Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prenjak dan Tema Keluarga dalam Film-film Wregas Bhanuteja

5 Juni 2016   15:17 Diperbarui: 5 Juni 2016   15:40 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film-film karya Wregas Bhanuteja yang diputar di Auditorium IFI Jakarta, 2 Juni 2016. (foto: dokumentasi IFI)

Tidak lama setelah diumumkan sebagai pemenang kategori Semaine de la Critique pada Festival Film Cannes 2016 di Prancis pada bulan Mei lalu, film Prenjak membuat banyak orang penasaran dan rela mengantri sejak jam dua siang di gedung Pusat Kebudayaan Prancis-IFI Jakarta hari  Kamis kemarin. Bahkan antrian tersebut meluap hingga ke halaman gedung. Kebanyakan dari para antrian penonton itu saya lihat adalah anak-anak muda, yang pasti mengagumi prestasi Wregas Bhanuteja, sang sutradara, karena namanya melejit di ajang kompetisi internasional bergengsi yang selektif dalam memilih karya-karya berkualitas. Setidaknya, film-film yang masuk seleksi festival biasanya mengangkat kisah yang tidak biasa, di luar mainstream film-film nge-pop bangsa AADC, dan jalan ceriteranya kadang susah dimengerti orang awam seperti saya, ha ha..  Padahal Wregas ini turut membantu editing film AADC, loh ;). Mengaku bahwa karir penyutradaraannya tidak lepas dari didikan Riri Riza, maka tidak heran saya juga melihat kehadiran sutradara berpenampilan khas rambut keriting dan kacamata itu di deretan bangku penonton. 

Dalam acara yang akhirnya dimulai jam enam sore akibat pemadaman listrik (mundur dua jam dari rencana karena kebakaran di gedung Sarinah menyebabkan gedung-gedung sekitarnya harus diamankan dengan dimatikan arus listriknya), para penonton, termasuk saya, juga disuguhkan film-film pendek hasil karya Wregas lainnya. Film-film yang diputar semuanya berdurasi pendek sekitar sepuluh hingga dua puluh menit, dengan mengambil lokasi syuting kebanyakan di Yogyakarta, sehingga dialog-dialognya pun menggunakan bahasa Jawa. Keempat film selain Prenjak yang dipertontonkan berjudul Senyawa, Lemantun, Lembusura dan Floating Chopin. Pemilihan lokasi dan bahasa Jawa dalam dialog bukan tanpa alasan, karena Wregas lahir dan tumbuh besar di kota budaya tersebut, meskipun keluarga aslinya berada di Solo. "Pakai bahasa Jawa lebih bebas, lebih terasa mengalir karena bahasa Jawa ya bahasa ibu buat saya," tutur Wregas di akhir pemutaran film dalam bincang-bincang dengan penonton. Selain itu, film-filmnya memang mengangkat potret dan realita kehidupan, sehingga terasa lebih realis menggunakan bahasa lokal sesuai setting filmnya. 

Perjuangan Wregas dalam mengerjakan passion-nya sebagai pekerja dan pembuat film patut diacungi jempol terlepas dari film-filmnya yang mungkin bagi sebagian orang nyeleneh. Pria bernama lengkap Raphael Wregas Bhanuteja ini bercerita bahwa keinginan terjun ke dunia film pada awalnya ditentang oleh keluarga. Ia mulai mengenal film sejak kelas 3 SMP, lalu ikut bermain sebagai aktor dalam film-film kecil, dilanjutkan dengan mengikuti ekstra kurikuler sinematografi semasa SMA dan memasukkan karya-karya filmnya itu ke festival film Konfiden. Sang ibu baru percaya bahwa dunia film adalah pilihan Wregas setelah ia membuat film pendek yang ke-10. Lalu, di bangku kuliah Wregas semakin intens membuat film dan diikutkan ke dalam berbagai festival. Selama kuliah di Institut Kesenian Jakarta itulah Wregas juga mulai mengenal Mira Lesmana dan Riri Riza melalui film Sokola Rimba dengan mengikuti program magang.  

Film-film karya Wregas Bhanuteja yang diputar di Auditorium IFI Jakarta, 2 Juni 2016. (foto: dokumentasi IFI)
Film-film karya Wregas Bhanuteja yang diputar di Auditorium IFI Jakarta, 2 Juni 2016. (foto: dokumentasi IFI)
Wregas mengakui bahwa semua film yang pernah dibuatnya tidak pernah diniatkan untuk ikut lomba, melainkan untuk bersenang-senang saja. Seperti film Lemantun yang dibuat untuk tugas akhir kuliah, atau film Lembusura yang 'tidak sengaja dibuat' ketika Yogyakarta sedang dilanda hujan abu. Begitu pula dengan Floating Chopin yang iseng dikerjakannya setelah mengikuti festival film Berlin dan sempat mampir di Paris. Yuk kita simak beberapa trailer-nya:

1. Senyawa (2012)

Bercerita tentang Retno, seorang anak beranjak remaja yang ditinggal mati ibunya karena sakit jantung. Retno yang mengikuti agama sang ibu, yaitu Katolik,  ingin menghadiahkan lagu Ave Maria rekamannya di hari ulang tahun ibunya. Namun dalam proses merekam suara merdunya itu dengan tape recorder, ia selalu saja diganggu dengan suara petasan, suara adzan, suara orang jualan susu bantal, karena lingkungan tempat tinggalnya di daerah padat penduduk di daerah Mampang. Selain itu ayahnya adalah seorang muadzin di sebuah mesjid dekat rumahnya, meskipun sang ayah sangat mendukung keinginan Retno.


2. Lemantun (2014)

Film berdurasi dua puluh menit ini bercerita tentang seorang ibu yang sudah sepuh hendak mewariskan hartanya ke lima orang anaknya. Harta warisannya berupa lima buah lemari dengan berbagai ciri khas, mulai dari lemari kaca, lemari rotan berukir, lemari penuh tempelan stiker hingga sebuah lemari polos tanpa hiasan. Empat dari lima anaknya dikisahkan adalah orang-orang sukses yang telah menjadi dokter, pegawai negeri, businessman sementara satu anaknya lagi yang bernama Tri, tidak bekerja dan masih tinggal serumah dengan ibunya. Kira-kira apa yang akan diperbuat kelima orang anak itu terhadap lemari warisan ibunya? 

Sayang saya tidak menemukan trailer film yang masuk nominasi XXI Short Film Festival 2015, namun Kompasianer bisa menyimak behind the scene yang saya ambil dari Youtube dan bisa disaksikan beberapa cuplikan adegan film ini:


3. Lembusura (2014)

Film yang ditayangkan secara perdana di ajang Festival Film Berlin (Berlinale) tahun 2015 ini mengisahkan sosok monster yang menjadi mitos legenda di tanah Jawa. Konon, Gunung Kelud meletus disebabkan roh Lembusura sedang marah. Melalui film ini Wregas ingin menyampaikan pesan bahwa seperti itulah cara orang Jawa menikmati bencana, tidak berkubang dalam kesedihan, melainkan sebuah siklus kehidupan yang harus dijalani sehingga kita menari di atasnya.

Dalam pembuatan film ini, Wregas mempersilakan Yohanes Budyambara, sang pemeran monster yang juga sohib kentalnya di Studio Batu (juga bermain di film Prenjak) menginterpretasikan Lembusura sesuai dengan imajinasi sendiri. Yohanes yang turut hadir pada acara pemutaran film di IFI pun menuturkan akhirnya ia menarikan dance a la cewek-cewek JKT 48 sesuai yang terlintas di kepalanya :D. 


4. Floating Chopin (2016)

Film neo-realis yang ditayangkan di Festival Film Hong Kong pada tahun yang sama ini mengisahkan sepasang kekasih yang berlibur ke sebuah pulau terpencil. Supaya makin romantis, sang tokoh lelaki memutarkan salah satu lagu pianis berkebangsaan Polandia yang tinggal dan mati di Prancis, Chopin, berjudul Nocturne, sambil menceritakan kisah perjalanannya ke kota Paris. 

Seperti yang saya tulis di atas, Wregas terinspirasi dari kuburan yang ia kunjungi di Paris, dihubungkan dengan lagu Chopin Larung yang diciptakan oleh Guruh Soekarno Putra pada sebuah konser GSP yang ditontonnya di Jakarta sepulang dari Prancis. Di dalam film ini, Wregas bermain sebagai salah satu pemeran utama dan turut menyanyikan lagu Chopin Larung yang bernuansa magis. 


Jika diamati dengan seksama, sebagian besar film-film Wregas mengangkat cerita tentang keluarga, bahkan dalam film Prenjak sekali pun yang terkesan saru, atau tabu seperti orang Jawa bilang. Ditanya oleh salah seorang penonton, Wregas menjawab sembari tertawa namun serius, "Mungkin karena saya ini family man," katanya. Maksudnya, keluarga bagi Wregas adalah sosok yang sangat penting bahkan dekat dalam kehidupannya yang kental dengan adat Jawa, seperti jika berpamitan harus mencium kening orang yang dituakan terlebih dahulu, sehingga secara tidak sadar melekat dalam alam bawah sadarnya dan juga dalam film-filmnya. 

Begitu pula dalam menjalin hubungan, seperti yang ingin disampaikan Wregas melalui Prenjak, bahwa sekalinya seseorang menjalin hubungan maka harus dilakoninya dengan bertanggung jawab. Dengan kata lain, hubungan yang sehat adalah hubungan yang dilandasi dengan komitmen. "Kalau ditinggalkan salah satunya, maka orang yang ditinggalkan itu akan menjalani kehidupan dengan lebih berat," tandasnya. Semoga pesan ini bisa ditangkap oleh yang menonton, ya :). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun