Kemajuan  ilmu pengetahuan dan teknologi di era Society 5.0, setidaknya telah menimbulkan dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia. Globalisasi dan disrupsi digital yang tak terelakkan, kian berimplikasi terhadap digitalisasi penegakan hukum pada lembaga peradilan di Indonesia. Secara tidak langsung, kondisi demikian turut menimbulkan problematik multi dimensional keresahan masyarakat dalam mendapatkan keadilan.
Problematika skeptisisme demikian, dapat mengganggu proses implementasi penegakan hukum. Pasalnya, respon sebagian masyarakat justru menampakkan dualisme kontradiksi kepercayaan  terhadap citra lembaga peradilan. Selayang pandang, interpretasi persepsi masyarakat tersebut turut berpengaruh erat terhadap asumsi paradoks penegakan hukum, salah satu faktornya yaitu kurangnya integrasi moral.
Moralitas merupakan bidang yang luas tentang perilaku manusia, baik sifatnya personal maupun sosial. Meliputi berbagai tindakan manusia yang mungkin tidak menaruh peduli sosial atau tidak cukup dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sejatinya ajaran moral sifatnya mendasar, sedangkan hukum mempunyai kecendrungan mengikuti cita-cita moral masyarakat akan berubah seiring dengan perkembangan kesadaran moral masyarakatnya.
Urgensi Moral dan Etika
Aristoteles dalam bukunya The Nicomachean Ethichs mengatakan, bahwa pelajaran tentang kebaikan hanya dapat diberikan kepada orang yang sudah mengetahui esensi baik. Pembicaraan baik, buruk, benar dan salah menempatkan hukum dalam konteks yang luas, termasuk moral dan etika. Oleh karena itu, etika akan dapat membantu menciptakan orientasi aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya.
Fondasi etika dapat menjadi sumber standar tingkah laku individu dari aparatur penegak hukum, dimana standar etika berasal dari standar moral. Berdasarkan pemikiran teori utilitarisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number (K. Berten, 2000:65).  Soerjono Soekanto (1983: 35) pun menegaskan, penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Lawrence M. Friedman (1975: 14) berpandangan, setidaknya terdapat 3 unsur efektivitas bekerjanya hukum sebagai suatu sistem itu yaitu: (1) struktural, (2) substantif dan (3) budaya hukum. Pada unsur struktural menyatakan, The structure of a system is its skeletal frame work it is the permanent shape, the institutional body of the system yang berarti struktur dari suatu sistem merupakan rancangan kerangkanya, bentuk yang tetap, badan lembaga dari suatu sistem. Hubungan antara penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara menunjukkan suatu struktur sistem hukum yang saling terkait dalam mencari suatu kebenaran dan keadilan.
Guna memberikan keadilan yang hakiki, diperlukan upaya untuk mewujudkan suatu peradilan yang mandiri, netral, kompeten, transparan, dan akuntabel. Oleh karena itu, peranan etika dan moral turut mendorong terlebih khususnya seorang Hakim sebagai pionir penegak hukum untuk memiliki empat komponen penting dalam dirinya. Empat komponen tersebut di antaranya: (1) Berperilaku Adil, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan kesempatan yang sama terhadap setiap orang. (2) Berperilaku Jujur, dapat membentuk pribadi yang kuat dan dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, dapat membentuk pribadi yang berwawasan luas, bersikap hati-hati, sabar, dan sopan. (4) Bersikap Mandiri, dapat membentuk pribadi Hakim yang tangguh dan berpegang teguh pada prinsip dan keyakinannya.
Implikasi Internalisasi Spiritualitas
Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim, salah satunya dapat didorong oleh faktor internal dari figur personal penegak hukumnya. Hal tersebut terjadi akibat berlawanan atau pertentangan aparatur penegak hukum dalam menegakkan hukum, sehingga terjadi kesalahan-kesalahan. Sebagaimana kasus yang dilansir dari portal Detik.com, memberitakan bahwa kedua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), R Iswahyu Widodo dan Irwan, divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, karena terbukti bersalah menerima suap dari Direktur CV Citra Lampia Mandiri (CLM) Martin P Silitonga. Fakta tersebut setidaknya kian turut merusak persepsi masyarakat akan citra peradilan yang bersih.
Pemerintah dengan segala upayanya telah berusaha untuk merealisasikan konsep Good Governance, pada dasarnya mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Hal tersebut tercermin dalam regulasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009.