Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pameran Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional Indonesia

9 Agustus 2016   22:30 Diperbarui: 9 Agustus 2016   22:53 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu lukisan Affandi yang mempunyai ciri khas menggambar dengan cocolan tabung cat minyak. (foto: dok.pribadi)

Jarang-jarang rasanya di Indonesia bisa menikmati pameran lukisan karya para pelukis kenamaan Indonesia, bahkan yang nama-namanya sudah kesohor ke mancanegara seperti Basuki Abdullah, Affandi, atau Raden Saleh, di negeri sendiri. Gratis pula! Proyek inisiatif Bapak Presiden Jokowi ini, bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Ekonomi dan Mandiri Art digelar di Museum Galeri Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, mulai tanggal 1 Agustus kemarin hingga tiga puluh hari ke depan. 

Bila dulu sekitar tahun 2012 saya tidak kesampaian menyaksikan dengan mata kepala sendiri karya-karya Raden Saleh, kini saya dapat melihat lukisan-lukisan beraliran surealis maestro pelukis Indonesia yang pernah bermukim selama 23 tahun di Eropa itu, di antara karya-karya pelukis kenamaan Indonesia lainnya. Lukisan-lukisan yang biasanya hanya digantung di dinding-dinding Istana Negara baik yang ada di Jakarta, Yogyakarta atau Bogor untuk konsumsi kalangan elit saja kini bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia dalam sebuah pameran bertajuk "17:71 Goresan Juang Kemerdekaan". Memang, goresan-goresan dari 28 lukisan yang dipamerkan ini menyimpan sejuta cerita penuh makna. 

Lukisan karya Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965, yang menjadi lukisan latar foto detik-detik proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. (foto: dok.pribadi)
Lukisan karya Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965, yang menjadi lukisan latar foto detik-detik proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. (foto: dok.pribadi)
Misalkan saja salah satu lukisan karya Henk Ngantung, mantan Gubernur DKI Jakarta tahun 1964-1965 berdarah Tionghoa ini (hei, Henk Ngantung itu juga pelukis, loh!), ternyata merupakan lukisan yang menjadi latar belakang foto detik-detik proklamasi kemerdekaan Bung Karno dan Bung Hatta di Jalan Pegangsaan Timur no.56. Memang, kalau di buku sejarah atau di video dokumenter yang kita lihat hanya sebuah gambar hitam saja di balik punggung Bung Karno, namun ketika foto bersejarah itu diperjelas, ternyata gambar hitam di belakangnya merupakan sebuah lukisan tak ternilai harganya. Mengapa demikian? Jadi, ceritanya, Bung Karno sedang berkunjung ke rumah Henk Ngantung dan menemukan dirinya sedang melukis sosok pria telanjang dada yang sedang menghunus anak panah di depan busurnya. Namun, lukisan itu belum selesai. Bung Karno yang memang penikmat seni sangat tertarik dengan lukisan itu karena menggambarkan keperkasaan dan kekuatan seorang pemuda Indonesia yang terus bergerak maju. Beliau memutuskan membelinya meskipun gambar tangannya belum selesai, lalu menawarkan dirinya untuk menjadi model lukisan agar Henk Ngantung dapat menyelesaikan karyanya. Luar biasa, bukan?

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh: kira-kira Kompasianer bisa menebak Radeh Saleh ada di mana ya dalam lukisan? (foto: dok.pribadi)
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh: kira-kira Kompasianer bisa menebak Radeh Saleh ada di mana ya dalam lukisan? (foto: dok.pribadi)
Lukisan bersejarah lainnya, yang mungkin Kompasianer sudah banyak mengetahui, adalah lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro karya pelukis favorit saya ;). 

Siapa lagi kalau bukan lukisan karya Raden Saleh. Lukisan ini sangat patriotis dan simbolis, karena menggambarkan situasi penangkapan sang pangeran tanah Jawa dalam interpretasi yang berbeda dari yang digambarkan oleh pelukis Belanda, Nicholas Pienemaan. Dalam lukisan karya putra aristokrat Jawa yang karya-karyanya disejajarkan dengan pelukis romantik Delacroix asal Prancis ini, Pangeran Diponegoro digambarkan berjalan dengan tegak, dan kepergiannya ditangisi oleh rakyatnya, termasuk Raden Saleh sendiri. Ya, nantinya jika Kompasianer memerhatikan dengan seksama, beliau juga ada dalam lukisan tersebut dalam empat karakter berbeda: ada yang sedang menunduk karena sedih, ada yang tertegun sambil berpikir, ada yang sedang memeluknya dari belakang, dan ada yang duduk sambil menengadah.

Salah satu lukisan Affandi yang mempunyai ciri khas menggambar dengan cocolan tabung cat minyak. (foto: dok.pribadi)
Salah satu lukisan Affandi yang mempunyai ciri khas menggambar dengan cocolan tabung cat minyak. (foto: dok.pribadi)
Selain itu, kini saya juga bisa melihat karya-karya Affandi dari jarak dekat yang beraliran ekspresionisme-romantisme. Sederhananya, saya masih ingat sekali gaya melukis Affandi sewaktu beliau masih hidup, yang nyaris tidak pernah menggunakan palet, namun langsung mencocolkan tabung cat minyak ke atas kanvas dan dibuatnya melungker-melungker membentuk pola yang khas. Saya sempat berpikir berapa tabung cat minyak yang beliau habiskan ya untuk membuat satu karya lukisan? Nggak eman-eman, ha ha ha...

Lukisan Pangeran Diponegoro yang ekspresif karya Basuki Abdullah. (foto: dok.pribadi)
Lukisan Pangeran Diponegoro yang ekspresif karya Basuki Abdullah. (foto: dok.pribadi)
Tapi, jangan berharap Kompasianer melihat salah satu lukisan karya Basuki Abdullah berupa seorang wanita tanpa busana ya, karena lukisan-lukisan yang dipajang di Galeri Nasional ini ditujukan untuk semua umur. Jadi, pastinya sudah dipilah-pilah dulu oleh panitia. Kebanyakan lukisan karya Basuki Abdullah yang ditampilkan di sini berupa pemandangan alam seperti Gunung Merapi yang tengah meletus. Meskipun ada juga lukisan manusia yang menggambarkan Pangeran Diponegoro sedang bersiap berperang dengan gagah di atas kudanya. 

Lukisan berjudul
Lukisan berjudul
Lalu, saya baru tahu bahwa Bung Karno, selain penikmat seni, beliau sendiri juga adalah seorang pelukis yang piawai. Salah satu lukisannya berjudul "Rini" ditampilkan di salah satu sisi museum. Ada yang mengatakan bahwa Rini itu adalah Sarinah, wanita pengasuhnya sejak kecil. Ada pula yang mengatakan bahwa Rini itu adalah tokoh rekaan Bung Karno saja. Yah, seperti kita tahu Bung Karno memang suka sekali dengan wanita cantik, terutama wanita eksotis khas Asia-Indonesia. 

Bahkan lukisan Wanita Berkebaya Melayu yang dibuat oleh Diego Rivera, seorang pelukis asal Meksiko, yang seharusnya tidak boleh diusung ke luar negeri karena kebijakan di negeri itu, sampai mengharuskan presidennya mengeluarkan dekrit agar bisa diboyong Soekarno ke Indonesia! Begitu hebatnya negosiasi yang dilakukan Bung Karno yah... 

Wanita Berkebaya Melayu karya Diego Rivera, pelukis Meksiko. Untuk memboyong lukisan ini ke Indonesia, Presiden Meksiko sampai harus mengeluarkan dekrit! (foto: dok.pribadi)
Wanita Berkebaya Melayu karya Diego Rivera, pelukis Meksiko. Untuk memboyong lukisan ini ke Indonesia, Presiden Meksiko sampai harus mengeluarkan dekrit! (foto: dok.pribadi)
Masih banyak lagi lukisan-lukisan mengandung latar historis yang dapat Kompasianer nikmati selama pameran berlangsung hingga tanggal 30 Agustus 2016 nanti. Saya juga jadi belajar banyak tentang Indonesia, terutama mengenai kecintaan dan penghargaan Bung Karno terhadap karya seni dan para senimannya. Setahu saya, biasanya hanya keluarga kerajaan di dunia yang mempekerjakan seorang pelukis pribadi untuk kalangan istana. 

Namun, dari pameran itu baru saya ketahui bahwa Bung Karno pun mempunyai pelukis kesayangan bernama Dullah, bahkan Bung Karno sering mengajak Dullah ke luar negeri selama tugas kenegaraan untuk menambah referensi keahlian melukisnya. Hal itu dapat dilihat dari foto-foto koleksi Bung Karno yang juga turut dipamerkan di Galeri Nasional. Setelah Dullah, lalu ada pelukis Lee Man Fong yang dipekerjakan Bung Karno hingga masa Gestapu. Ciri khas lukisan Lee Man Fong sangat detail hingga ke sudut-sudut dengan warna-warni cerah.

Selain pameran lukisan dan foto, turut dipajang beberapa guci keramik asal Tiongkok koleksi istana, dan buku-buku katalog lukisan peninggalan Bung Karno yang ditata dalam sebuah boks kaca. Pameran kali ini memang benar-benar memuaskan dahaga saya akan koleksi seni lukis karya para maestro Indonesia yang menyimpan seribu cerita di baliknya. Semoga begitu juga kesan yang ditangkap para Kompasianer, ya... ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun