Entah kenapa, ada perasaan senang menyeruak di hatiku. Tapi perasaan itu bercampur dengan rasa tidak suka yang menusuk-nusuk. Aneh. 'Tidak, tidak boleh!'
*
Ini keempat kalinya si gadis duduk di meja yang dekat dengan bilikku. Tidak berseberangan lagi sih, agak jauh. Di sudut dekat jalan keluar-masuk kantin, tapi masih tetap dalam jarak pandang yang dapat kucapai untuk terus-menerus mengamati dia. Seperti biasa, gadis itu tenggelam dalam bacaannya. Di sampingnya, seorang gadis yang lain lagi dengan hari-hari kemarin. Entah bahasa apa yang dibacanya, dari sampulnya saja aku tak dapat mengejanya. Aku memang bisa membaca, lumayanlah tamatan SMA. Tapi kalau tulisan yang ada di buku gadis itu kurasa bukan tulisan yang pernah kupelajari. Bahasa asing apalah, entah. Ingin sekali aku bercakap-cakap dengan gadis itu dalam bahasa yang tengah dipelajarinya. Pasti aku akan diliriknya. Oh, tidak...tidak. Mungkin aku akan dicap 'cupu' oleh para pedagang di kantin ini. Mau-maunya aku ngobrol dengan gadis yang biasa banget begitu. Mengapa bukan Sinta, yang makin tenar setelah membintangi tiga film, atau David, yang dikenal dengan julukan 'sesepuh kantin' oleh orang-orang di sini hanya gara-gara ia tak lulus-lulus juga karena keseringan nongkrong di kantin.
Tapi, dengan ke-'biasa'-annya itu, justru aku semakin menyukainya. Sayangnya, ia tidak pernah duduk sendirian di kantin ini. Dan tidak pernah lama-lama. Juga tidak sering. Mungkin ia tidak menyukai suasana di kantin ini yang pengap dan penuh asap rokok. Ah, kurasa ia memang bukan tipe-tipe anak kantin. Tidak betah berlama-lama di sini. Aku tetap mengerjakan segala pesanan dari para pembeliku, tapi semua itu kulakukan dengan refleks, tanpa sadar, seolah-olah sudah terekam dalam memoriku tentang apa saja yang harus kukerjakan dengan pesanan sebanyak itu. Sementara, alam sadarku hanya dipenuhi bayangan dan gambar-gambar tentang gadis itu. Sebelum gadis itu beranjak pergi dari kantin ini, aku terus berusaha memasukkan bayangan akan gadis itu ke dalam pikiranku... karena tak lama lagi, aku takkan berada di sini lagi. Aku 'terpaksa' pergi.
*
Pagi itu aku terpaksa ke kantin. Aku belum sarapan, jadi rasanya lapeeer banget. Aku pengen pesan yang anget- anget... apa ya... oh iya, bubur ayam aja, dan minumnya... hhm, minumnya...
"Mas, cappuccino hangat satu ya," tegurku pada seseorang di dalam bilik.
"Wah, cappuccino-nya lagi nggak ada, Mbak, ovaltine aja gimana?" suara itu bukan suara yang biasanya. Aku melongok ke dalam bilik. Ah, bukan si cowok penjual roti yang biasanya. Tanpa sadar, terbersit rasa kecewa di dalam dadaku. Sudah sebulan terakhir ini dia nggak pernah nongol lagi di bilik ini. Sebulan atau kurang, atau lebih... aku tidak tahu persis. Yang jelas, terakhir kalinya aku mampir ke kantin ini, cowok penjual roti itu masih ada.
"Mbak?" tanya suara itu lagi, suara seorang cowok yang perawakannya lebih pendek dan gempal. Tampangnya juga jauh lebih muda. Adiknya mungkin... tapi, ah, nggak mirip...
"Mbaak??"
"Eh.. iya, iya deh," jawabku kaget, "Ovaltine aja tapi yang anget ya, Mas... eh Dik?"