Mohon tunggu...
Mochamad Syafei Mustafa
Mochamad Syafei Mustafa Mohon Tunggu... Administrasi - administrator

nothing is impossible

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hari Antikorupsi, Kilas Balik Kondisi Birokrasi terhadap Kasus Korupsi E-KTP

11 Desember 2019   09:15 Diperbarui: 11 Desember 2019   09:29 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dan diedit pribadi

Kata Kunci: Korupsi, e-KTP, sistem penegakan hukum

Korupsi merupakan tindakan melawan hukum dimana individu ataupun kelompok berusaha untuk memperkaya diri mereka sendiri. Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori luar biasa (extraordinary crime) yang berpotensi mengancam eksistensi suatu negara dan menggangu stabilitas negara serta merugikan negara atau perekonomian negara. Salah satunya ialah kasus tindak pidana korupsi terbesar di Indonesia yaitu kasus korupsi e-KTP dengan total kerugian yang harus ditanggung negara sebesar 2,3 Triliun Rupiah.

Kasus e-KTP merupakan kasus korupsi yang kompleks dimana sistem penegakan hukum di Indonesia kerap mengalami kesulitan dalam menindaklanjuti kasus ini dikarenakan aktor atas tindakan korupsi ini melibatkan para pemilik kekuasaan (pejabat) yang salah satunya adalah mantan ketua DPR yaitu Setya Novanto serta politisi/staff pegawai pemerintahan lainnya yang memiliki kekuasaan secara langsung terhadap proyek e-KTP ini. Setelah melalui proses yang cukup rumit, aparat penegak hukum akhirnya dapat membongkar satu-persatu kejahatan ini dengan mengadili seluruh pihak yang terlibat dengan sanksi pidana hukum (penjara) dan denda. 

Pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan merupakan tiga kata ideal yang menjadi pencapaian suatu negara untuk dapat diwujudkan di segala bidang dalam tata kelola negaranya. Dalam implementasinya, ketiga hal tersebut ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan negara dalam melaksanakan program kerjanya terutama dalam hal pembangunan sebagai bagian dari proses perubahan berkelanjutan demi mencapai kesejahteraan masyarakatnya.\

Dalam hal ini, pembangunan dan perubahan merupakan dua hal yang saling berkesinambungan sebagai bentuk sebab-akibat dari suatu kejadian. Suatu negara tentunya tidak dapat melakukan pembangunan dan perubahan sendiri oleh pemerintahannya atau dengan kata lain terdapat faktor lain yang mendukung kejadian tersebut. Faktor tersebut ialah faktor Sumber Daya Manusia (SDM) dan faktor sumber dana (pembiayaan).

Diantara kedua faktor ini, SDM merupakan hal utama yang diibaratkan sebagai fondasi negaranya dimana manusia/masyarakat berfungsi sebagai aktor utama yaitu penggerak dalam hal pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan negaranya yang kemudian di dalam realisasinya di dukung oleh faktor dana/pembiayaan. Namun, dalam praktik mewujudkan pembangunan dan perubahan disuatu negara kerap terjadi penyelewengan, pelanggaran maupun tindak kejahatan yang merugikan berbagai pihak yang salah satu contohnya adalah terjadinya tindak pidana korupsi.

Korupsi merupakan tindakan melawan hukum dimana individu ataupun kelompok berusaha untuk memperkaya diri mereka sendiri. Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori luar biasa (extraordinary crime) yang berpotensi mengancam eksistensi suatu negara dan menggangu stabilitas negara serta merugikan negara atau perekonomian negara (Junaidi, 2017).

Dewasa ini, korupsi merupakan salah satu tindak kejahatan yang semakin sulit untuk dijangkau oleh aparat penegak hukum, karena perbuatan tersebut melibatkan langsung para pejabat, politisi, maupun pegawai yang secara langsung memiliki kekuasaan dan dapat mengatur secara leluasa kebijakan ataupun aktivitas suatu

Program kerja disuatu negara. Tindak pidana korupsi bemuka majemuk dan melibatkan masalah-masalah kompleks yang menyangkut segi moral atau sikap mental, etika, pola hidup atau budaya, lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam menghadapi kompleksitas yang ada,

Peran sistem penegakan hukum yang adil dan bijaksana menjadi sangat penting dimana sistem penegakan hukum merupakan alat yang dapat digunakan untuk mencegah, menangani, dan memperbaiki negara yang terkena dampak akibat dari tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibutuhkannya transformasi yang serius dalam sistem penegakan hukum agar nantinya penindakan terhadap kasus korupsi dapat secara adil dan tidak berlangsung secara terus-menerus (Setiadi, 2018).

Di Indonesia, tindak pidana korupsi bukanlah suatu hal yang asing lagi kehadirannya dikarenakan sering kali kasus kejahatan ini terjadi. Sejatinya, kasus tindak pidana korupsi di Indonesia telah ada jauh sebelum negara ini terbentuk yaitu sejak masa kolonial Belanda. Dengan demikian, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk memberantas korupsi ini dilihat dari pada masa orde lama dan orde baru pemerintah mulai menerbitkan peraturan-peraturan terkait dengan kasus korupsi seperti UU No. 33 tahun 1999 tentang Pemberantaasan Korupsi menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Setiadi, 2018).

Kemudian, pemerintah juga membentuk lembaga yang berfungsi untuk memonitoring keuangan negara seperti BPK serta membentuk KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen yang didirikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2002 yang diresmikan oleh UU No. 30 tahun 2002 (Setiadi, 2018). Tercatat jumlah penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi dari 2004 sampai tahun 2019 terdapat 1.218 kasus tindak pidana korupsi (kpk.go.id, 2019).

Data ini berarti bahwa ironisnya Indonesia sebagai salah satu negara yang berlandaskan pada Pancasila yang menekankan pada nilai-nilai kejujuran dihadapi dengan begitu banyaknya kasus korupsi yang sebagai besar terjadi pada tubuh pemerintahan sendiri, seperti salah satu kasus tindak pidana korupsi terbesar di Indonesia yaitu kasus tindak pidana korupsi e-KTP oleh ketua DPR Setya Novanto yang terbukti mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP yang berakibat negara yang harus menanggung kerugian sebesar 2,3 Triliun Rupiah (liputan6.com, 2019).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, korupsi didefinisikan sebagai salah satu tindakan memperkaya diri sendiri ataupun korporasi dengan menghasilkan kerugian bagi Negara (KPK, n.d.).Tindak pidana korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh perseorangan saja, tetapi juga korporasi. Seiring berjalannya waktu, korupsi bukan lagi menjadi sebuah kata yang asing di telinga rakyat Indonesia.

Banyak dari sendi pemerintahan Indonesia yang tak luput dari adanya jerat kasus korupsi sehingga meninggalkan kerugian dengan nominal tak lagi terhitung jumlahnya bagi negara. Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, kasus korupsi pengadaan e-KTP menjadi salah satu kasus korupsi yang mendapat perhatian publik ditahun 2011 dan 2012. Dimana kerugian Negara akibat kasus tersebut mencapai Rp 2,3triliun dari total anggaran proyek pengadaan e-KTP yang sebesar Rp 5,9 triliun.

Perjalanan kasus korupsi pengadaan e-KTP bermula dari adanya rencana pemerintah dalam menerapkan satu nomor kependudukan Indonesia melalui pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Pembuatan e-KTP ditujukan untuk lebih mengintegrasi data kependudukan serta meminimalisir terjadinya KTP ganda. Namun, rencana pengadaan tersebut tidak berjalan dengan lancar. Target Kementerian Dalam Negeri, yang menetapkan bahwa pengadaan e-KTP akan tersebar secara merata di seluruh Indonesia pada tahun 2012 berjalan mandek.

Kejanggalan-kejanggalan yang ada didalam pelaksanaanya tercium oleh berbagai pihak, diantaranya Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, Kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak-pihak tersebut telah menaruh kecurigaan terjadinya korupsi dengan penyelewengan dana dalam proyek e-KTP. Dengan itu, dilakukan penyelidikan dalam rangka mengusut kasus korupsi yang terjadi dalam pengadaan e-KTP.

Dalam sidang perdana kasus korupsi pengadaan e-KTP pada tanggal 9 Maret 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Indonesia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) - Irene Putri, membeberkan adanya kerjasama berbagai pihak dalam melakukan penyelewengan anggaran e-KTP (Sanjaya, 2018). Pihak-pihak tersebut terdiri dari anggota DPR, Kementerian terkait, serta pihak-pihak swasta. Indikasi permasalahan kasus korupsi pengadaan e-KTP diduga sudah bermula sebelum adanya proses lelang tender pengadaan e-KTP. Pihak-pihak dalam pemerintahan yang terkait dengan perencanaan proyek e-KTP telah menyusun struktur yang 

sistematis guna memperlancar dalam praktek penggelembungan dana anggaran yang disediakan. Lelang tender proyek e-KTP yang telah direkayasa memenangkan Konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), PT Sucofindo (persero), PT Len Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Arthaputra, serta PT Paulus Tanos, yang mempunyai perannya masing-masing (Rochmi, 2016).

Berbagai penyelidikan terus dilakukan guna membongkar kasus korupsi pengadaan e-KTP yang melibatkan banyak pihak dengan mencari informasi kucuran dana anggaran proyek e-KTP dari para saksi dan juga pihak tersangka sendiri. Sampai saat ini, KPK telah menetapkan sebanyak 14 orang tersangka yang terkait dengan kasus korupsi pengadaan e-KTP, yang terdiri dari pihak Kementerian Dalam Negeri, DPR, serta direktur umum ataupun pengusaha yang termasuk dalam tender pengadaan e-KTP (Belarminus, 2018).

