Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dalam beberapa bulan, bahkan setahun belakangan, telah menggugah banyak pihak, baik secara individu maupun organisasi, untuk bersuara dengan lantang membela hak-hak anak. Salah satu di antaranya adalah SOS Children's Village, sebuah organisasi nirlaba yang berpusat di Austria dengan mengemban misi membantu anak-anak yang kehilangan atau berisiko kehilangan pengasuhan orangtua.Â
Di Indonesia, SOS Children's Village sudah berdiri sejak tahun 1972 dengan markas pusat di Cibubur dan berbagai cabang di 10 kota di Indonesia yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Dinamai Children's Village, atau Desa Anak, karena di 10 kota tersebut SOS membangun sebuah lokasi khusus bagi anak-anak, berupa sebuah rumah yang dilengkapi dengan lapangan sebagai tempat bermain. Di dalam rumah itulah anak-anak yang kehilangan atau berisiko kehilangan pengasuhan orangtua ini diasuh oleh seorang atau beberapa orang ibu asuh, yang bertindak selayaknya ibu kandung sendiri terhadap anak-anak tersebut, seperti salah satunya Ibu Arista Saragih di Rumah Kemuning Jakarta. Tujuan SOS Children's Village dari pendirian desa-desa anak dengan ibu asuh ini adalah untuk memberikan keluarga alternatif sehingga anak dapat tumbuh dan merasakan kehidupan keluarga. Â
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi terhadap Angeline, Yuyun, dan anak-anak lainnya di Indonesia, ditengarai karena sang korban, atau si pelaku tidak mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Â Terlebih lagi pada zaman sekarang, interaksi sosial keluarga inti, sayangnya didominasi oleh penggunaan gadget meskipun keluarga inti tersebut sedang bersama-sama dalam sebuah tempat, baik itu ruang terbuka seperti lapangan, taman, maupun ruang tertutup seperti rumah. Padahal, anak-anak membutuhkan kasih sayang, tidak hanya limpahan perhatian dan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk materi. Seperti dituturkan Ibu Rita Pranawati, Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam acara media gathering hari Rabu, 11 Mei 2016 yang lalu di Perpustakaan Kemendikbud Gedung AÂ Senayan, Â dari hasil riset KPAI terhadap anak-anak berusia 10-18 tahun, pengawasan orangtua terhadap gadget yang digunakan anaknya hanya 50%.Â
Ibu Hana Yasmira, pembicara dari Parenting Communication Specialist yang juga hadir pada saat acara, memaparkan bahwa sejak tahun 2013 Indonesia sebenarnya sudah dinyatakan sebagai negara Darurat Kejahatan Seksual. Namun, "Kita bergerak seperti pemadam, ada kasus dipadamkan. Tidak ada kasus, diam," keluhnya. "Padahal, jauh lebih mudah mendidik anak, ketimbang memperbaikinya jika sudah rusak." Artinya, anak pada masa dua belas tahun pertama adalah masa yang sangat penting bagi orangtua untuk membentuk karakter anak.  Masa usia 0-12 tahun pada anak disebut periode formatif, yang selama periode tersebut orangtua diwajibkan menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak. Dengan kata lain, jika sang anak mendapat nilai buruk di ulangan sekolah, lebih baik daripada ia mendapat hasil nilai sepuluh dengan mencontek. Komunikasi antara anak dengan orangtua harus terbuka, karena dari situlah terbangun bonding atau ikatan dengan anak. Lepas usia periode formatif tersebut, peran ortu dengan sendirinya akan digantikan oleh peer group, atau teman-teman sekolahnya. Namun, apabila sudah ada ikatan yang kuat antara anak dengan orangtua sejak ia lahir, maka anak akan selalu memprioritaskan orangtua untuk bertanya hal apapun."Lebih baik anak bertanya hal-hal yang aneh bahkan tabu ke orangtuanya ketimbang menanyakan hal yang sama ke teman-temannya," begitu tutur Ibu Hana.Â
Sayangnya, kecenderungan orangtua masa kini adalah orangtua pemalas, yang lebih suka melemparkan tanggung jawab ke pihak sekolah mentang-mentang sudah membayar mahal pendidikannya. Maka tidak heran jika kasus-kasus pelecehan seksual juga banyak terjadi di lingkungan sekolah, seperti yang terjadi di Jakarta International School beberapa waktu lalu, atau di sebuah Islamic Boading School, di pesantren, dan lain-lain.
 Dengan tagline "log off, reload your happy childhood moment", SOS Children's Village ingin mengingatkan kembali pentingnya interaksi langsung dari mata ke mata antara orangtua dengan anak. Jadi, pada hari tersebut orangtua dan anak tidak boleh memegang gadget selama satu hari penuh. Namun mereka akan bergembira bersama dalam berbagai aktivitas yang digelar, seperti storytelling atau mendongeng, bermain congklak dan permainan tradisional lainnya, membuat prakarya.Â
Pak Gregor Hadi berkata sambil menutup acara, "SOS terus mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan. Di SOS, tidak mungkin terjadi pendidikan yang baik jika guru (dalam hal ini ibu asuh) tidak belajar. Bagi saya, guru besar pendidikan adalah Profesor Doktor Insinyur Anak." Dengan kata lain, orangtualah yang belajar dari anak akan segala hal mengenai kehidupan. ***
*) Makalah Ibu Hana Yasmira, MSi. "Gadget, Lawan atau Kawan?"Â
Baca juga artikel saya berkaitan dengan SOS Children's Village: