Letak geografis Indonesia yang berada di lempengan seismo tektonik menjadikan negeri kita ini rawan terhadap bencana alam. Bahkan, sebenarnya sejak 73000 tahun yang lalu, pernah terjadi letusan dahsyat dari Gunung Berapi Toba, yang menyebabkan terbentuknya Danau Toba seperti yang kita kenal sekarang sebagai tempat wisata alam di Sumatera Utara. Namun, sayangnya, menurut Humas BNPB Bapak Sutopo Purwo Nugroho dalam acara Kompasiana Nangkring tanggal 18 Agustus yang lalu di Hotel Dafam Teraskita, Jakarta, masyarakat Indonesia masih belum siap menghadapi bencana.
Meskipun bencana alam akhir-akhir ini semakin beruntun terjadi yang dimulai sejak tahun 2004 di Aceh dalam bentuk gempa tsunami, disusul gempa Yogyakarta tahun 2006, meletusnya Gunung Merapi, Gunung Sinabung, dan lain-lain pada tahun-tahun belakangan, sadar bencana pada masyarakat kita baru sebatas pengetahuan saja. Selain itu, banyak alat pendeteksi bencana yang rusak sepert alat peringatan dini tsunami di Pacitan, atau alat peringatan banjir di bantaran sungai Bengawan Solo.
Nostalgia Sandiwara Radio
Tutur Tinular, Saur Sepuh, adalah judul-judul sandiwara radio yang pernah 'mampir' di telinga saya sewaktu kecil. Dikatakan mampir, karena saya tidak sepenuhnya mengikuti drama tersebut kecuali diputarkan pada setiap kali saya dijemput kendaraan dari sekolah menuju rumah sambil menembus perjalanan pulang dalam kemacetan, ha ha.. Mau tidak mau, saya pun jadi mengetahui bahwa sandiwara radio bisa juga membius pendengar setianya. Saya yang tidak sengaja mendengarkannya saja bisa terbawa rasa emosi takut atau sedih, apalagi kalau ada adegan bertarung dengan kekuatan sakti, dan seringnya menjadi semacam dongeng 'nina bobo' siang saya di kendaraan.
Saat dewasa, saya masih sesekali mendengarkan sandiwara radio yang diputar salah satu stasiun radio swasta Jakarta untuk menemani saya menyetrika tumpukan baju. Lumayan lah daripada pikiran ke mana-mana, hi hi... Sandiwara radio yang biasanya saya dengarkan saat itu berupa dongeng anak-anak yang dibawakan Mbak Poetri Suhendro dan Gery Puraatmadja. Anak-anak yang mendengarkan dongeng ini biasanya memanggil mereka dengan sebutan Kak Putri serta Paman Gery. (Hhm.. kira-kira Kompasianer yang berdomisili di Jakarta tahu ya mereka ini dari radio mana? ;) ).Â
Dongeng anak-anak yang dibawakan Kak Poetri dan Paman Gery bermacam-macam kisahnya, mulai dari dongeng klasik yang diambil dari negerinya HC Andersen, dongeng tradisional dari Indonesia, bahkan dongeng Indonesia kontemporer dengan tokoh-tokoh baru ciptaan mereka berdua. Sedangkan sandiwara radio lainnya saya sudah tidak mengikuti lagi, terlebih pada saat malam hari yang belum-belum dimulai dengan suara kikikiki (alias suara hantu) atau suara desahan manja perempuan. Kalau sudah begitu, channel radio saya pindah ke saluran yang memutar lagu-lagu pop.
Keunggulan Radio Dibandingkan Media Informasi Lainnya
Berbicara tentang radio, menurut Bapak Achmad Zaini, praktisi radio yang menjadi salah satu narasumber di acara Kompasiana Nangkring, keberadaannya sebagai sarana penyampai informasi memang bersaing ketat dengan televisi dan internet. Walaupun begitu, radio masih mempunyai beberapa keunggulan yang tidak bisa digantikan dengan media lain, seperti kedekatan antara penyiar dengan pendengar, penyampaian informasi terbaru lebih cepat sampai, dan pastinya murah meriah karena tidak perlu bayar untuk bisa mendengarkan radio.
Saya masih ingat beberapa peristiwa sekitar zaman kerusuhan 1998 yang mengharuskan saya mantengin siaran radio saat menembus perjalanan dari sekolah ke rumah agar menghindari jalanan yang dianggap rawan. Kenangan lainnya, setiap pagi saat berangkat ke sekolah, ke kampus, atau ke kantor menggunakan mobil jemputan, si pengemudi pasti menyetel radio untuk mengetahui titik-titik kemacetan yang disiarkan secara langsung.Â