KPK masih akan terus menelusuri kasus korupsi pengadaan e-KTP yang telah membawa kerugian yang cukup besar bagi Negara serta menetapkan pihak-pihak yang akan bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kasus e-ktp yang terus menjadi perbincangan hangat padahal kasusnya mencuat sejak 2010 hingga kini. Kasus e-ktp telah memasuki babak baru, setelah cukup lama kasusnya tidak ada perkembangan karena terdakwa setya novanto kerap kali mangkirdengan alasan sakit, serta para saksi yang kurang kordinatif atau tidak menghadiri sidang, pengembangan kasus ini sangat dinanti elemen masyarakat sipil karena jumlah korupsi yang fantastis yang diperkirakan merugikan Negara sebesar 2,3 triliun rupiah.

Penetapan awal setya novanto sebagai tersangka pada 17 juli 2017 tidak berlangsung lama pada 29 september 2017 status tersangka dibatalkan oleh hakim Cepi Iskandarkarena dianggap tidak sah, namun kpk tidak pantang menyerah untuk mengembangkan penyelidikan baru dan pada 10 november 2017 Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka dan setya kembali menggugat status keabsahan tersangka atas dirinya untuk kedua kali (Nurita, 2017).

Pada proses persidangan setya novanto mangkir tiga kali dalam sidang hingga pada 15 november 2017 KPK menjemput paksa setya novanto di kediamannya namun setya tidak ada di kediamannya hingga berstatus DPO, pada 16 november 2017 setya berhasil ditemukan karena mengalami kecelakan tunggal di daerah permata hijau Jakarta barat dan dilarikan ke rs medika permata hijau. Keesokan harinya KPK resmi menahan setya novanto.

Proses penetapan dan penangkapan tersangka tindak pidana korupsi yang begitu berkelit dan rumit mengindikasikan penegakan hukum yang belum tegak seutuhnya, jika dibandingkan dengan penangkapan tersangka kasus tindak pidana kriminal lainnya tentu saja penangkapan tersangka kasus e-ktp.

ini dinilai sangat lambat dan jika dibandingkan dengan kerugian tindak kriminal lainnya yang sama sama merugikan, kasus tindak korupsi ini telah merugikan satu Negara. Namun mengapa penegakan hukumnya sangat lemah? Ini terjadi karena adanya indikasi kerjasama dan kongkalikong antar pejabat publik dan seluruh tersangka yang terlibat dari korupsi e-ktp, penegakan hukum harus dilakukan dan diawasi oleh orang orang yang bersih dan berkompeten agar sanksi hukum yang menjadi akibat dari tindakan merugikan Negara dapat memberikan efek jera sehingga minimya tindak kasus korupsi.

Hal yang juga harus dibenahi terkait penegakan hukum yaitu etika pejabat publik, etika sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti timbul dari kebiasaan secara umum etika merupakan hasil dari kebiasaan (netralnews.com, 2017). Kebiasaan korupsi pada pejabat publik muncul dari gaya hidup dan kebiasaan yang konsumtif dan hedonis, untuk menunjang gaya hidup dan kebiasaan yang mewah diperlukan dana yang tidak sedikit oleh karena itu dapat memicu tindak korupsi. Kondisi ini perlu dibenahi, seharusnya pejabat publik menanamkan sifat yang merakyat,hangat serta dekat dengan masyarakat dan memiliki budaya malu untuk berkorupsi, etika pejabat publik sangat dibutuhkan dalam tupoksinya sebagai pengayom masyarakat.

Kesimpulan

Kasus korupsi e-KTP yang dilakukan sejumlah pejabat politik disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu pejabat politik tidak memiliki etikadan moral yang baik dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya, sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai pemegang kekuasaan dilakukannya sejumlah penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Akibat yang ditimbulkan dari kasus korupsi e-KTP tersebut adalah berlakunya norma hukum yang mengakibatkan Setya Novanto sebagai aktor utama dijatuhkan hukuman pidana selama 15 tahun (kompas.com, 2018).

Selain faktor internal, faktor eksternal yang menjadi penyebab terjadinya kasus korupsi e-KTP yaitu lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia dikenal dengan istilah tumpul keatas dan runcing kebawah. Hal tersebut memiliki makna bahwa hukum di Indonesia memihak kaum atau golongan atas. Akibat yang ditimbulkan dari kasus korupsi e-KTP tersebut menyebabkan kerugian terhadap Negara serta pertumbuhan perekonomian.

Indonesia harus menanggung kerugian sebesar kurang lebih Rp 2,3 Triliun akibat kasus korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto selaku ketua DPR RI saat itu beserta pihak yang terlibat. Selain dibidang ekonomi, kasus korupsi juga memiliki dampak yang cukup besar terhadap kehidupan sosial, politik dan demokrasi masyarakat Indonesia.

Kasus korupsi e-KTP tersebut mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah selaku pemegang kekuasaan. Seharusnya DPR RI menjalankan tugasnya dengan baik sebagai wakil rakyat di pemerintahan, namun korupsi yang dilakukan oleh mantan ketua DPR RI Setya Novanto menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun