Partai politik dan pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi di Indonesia. Demokrasi merupakan konsep yang menekankan pentingnya partisipasi warga di suatu negara. Salah satu gerbang utama konsep demokrasi yaitu melalui pemilu. Pemilu memberikan warga negara hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan mereka dan memilih perwakilan yang akan mengambil keputusan atas nama mereka. Partisipasi warga negara adalah cara mereka untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.Â
Partisipasi bisa berbentuk kritik dan bisa juga berbentuk dukungan terhadap sebuah pemerintahan. (Purwaneni, 2013) Namun, pada era serba digital seperti saat ini, pertisipasi warga negara semakin luas dan tak terbatas. Terpaan produksi konten media sosial seakan tidak dapat dikontrol oleh pemerintah maupun pemilik media itu sendiri. Persebaran antara realita dan hoax perlu diperhatikan dan disaring oleh warga negara itu sendiri agar tidak mudah terbawa arus konten demokrasi yang tidak pasti.
Secara umum, awal kemunculan media sosial banyak digunakan untuk hal-hal pribadi yang bersifat hiburan seperti untuk berkomunikasi dengan rekan maupun keluarga, mencari dan bertukar informasi bagi mereka yang memiliki peminatan atau hobi yang sama. (Gunawan & Ratmono, 2021: 98) Namun, kini komunikasi dan pertukaran informasi dengan tema politik serta isu-isu publik semakin sering dibicarakan yang mana hal ini baik langsung maupun tidak langsung mengundang partisipasi masyarakat yang lebih besar.Â
Hal ini dapat dilihat dari kemunculan berbagai aktivitas dalam jaringan di media sosial seperti pembuatan atau penyebarluasan konten kampanye politik secara suka rela, pembuatan konten kritik kebijakan, hingga menggalang petisi digital. Media sosial kini menjadi tempat penting bagi masyarakat dalam mencari dan bertukar informasi maupun opini terkait politik saat ini (Katadata, 2021).
Munculnya pertukaran opini menjadi tolok ukur masyarakat pasif dan aktif. Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dan bijak dalam terpaan informasi pada media. Peran pasif masyarakat harus dihindari untuk mengurangi kemunculan resiko terpolarisasinya masyarakat. Â "Maka dari itu, kami juga bekerja sama dengan platform media sosial. Karena ini tempatnya penyebaran informasi yang paling massif. Informasi yang tidak tervalidasi bisa saja membuat persoalan hubungan persaudaraan kita bermasalah," ungkap Herwyn dalam Global Network on Electoral Justice (GNEJ) Scientific Committee Meeting, pada Selasa (5/12/2023). Terpolarisasinya masyarakat muncul karena adanya fitur media sosial yaitu teknik bubble atau framing. Framing atau yang dalam Bahasa Indonesia adalah pembingkaian.Â
Menurut (Goffman, 1975) framing adalah sebuah proses aktif dari individu dan suatu kelompok dalam memilih, menyusun dan memberi interpretasi terhadap suatu pesan atau informasi yang tujuannya adalah untuk memberikan makna dan pemahaman atau membentuk persepsi akan suatu peristiwa, isu dan keadaan. Framing dalam media sosial memungkinkan suatu pengguna mengonsumsi konten media yang berkaitan dengan hal apa yang dicari, dilihat dan disukai.Â
Konten framing memunculkan pandangan atau opini yang condong dalam suatu hal tanpa memperhatikan sudut pandang lain sehingga memunculkan adanya kecenderungan dengan suatu hal. Dalam studi kasus konten media pemilu 2024, teknik framing cukup mempengaruhi pola kecenderungan masyarakat dengan salah satu calon.Â
Menurut (Heryanto, 2022) yang mengutip tokoh komunikasi dari Jerman, Ferdinand Tnnies dalam buku klasiknya yang terbit tahun 1922 menjelaskan bahwa opini publik terbentuk melalui 3 tahap: Pertama, terbentuk opini acak, dimana para calon banyak memunculkan diri di berbagai media. Kedua, terbentuknya pola opini publik, dengan adanya berbagai konsolidasi baik yang berbentuk dukungan atau pun kontra terhadap calon-calon kandidat.Â
Ketiga, terbentuk opini yang solid, ini terjadi menjelang hari Pemilu dimana masyarakat mulai merespon 'paket-paket' yang ditawarkan para pasangan calon pada masa kampanye. Jika merujuk pandangan diatas, kondisi saat ini lebih dini masuk kedalam tahap ke-2 dimana opini publik mulai terbentuk dengan pola 2-3 capres dan konsolidasi di tingkat masyarakat yang pro dan kontra. Hal ini tentunya tidak terlepas dari deklarasi capres dan berbagai manuver politik yang dilakukan partai-partai pendukung bacapres tersebut.
Adanya framing media menyebabkan seseorang mengonsumsi topik yang sama terus menerus sehingga memunculkan konten yang kurang berkualitas yang memunculkan adanya disinformasi politik. Disinformasi politik cenderung meningkat menjelang tahun politik atau mendekati pemilihan umum seperti saatsaat sekarang ini (Guallar, 2020: 5). For Your Page (selanjutnya disebut FYP) atau beranda Tiktok saat ini mulai diramaikan dengan disinformasi politik terkait bakal calon peserta Pemilihan Umum 2024, seiring penetapan bakal calon Presiden dan utak-atik konfigurasi koalisi partai politik peserta pemilihan umum.
Media sosial sebagai alat penyebaran informasi dan berita memang memegang peran penting akan tetapi peran masyarakat menerima segala informasi yang masuk menjadikannya hal utama. Kontrol arus media yang diterima masyarakat tidak dapat diatur, namun pentingnya bagaimana masyarakat itu menyaring segala informasi menjadi hal sakral dalam kehidupan politik di Indonesia. Masyarakat tidak dapat menutup akses informasi dari satu aplikasi saja demi menghindari filter framing media dan diterimanya iinformasi yang salah. Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan peran masyarakat menjadi Masyarakat yang aktif terhadap terpaan konten media dalam menyambut pemilu 2024.Â
Literasi media adalah salah satu kunci dalam mengatasi disinformasi dan terpaan konten media yang banyak beredar di media sosial. Menurut Laporan 'National Leadership Conference on Media Education' (Aufderheide, 1992) menyatakan pentingnya literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam pelbagai bentuknya. Sementara itu dalam konteks di Indonesia, terdapat regulasi yang juga membahas tentang literasi media yakni di dalam Undang -- Undang No.32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, khususnya dimual di dalam Pasal 52 yang memaknai literasi media sebagai "kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat" (Iriantara, 2009: 25) Kemampuan literasi media yang tinggi ditandai oleh beberapa hal, diantaranya:
 1) daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan
2) kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan
3) kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus
4) memahami logika penciptaan realitas oleh media
5) kemampuan untuk mengkonstruksi pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain.Â
Pentingnya edukasi terhadap seluruh lapisan masyarakat khususnya para remaja yang baru terjun dalam pemilu 2024 menjadikannya sangat penting. Oleh karena itu, kritis pada sumber-sumber informasi menjadi sangat penting bagi khalayak yang mengakses informasi melalui media baru. Berikutnya adalah melakukan verifikasi atas informasi yang diterimanya dengan tidak hanya mengandalkan informasi satu sisi. Sebaiknya, khalayak harus membuka pikiran mereka atas sumber-sumber lain dalam media baru dalam beragam sudut pandang sehingga akan mempunyai gambaran yang lebih utuh mengenai realitas sosial yang dihadapinnya. Hal itu penting dilakukan untuk menghindari dominasi informasi. Keberagaman informasi yang diterima akan menghindari efek framing media sehingga informasi yang diterima masyarakat akan lebih beragam sehingga masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang aktif dan mampu mengkritisi terpaan konten media di era digital dan era pemilu 2024 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H