi dengan AC, dan saya rasa tidak rutin dibersihkan ya, karena tercium aroma apek yang menyengat dari karpet-karpet hijau yang menjadi alas untuk alat-alat musik berat seperti gending dan gong. Padahal, jika saya perhatikan sejak dari pintu masuk, hampir setiap tukang sapu, penjaga museum, juru pemandu, bahkan bapak-bapak yang berjualan buku sejarah, semuanya meminta sumbangan uang ke setiap pengunjung.
Yah, kembali lagi ke acara kunjungan museum, selanjutnya kami memasuki teras depan bangunan utama keraton. Atap dan tiang-tiang pada teras depan ini didominasi warna hijau dengan ornamen-ornamen merah keemasan bergaya Tiongkok. Begitu pula pada temboknya yang berwarna putih, diselingi keramik-keramik porselen Tiongkok yang memperlihatkan gambar kapal, istana atau kuil bergaya Cina. Unsur-unsur Cina atau Tiongkok ini, seperti yang diceritakan sang pemandu juga ada hubungannya dengan salah satu istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Sejak menikahi sang Sunan, Putri Ong Tien berganti nama menjadi Ratu Rara Sumanding. Di balik teras terdapat kediaman keluarga kerajaan yang tidak boleh kami masuki.
Sehingga kami berbelok ke bangunan sebelah kanannya, yang berisi kereta kencana, dan lukisan Prabu Siliwangi bersama seekor Harimau Putih. Sayangnya, lagi-lagi saya mendapati kereta kencana ini seperti tidak pernah dibersihkan, di sekeliling atap rumbai-rumbainya dipenuhi debu. Jika memang takut membuatnya rusak kalau dibersihkan secara manual, setidaknya dipasang AC supaya mengurangi masuknya debu. Untunglah berbagai pedang yang dipajang di etalase berlapis kaca tidak ikut berdebu. Ada pedang-pedang peninggalan tentara Portugis yang sudah keropos, ada juga pedang dari berbagai pulau di Indonesia, termasuk pedang Kalimantan, yang masih bagus banget gagangnya, dan mata pedang yang mengkilap. Kalah deh sama pedang Portugis. Sayangnya pedang-pedang ini tidak sempat saya foto berhubung pada hari itu keraton ramai dikunjungi bocah-bocah SMA yang sedang berkaryawisata, jadi ruangan bangunan ini cukup penuh sesak. Apalagi jika bukan untuk melihat lukisan sang Prabu yang katanya magis itu, karena sorot matanya mengikuti ke mana pun arah kita berdiri. Kesan magis tidak hanya pada lukisan, melainkan juga pada sumur dan tempat pemandian yang terletak di halaman tengah keraton.
Setelah teman saya mengambil satu botol air suci dari Sumur Agung, saya menemaninya ‘berguru’ kepada orang dalam keraton untuk meminta petunjuk akan jodohnya. Ternyata, tidak hanya teman saya saja yang ingin konsultasi, tetapi ada banyak pengunjung lainnya, sekitar sepuluh orang yang juga mengantri. Wah, laris-manis, deh!
Nasi Jamblang Mang Dul Yang Nyus Banget
Perjalanan ke pusat kota Cirebon kami tempuh kembali dengan menggunakan becak yang sama. Yah kelihatannya si abang tukang becak juga baik-baik saja, jadi kami terus melaju dalam suasana riang, meskipun semakin siang Cirebon memang semakin panas. Panas yang menyengat hingga terasa memanggang ujung kaki saya yang berselimutkan sepatu balerina, walaupun masih bisa saya tahan-tahan (daripada dilepas lebih panas lagi, lho).
Kelihatannya berpuluh-puluh kilometer telah kami lalui, menerobos kemacetan kota Cirebon dan jalan raya yang dipadati mobil-mobil pribadi berplat B, E, F, dan D. Becak sempat melewati bagian samping Grage Mal, satu-satunya mal di kota ini, karena kami kira, seperti yang ditulis di beberapa referensi, Nasi Jamblang Mang Dul terletak di seberang mal. Ternyata setelah becak sempat berputar-putar, letak rumah makannya bukan di seberang atau sampingnya mal persis. Rumah makan yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an di Jalan Cipto Mangunkusumo ini berada di sekitar lampu merah dan BCA Gunung Sari, satu deretan dengan rumah makan-rumah makan lainnya yang menjual makanan khas Cirebon seperti Nasi Lengko, Iga Bakar, Sate Kambing. Di depan rumah makan ini juga saya temukan sebuah gerobak yang menjual es durian, meskipun saya tidak membelinya karena sudah kekenyangan.
Kekhasan Nasi Jamblang ternyata terletak pada variasi lauk, selain pada kemasan nasi itu sendiri yang dibungkus daun jati. Nasinya pulen, tidak terlalu lembek dan juga tidak keras. Porsi nasinya sendiri sih, tidak cukup untuk perut saya yang lebar ini ya, haha..tapi berhubung pilihan lauknya bermacam-macam, maka saya banyak-banyakin ambil lauknya saja. Daun jati selain dipakai untuk membungkus nasi, juga dipakai sebagai alas lauk di atas piring. Sementara itu, sistem pelayanan rumah makannya self-service, bukan dengan memanggil pelayan untuk datang ke meja. Kami sendiri yang harus mendatangi meja panjang berisi deretan lauk-pauk yang bebas dipilih : ada tempe goreng, tahu goreng, ayam goreng, ayam bakar, ikan asin jambal, perkedel, ikan pepes, kerang, daging empal, dan banyak lagi. Setelah memilih lauk-pauknya, barulah saya menghampiri salah satu pelayan yang berdiri di dekat meja kasir untuk menghitung total harganya, lalu ia akan menuliskannya di atas kertas dan menyodorkan kertas tersebut ke saya. Sebenarnya kalau mau hitung-hitungan harga lauk juga bisa dilakukan selesai makan, namun saya takut keburu lupa apa saja yang saya makan, hi hi hi…Oya, satu lagi, jangan lupa membubuhkan sambal khas Cirebon, yang pedasnya kalau untuk ukuran orang Jawa, paaas banget!