Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Winter in Tokyo, Film Drama Indonesia Rasa Jepang

2 Agustus 2016   12:34 Diperbarui: 2 Agustus 2016   12:47 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
poster film Winter In Tokyo yang akan dirilis 11 Agustus 2016. (foto sumber: muvila.com)

Booming film-film drama serial Asia yang masuk ke Indonesia hingga sekarang masih belum usai. Dimulai sejak saya kecil sekitar tahun 1980-an, ada serial Oshin asal Jepang yang mengharu-biru namun selalu bikin para penonton penasaran untuk terus mengikutinya hingga usai. Lalu, pada tahun 1990-an, setting drama Jepang berubah menjadi Jepang abad modern (setidaknya itu yang disiarkan di televisi Indonesia) melalui Tokyo Love Story yang katanya juga bikin campur aduk emosi para penonton Indonesia. 

Sekitar tahun 2000-an awal, ada serial Meteor Garden dari Taiwan yang menciptakan tren baru gaya rambut remaja Asia dengan ciri khas lurus mengkilap berwarna cerah sehingga ada istilah rebonding, smoothing, toning. Selanjutnya, serial-serial drama dari Korea Selatan turut memeriahkan kancah perfilman drama Asia melalui Winter Sonata, Full House, dan serial drama berikutnya yang sudah tidak pernah lagi saya tonton (karena males banget kalau sudah bikin kecanduan :D), dengan tipikal tokoh utama wanita yang imut cenderung polos, sementara tokoh utama prianya ganteng, berprofesi keren macam artis, seniman, businessman yang digandrungi cewek-cewek tapi koq ya naksirnya sama cewek yang polos itu.

Sementara, ada godaan dari pihak orang ketiganya yang biasanya satu orang tokoh wanita dengan kecantikan berkelas, anggun, kadang-kadang seksi dan cenderung blasteran londo; satu tokoh lagi seorang pria mapan namun profesinya membosankan macam dokter, pengacara (padahal pendapat mainstream masyarakat justru pria-pria seperti ini yang bisa menjanjikan masa depan, ha ha ha...).

Pola yang sama ini juga saya temukan pada kisah film drama Winter in Tokyo yang baru ditayangkan secara premiere pada hari Senin malam, 1 Agustus di CGV Blitz Megaplex Grand Indonesia. Perbedaannya, Winter in Tokyo adalah film drama yang dibuat oleh insan perfilman Indonesia melalui rumah produksi Maxima Pictures, dengan skenario yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya pengarang Indonesia juga, Ilana Tan.

Film berdurasi 90 menit ini dimainkan semuanya oleh para aktor dan aktris Indonesiberwajah oriental agar pas memerankan karakter tokoh-tokoh Jepang, dengan beberapa kali menggunakan dialog bahasa Jepang. Ada Dion Wiyoko yang memerankan tokoh utama pria bernama Kazuto, Pamela Bowie untuk memerankan Keiko sebagai tokoh utama wanita, lalu ada pula pihak ketiga yang dimainkan Morgan Oey sebagai dokter Akira dan Kimberly Ryder sebagai Yuri. 

Kecuali ada beberapa tokoh figuran yang memakai para pemain orang Jepang asli seperti Nenek Osawa yang menjadi tetangga Keiko, gadis penjaga perpustakaan teman Keiko, juga tokoh Keiko dan Kazuto di masa kecil. 

Singkatnya, dari dialog yang ditangkap, Keiko dan Kazuto ini katanya sama-sama berdarah blasteran Indonesia, namun menetap di Tokyo karena alasan yang dipendam masing-masing. Keiko adalah seorang gadis pengelola perpustakaan yang punya saudara kembar, tapi hidup sendiri di sebuah apartemen. Di apartemen inilah Keiko berkenalan dengan Kazuto, yang tinggal persis di seberang kamarnya. 

Kazuto yang berprofesi sebagai fotografer juga memilih hidup sendiri, namun seiring cerita bergulir ternyata kepindahannya itu akibat cintanya terhadap Yuri bertepuk sebelah tangan. Yuri yang molek dan blasteran bule tinggal di New York untuk meneruskan karir sebagai model. Pada saat Keiko mulai pedekate dengan Kazuto, eh... Keiko dipertemukan dengan cinta pertamanya di masa kecil, yaitu Akira yang kini berprofesi sebagai dokter.

Entah bagaimana, teman-temannya, termasuk Kazuto mengira Keiko masih suka dengan Akira. Padahal sih, Keiko lebih nyaman jalan bareng dengan Kazuto (ya iyalah tetanggaan tiap hari ketemu). Konflik mulai muncul ketika Kazuto diserang oleh kawanan gangster (tidak dijelaskan mengapa ia sampai bisa dikenal dan diserang oleh komplotan tersebut, karena itu bukan sekali saja Kazuto digambarkan berkelahi) sampai mengalami hilang ingatan parsial, sehingga tidak bisa mengingat peristiwa satu bulan terakhir. 

Termasuk, peristiwa saat ia mulai dekat dengan Keiko. Selama Kazuto hilang ingatan, tokoh Yuri yang diceritakan tidak jadi menikah dengan kekasihnya di London, kembali ke Tokyo untuk merawat Kazuto. Di sinilah seharusnya permainan emosi antara Keiko, Kazuto, Yuri dibangun dengan baik yang sayangnya tidak terlalu terasa selayaknya kita sedang menyaksikan drama-drama Asia yang biasanya bikin mbrebes mili penonton wanita. 

Entah mungkin disebabkan keterbatasan durasi (novel setebal 300 halaman harus dipadatkan dalam waktu satu setengah jam), meskipun sudah diiringi dengan alunan musik dan lagu latar yang mendayu-dayu. Entah juga karena saya yang menontonnya sudah tidak lagi dalam rentang usia yang mudah terperdaya dengan cerita cinta melankolik semacam ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun