Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Indonesia Diminati Kalangan 'Bule', Loh!

25 September 2012   05:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:45 2615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lumayan banyak orang asing yang belajar bahasa Indonesia.  Setidaknya, di sekolah-sekolah internasional yang ada di Jakarta (mungkin juga di seluruh Indonesia), bahasa Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran wajib, bahkan--kita boleh berbangga--termasuk yang diuji dalam International Baccalaureate (atau lebih sering kita kenal dengan singkatan berbahasa Inggris: IB). IB merupakan ujian internasional yang penyelenggaraannya berpusat diJenewa, Swis, dapat diikuti oleh siswa-siswi tingkat menengah atas yang hendak masuk perguruan tinggi bergengsi di seluruh dunia. [caption id="attachment_200896" align="alignright" width="300" caption="siapa yang lebih memahami bahasa kita kalau bukan kita sendiri sebagai penutur asli?"][/caption] Teman saya yang menjadi pengajar bahasa Indonesia di sebuah sekolah internasional di kawasan Bumi Serpong Damai (atau BSD) ini, menceritakan pengalamannya kepada saya. Katanya, mengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing, apalagi untuk siswa-siswi ABG, harus dibuat semenarik mungkin agar tidak terkesan membosankan.  Materi bahan pelajaran dia siapkan sendiri, namun kurikulumnya mengacu pada kurikulum standar IB yang dapat diperoleh melalui laman resminya di internet. Buku-buku pelajaran yang digunakannya, karena bahasa ajar yang digunakan di sekolah internasional ini adalah bahasa Inggris, maka ia mesti pintar-pintar mencari buku pelajaran bahasa Indonesia yang berkualitas bagus terbitan Cambridge atau Pearson, namun untuk siswa sekolah. Saya sendiri melihat perbedaannya, antara buku tata bahasa yang dibuat oleh penulis lokal melalu penerbit lokal, dengan buku pelajaran bahasa Indonesia terbitan luar negeri: dari segi fisiknya saja sudah berwarna-warni, banyak ilustrasi. Padahal dari segi isi, buku tata bahasa Indonesia penjelasannya jauh lebih jelas , rinci dan ilmiah (mungkin karena yang membaca saya sebagai orang Indonesia dan saya berlatar sastra) daripada buku terbitan asing yang ditulis penulis asing. Namun penjelasannya memang dibuat jauh lebih mudah pada buku pelajaran terbitan penerbit asing tersebut. Murid-murid yang mengikuti kelas bahasa Indonesia juga lumayan banyak. Karena satu kelas dibatasi maksimal sepuluh murid, maka total ada empat kelas di sekolah tersebut yang menyelenggarakan pelajaran bahasa Indonesia. Murid-murid tersebut rata-rata berasal dari Korea (terbanyak), menyusul Cina, India, dan ada juga murid bule dalam arti sesungguhnya: berambut pirang serta berkulit putih pucat. Murid yang paling rajin (dan pintar) rata-rata murid puteri, namun ada juga murid laki-laki yang pintar dari India yang saya temukan dalam kelasnya. (Ah, lagi-lagi, India, di mana-mana sepertinya mereka memang pintar dan tekun yah! :D). Saya memang pernah sekali mengamati isi kelas itu dari dekat, yaitu duduk bersama-sama di bangku di dalam kelas dan memperhatikan cara mereka belajar, juga cara teman saya mengajar. Selain belajar di kelas, mereka juga diberikan tugas berupa proyek yang nantinya akan dipresentasikan di kelas.  Secara bersamaan, selain belajar bahasanya, murid-murid juga diperkenalkan kepada budaya dan sejarah Indonesia. Salah satu proyek yang sudah dijalankan dan saya amati hasilnya di dalam kelas tersebut adalah membuat biografi tokoh pahlawan Indonesia, tentunya dengan penjelasan dalam bahasa Indonesia.  Namun, tidak hanya murid yang memiliki proyek. Guru pun juga diminta untuk mengerjakan proyek membuat blog dalam bahasa Indonesia sekaligus dalam rangka mengenalkan budaya Indonesia yang nantinya akan diakses murid-muridnya. Ketika ditanya apa kesulitannya mengajar bahasa Indonesia, dia menjawab tata bahasanya. Menurutnya, kesulitan mengajar tata bahasa kurang lebih sama saja untuk setiap guru bahasa, terlebih tata bahasa tingkat lanjut. Meskipun bahasa Indonesia tidak mengenal kala lampau, kompleksitas pemakaian imbuhan pada kata kerja ternyata jauh lebih rumit daripada bahasa Inggris. Begitu pula dengan teman pengajar saya lainnya yang mengajarkan bahasa Indonesia untuk penutur asli bahasa Prancis. Muridnya ini ternyata sudah lebih dari sepuluh tahun mengenal budaya Indonesia dan bekerja di negara kita sebagai ekspatriat beserta keluarganya. Namun, ia masih mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk situasi formal terutama di lingkungan pekerjaannya yang banyak berhubungan dengan orang Indonesia. Ia tidak mengalami masalah untuk bercakap-cakap dalam konteks yang ringan untuk percakapan sehari-hari, namun begitu membuat presentasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, ia kebingungan. Begitu pula untuk memahami berita dan diskusi di televisi. Wah, saya agak kaget juga mendengarnya, saya kira sepuluh tahun bekerja di sebuah negara asing sudah cukup bagi seseorang untuk memahami bahasa yang digunakan penduduk negara tersebut dan menggunakannya dengan baik pula.  Namun ternyata tidak selalu demikian. Contohnya, ia tidak mengerti penggunaan kata "mengalami". Apa kata dasarnya? Apa padanannya yang tepat dalam bahasa Prancis, karena dalam bahasa Prancis "expérimenter" biasanya lebih cocok untuk konteks ketika si penutur bereksperimen terhadap suatu hal. Apa makna sesungguhnya? Teman guru saya pun juga sempat bingung, kata dasarnya bukan "alam", bukan juga tepat digunakan dalam kalimat "Saya mengalami makan yang enak." Kalau sudah begitu, ya mau tidak mau kita mengacu ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kalau tidak ditemukan penjelasannya di sana, ya balik lagi ke buku-buku pelajaran bahasa Indonesia untuk pelajar SMA. Seperti misalnya, imbuhan me-kan dapat digunakan untuk kata sifat "boros", tapi agak janggal kalau kita rekatkan pada kata sifat "hemat". Kalau tidak ketemu juga penjelasannya? Ya... paling apes dengan logika dan konteks :D. Sayangnya, saya sendiri belum pernah kebagian mengajar bahasa Indonesia untuk orang asing. Yang ada malahan mengajar bahasa Prancis untuk penutur asing. Pusingnya dua kali lipat, hehehe.. Dengan adanya orang-orang asing yang berminat belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia, diharapkan kita sendiri semakin terpacu untuk mengenal bahasa dan kebudayaan kita sendiri. Apalagi, saya kembali mengingatkan, bahasa Indonesia sudah termasuk dalam salah satu mata pelajaran ujian IB, loh. Pastinya makin banyak sekolah internasional yang membutuhkan jasa kita sebagai orang Indonesia untuk mengajar bahasa Indonesia kepada siswa-siswi asing, karena siapa sih yang paling memahami bahasa kita, selain kita sendiri? *** Foto ilustrasi diperoleh dari: ubud.olx.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun