Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Long Weekend di Cirebon: Geliat Wisata Kota Pesisir (Bagian 2)

30 September 2016   10:12 Diperbarui: 30 September 2016   14:00 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istana Keraton Kasepuhan Cirebon. (foto: dok.pri)

Sayangnya, museum ini tidak dilengkapi dengan AC, dan saya rasa tidak rutin dibersihkan ya, karena tercium aroma apek yang menyengat dari karpet-karpet hijau yang menjadi alas untuk alat-alat musik berat seperti gending dan gong. Padahal, jika saya perhatikan sejak dari pintu masuk, hampir setiap tukang sapu, penjaga museum, juru pemandu, bahkan bapak-bapak yang berjualan buku sejarah, semuanya meminta sumbangan uang ke setiap pengunjung.

Yah, kembali lagi ke acara kunjungan museum, selanjutnya kami memasuki teras depan bangunan utama keraton. Atap dan tiang-tiang pada teras depan ini didominasi warna hijau dengan ornamen-ornamen merah keemasan bergaya Tiongkok. Begitu pula pada temboknya yang berwarna putih, diselingi keramik-keramik porselen Tiongkok yang memperlihatkan gambar kapal, istana atau kuil bergaya Cina. Unsur-unsur Cina atau Tiongkok ini, seperti yang diceritakan sang pemandu juga ada hubungannya dengan salah satu istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Sejak menikahi sang Sunan, Putri Ong Tien berganti nama menjadi Ratu Rara Sumanding. Di balik teras terdapat kediaman keluarga kerajaan yang tidak boleh kami masuki.

Sehingga kami berbelok ke bangunan sebelah kanannya, yang berisi kereta kencana, dan lukisan Prabu Siliwangi bersama seekor Harimau Putih. Sayangnya, lagi-lagi saya mendapati kereta kencana ini seperti tidak pernah dibersihkan, di sekeliling atap rumbai-rumbainya dipenuhi debu. Jika memang takut membuatnya rusak kalau dibersihkan secara manual, setidaknya dipasang AC supaya mengurangi masuknya debu. Untunglah berbagai pedang yang dipajang di etalase berlapis kaca tidak ikut berdebu. Ada pedang-pedang peninggalan tentara Portugis yang sudah keropos, ada juga pedang dari berbagai pulau di Indonesia, termasuk pedang Kalimantan, yang masih bagus banget gagangnya, dan mata pedang yang mengkilap. Kalah deh sama pedang Portugis. Sayangnya pedang-pedang ini tidak sempat saya foto berhubung pada hari itu keraton ramai dikunjungi bocah-bocah SMA yang sedang berkaryawisata, jadi ruangan bangunan ini cukup penuh sesak. Apalagi jika bukan untuk melihat lukisan sang Prabu yang katanya magis itu, karena sorot matanya mengikuti ke mana pun arah kita berdiri. Kesan magis tidak hanya pada lukisan, melainkan juga pada sumur dan tempat pemandian yang terletak di halaman tengah keraton.

Tempat pemandian istana Kasepuhan Cirebon yang sudah tidak dipakai lagi. (foto: dok.pri)
Tempat pemandian istana Kasepuhan Cirebon yang sudah tidak dipakai lagi. (foto: dok.pri)
Persisnya di balik bangunan berisi kereta kencana inilah terdapat sumur yang katanya sudah ada sejak tahun 1400-an. Diberi nama Sumur Agung, dulu dipakai sebagai air wudhu bagi para Wali Songo, dan keajaibannya konon setara air zamzam karena bisa menyembuhkan penyakit, bahkan terletak bisa memperlancar jodoh para peminumnya. Saya mah wallahu a’lam saja. Selain sumur, di sampingnya terdapat pula tempat pemandian yang sudah berlumut, dan konstruksinya dibuat menyerupai Taman Sari Gua Sunyaragi.

Setelah teman saya mengambil satu botol air suci dari Sumur Agung, saya menemaninya ‘berguru’ kepada orang dalam keraton untuk meminta petunjuk akan jodohnya. Ternyata, tidak hanya teman saya saja yang ingin konsultasi, tetapi ada banyak pengunjung lainnya, sekitar sepuluh orang yang juga mengantri. Wah, laris-manis, deh!

Sumur Agung di dalam kompleks istana Kasepuhan Cirebon yang konon berkhasiat. (foto: dok.pri)
Sumur Agung di dalam kompleks istana Kasepuhan Cirebon yang konon berkhasiat. (foto: dok.pri)
Setelah puas mengelilingi kompleks keraton, dan teman saya tampak puas juga dengan jawaban dari sang guru, kami melanjutkan perjalanan mencari makan siang. Apalagi saat itu jam di tangan saya sudah menunjuk ke angka dua belas.

Nasi Jamblang Mang Dul Yang Nyus Banget

Perjalanan ke pusat kota Cirebon kami tempuh kembali dengan menggunakan becak yang sama. Yah kelihatannya si abang tukang becak juga baik-baik saja, jadi kami terus melaju dalam suasana riang, meskipun semakin siang Cirebon memang semakin panas. Panas yang menyengat hingga terasa memanggang ujung kaki saya yang berselimutkan sepatu balerina, walaupun masih bisa saya tahan-tahan (daripada dilepas lebih panas lagi, lho).

Kelihatannya berpuluh-puluh kilometer telah kami lalui, menerobos kemacetan kota Cirebon dan jalan raya yang dipadati mobil-mobil pribadi berplat B, E, F, dan D. Becak sempat melewati bagian samping Grage Mal, satu-satunya mal di kota ini, karena kami kira, seperti yang ditulis di beberapa referensi, Nasi Jamblang Mang Dul terletak di seberang mal. Ternyata setelah becak sempat berputar-putar, letak rumah makannya bukan di seberang atau sampingnya mal persis. Rumah makan yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an di Jalan Cipto Mangunkusumo ini berada di sekitar lampu merah dan BCA Gunung Sari, satu deretan dengan rumah makan-rumah makan lainnya yang menjual makanan khas Cirebon seperti Nasi Lengko, Iga Bakar, Sate Kambing. Di depan rumah makan ini juga saya temukan sebuah gerobak yang menjual es durian, meskipun saya tidak membelinya karena sudah kekenyangan.

Nasi Jamblang Mang Dul sistemnya self-service. (foto: dok.pri)
Nasi Jamblang Mang Dul sistemnya self-service. (foto: dok.pri)
Penasaran dengan nasi jamblang, namun saya dan teman saya harus bersabar mengantri mengambil nasi serta lauk-pauknya, dan mencari bangku yang kosong karena pada hari Sabtu long weekend itu ternyata pengunjungnya banyak juga. Kalau pun akhirnya menemukan bangku kosong, saya merasa kami tidak boleh duduk berlama-lama setelah selesai makan, karena sudah ditunggu oleh pengunjung lainnya yang juga ingin duduk agar dapat menyantap nasi jamblang dengan puas. Kami juga sempat terpikir untuk membelikan nasi jamblang untuk si abang becak, jadi begitu giliran saya yang mengantri, saya sekaligus memesan dua piring : satu untuk saya, dan satu lagi buat sang supir becak. 

Kekhasan Nasi Jamblang ternyata terletak pada variasi lauk, selain pada kemasan nasi itu sendiri yang dibungkus daun jati. Nasinya pulen, tidak terlalu lembek dan juga tidak keras. Porsi nasinya sendiri sih, tidak cukup untuk perut saya yang lebar ini ya, haha..tapi berhubung pilihan lauknya bermacam-macam, maka saya banyak-banyakin ambil lauknya saja. Daun jati selain dipakai untuk membungkus nasi, juga dipakai sebagai alas lauk di atas piring. Sementara itu, sistem pelayanan rumah makannya self-service, bukan dengan memanggil pelayan untuk datang ke meja. Kami sendiri yang harus mendatangi meja panjang berisi deretan lauk-pauk yang bebas dipilih : ada tempe goreng, tahu goreng, ayam goreng, ayam bakar, ikan asin jambal, perkedel, ikan pepes, kerang, daging empal, dan banyak lagi. Setelah memilih lauk-pauknya, barulah saya menghampiri salah satu pelayan yang berdiri di dekat meja kasir untuk menghitung total harganya, lalu ia akan menuliskannya di atas kertas dan menyodorkan kertas tersebut ke saya. Sebenarnya kalau mau hitung-hitungan harga lauk juga bisa dilakukan selesai makan, namun saya takut keburu lupa apa saja yang saya makan, hi hi hi…Oya, satu lagi, jangan lupa membubuhkan sambal khas Cirebon, yang pedasnya kalau untuk ukuran orang Jawa, paaas banget!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun