Mohon tunggu...
Dina Hariati
Dina Hariati Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Saya sebagai mahasiswa STIE Widya Dharma Malang, artikel yang saya buat ini untuk memenuhi tugas kuliah, Semoga Bermanfaat Apabila ada salah dalam penyampaian, saya mohon maaf

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pajak Olshop Hingga 35 Juta, Kok Bisa?

24 Juni 2024   19:54 Diperbarui: 24 Juni 2024   20:07 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 2 tahun lalu, kehebohan cuitan pajak olshop di media sosial Twitter mengenai tagihan pajak hingga 35 juta menggegerkan segenap kalangan penjual online. Postingan menggemparkan ini diunggah akun Twitter @txtdarionlshop mendadak viral dan ramai jadi perbincangan. Postingan itu sudah dicuit ulang 1.355 kali, disukai lebih dari 4.673 orang, dan dikomentari 219 kali

Kronologi Awal

Sebuah unggahan berisi informasi mengenai adanya seller (penjual) di salah satu e-commerce disebut mendapat tagihan pajak hingga Rp 35 juta.

"Yang udah berjualan dan baru dagang online, ingat kalo ada pajak. Ternyata selama ini data transaksi seller sh*p*e diterima oleh kantor pajak, nggak tahu kalo mp (marketplace) lain, kayaknya sih iya juga. Doi belum punya NPWP, 2 tahun nggak bayar pajak kena 35 juta," tulis akun @txtdarionlshop dikutip, Rabu (24/11/2021).

Di dalamnya juga terdapat potongan gambar mengenai curhatan salah satu warganet di Facebook dengan nama Karina Putri Dewi. Ada juga foto surat dari Direktorat Jenderal Pajak dan isi suratnya Karina menceritakan, dirinya harus membayar pajak sekian juta sedangkan temannya harus membayar pajak Rp 35 juta dari jualan online.

"Sekadar info temen2 bagi yang jualan di sh*p*e saya infokan mulai sekarang perhitungkan mengenai penerapan harga jual ya. Karena penjualan kita dari awal sh*p*e sampai sekarang ternyata dihitung dan data kita di sh*p*e dikasih ke kantor pajak. Ini giliran saya yang kena," tulisnya.

Pengalaman itu ia bagikan agar warganet lain mulai memperhitungkan barang dagangan dengan biaya pajak dan lain-lain.

"Saya harus bayar pajak ke pratama sekian juta. Temen saya juga kena sekitar 35 juta. Yg belum kena tunggu saja. Mulai sekarang perhitungkan jualan di sh*p*e dengan potongan pajak, admin dll. Kecuali bagi yang sudah memiliki NPWP karena akan terdeteksi langsung biasanya. Semoga bisa menjadi perhatian untuk lebih cerdas memperkirakan harga yang akan kita jual," lanjutnya.

Tanggapan Pemerintah

Kantor Wilayah DJP Jawa Barat melalui akun media sosialnya @pajakjakbar1 pun merespons cuitan tersebut dengan mengatakan,"Terima kasih kak sudah mengingatkan. Setiap warga negara yang sudah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, maka mempunyai kewajiban untuk mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya."

Selain itu, Postingan @txtdarionlshop mendapatkan tanggapan dari akun resmi Direktorat Jenderal Pajak @DitjenPajakRI. Dalam balasannya, DJP juga menyebutkan bahwa pendaftaran NPWP bagi penjual di toko online dapat dilakukan secara online.

"Bagi pelaku UMKM atau seller online, pendaftaran NPWP bisa melalui pajak.go.id. Untuk asistensi dan konsultasi penghitungan pajak bisa menghubungi KKP terdaftar atau @kring_pajak. Di KKP juga ada program pelatihan BDS (Business Development Service) untuk pelaku usaha," tulis DJP.

Penjelasan Mengenai Pajak Online Shop

 Dalam tread cuitan tentang pajak online shop itu, nyatanya tak sedikit orang yang mengaku belum tahu sebenarnya jenis pajak apa yang dikenakan dari bisnis jualan di toko online atau marketplace. Agar lebih memahami pajak toko online atau pajak yang dikenakan atas usaha dari jualan di toko online alias marketplace atau olshop ini.

Sebenarnya, antara pajak dari transaksi online dengan pajak atas usaha jualan online itu suatu hal yang berbeda.

Pajak transaksi online artinya pajak yang dikenakan atas transaksi yang terjadi dalam jual beli secara daring, sedangkan pajak usaha jualan online artinya pajak yang dikenakan atas penghasilan dari bisnis yang dimiliki. Jadi, jenis-jenis pajak di online shop tidak akan selalu dibebankan pada penjual saja, tapi juga dikenakan pada pembeli, bahkan merupakan tanggung jawab pihak marketplace (pemilik olshop yang menyediakan platfom toko online).

Berikut jenis pajak online shop yaitu :

1. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak penghasilan yang dikenakan pada penjual yang punya toko online di marketplace adalah jenis PPh atas omzet yang diperoleh dari hasil penjualan di online shop tersebut.

Mengacu pada cuitan tentang pajak olshop tersebut, maka sejatinya tagihan pajak sebesar Rp35 juta ini bukanlah pajak atas transaksi di olshop, melainkan PPh dari hasil jualan di toko online tersebut.

Sehingga tidak ada kaitannya harus menyesuaikan lagi perhitungan harga jual barang yang akan dijualnya. Karena yang dikenakan pajak ini merupakan penghasilannya, bukan transaksi yang dibebankan biaya-biaya dari pajak.

Sama seperti Wajib Pajak (WP) Pribadi yang memiliki penghasilan dari bekerja sebagai pegawai/karyawan, mereka secara rutin telah membayar pajak penghasilan melalui pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan perusahaan pemberi kerja.

Wajib Pajak Pribadi yang memiliki usaha (WP Pribadi Pengusaha) juga harus membayar PPh atas penghasilan yang diperolehnya dari jualan online di online shop.

Bedanya, bagi WP Pribadi Pengusaha maupun WP Badan yang punya toko online di marketplace ini harus menghitung dan menyetorkan sendiri kewajiban PPh-nya ke negara. Karena pajak penghasilan di Indonesia masih menganut sistem perpajakan self-assessment.

Sebagai wajib pajak, baik WP Pribadi Pengusaha maupun WP Badan, selama memiliki penghasilan bruto di bawah Rp4,8 miliar setahun, hanya dikenakan PPh sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018, yakni sebesar 0,5% dari omzet bruto.

Dengan catatan, selama wajib pajak tersebut belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak melakukan pembukuan.

Tarif pajak ini dikenal sebagai tarif PPh Final UMKM PP 23/2018, yang mana ketentuan terbaru mengenai batas omzet yang dikenakan PPh Final UMKM diubah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Apabila pajak terutang yang harus dibayarkan atas penghasilan dari jualan online itu sebesar Rp35 juta untuk tagihan selama 2 tahun, maka omzet dari jualan online di marketplace tersebut mencapai sekira Rp7 miliar dalam dua tahun.

Perkiraan angka ini diperoleh dari perhitungan:

= Tarif PPh Final PP 23/2018 x Omzet Bruto
= 0,5% x Rp7.000.000.000
= Rp35.000.000

Jika dalam dua tahun diperoleh omzet bruto sebesar Rp7 miliar -anggaplah penghasilan kotor per tahunnya rata-rata sama- maka omzet bruto yang didapat adalah Rp3,5 miliar setahun.

Dengan jumlah penghasilan yang diperoleh dari jualan online di marketplace itu, jelas penjual di toko online ini wajib bayar PPh Final PP 23/2018.

Namun, jika di tahun berikutnya ternyata jumlah omzet bruto yang diperoleh misalnya hanya sebesar di bawah Rp500 juta setahun, maka tidak dikenakan PPh Final 0,5% sesuai PP 23/2018 alias bebas pajak.

Beda cerita jika penjual di olshop dengan omzet bruto rata-rata sekira Rp3,5 miliar setahun ini memilih perhitungan PPh menggunakan metode lain, seperti metode umum atau Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Artinya, WP Pribadi pelapak di olshop ini sudah berstatus WP Pribadi PKP meski omzetnya masih dibawah Rp. 4,8 miliar setahun

Maka, penghitungan PPh pajak online shop ini harus menggunakan pembukuan. Sehingga akan dikenakan tarif pajak penghasilan progresif (PPh Progresif).

Sama seperti WP Pribadi penjual di toko online, WP Badan yang omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar setahun, maka dapat menggunakan tarif PPh Final PP 23/2018 atau pajak UMKM tersebut.

Namun ketika jumlah omzet WP Badan pelapak online ini sudah mencapai di atas Rp4,8 miliar, maka wajib mengajukan diri sebagai WP Badan PKP.

Ketika omzet WP Badan PKP tersebut lebih dari Rp4,8 miliar dan kurang dari Rp50 miliar setahun, maka akan mendapat pengurangan 50% sesuai Pasal 31E UU PPh.

Maka perhitungan tarif PPh Badan untuk WP Badan PKP dengan omzet di bawah Rp50 miliar adalah:

50% x Tarif x ([Rp4,8 miliar/Penghasilan Bruto] x Penghasilan Kena Pajak) + Tarif x (Penghasilan Kena Pajak -- [(Rp4,8 miliar/Penghasilan Bruto) x Penghasilan Kena Pajak]).

Sedangkan bagi WP Badan PKP dengan omzet bruto di atas Rp50 miliar setahun, akan dikenakan tarif PPh Badan 22% mulai 2020.

2. Pajak Impor Kiriman Barang dari Luar Negeri

Dalam transaksi jual beli online melalui toko online atau online shop (marketplace), juga tak luput dari kaitannya dengan beberapa pengenaan pajak transaksi, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk, maupun PPh impor.

Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK.010/2019 tentang Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.

Ketiga jenis pajak ini dikenakan untuk transaksi barang dengan harga di atas US$3 yang dikirimkan dari Kawasan Perdagangan Bebas seperti Kabupaten Bintan, Kota Batam, Kota Sabang, dan Kabupaten Aceh Besar.

Namun beberapa jenis pajak tersebut sejatinya hanya dikenakan pada pembeli barang dari luar negeri atau barang impor pada saat transaksi pembelian berlangsung, bukan pajak yang harus dibayar penjual di toko online.

PPN, Bea Masuk dan PPh impor tersebut disetor ke kas negara oleh perusahaan jasa kirim sebagai pemungut pajak dari transaksi yang ada di marketplace tersebut.

Jadi, ketiga jenis pajak dari transaksi di toko online ini bisa diabaikan saja oleh penjual di online shop karena memang tidak dibebankan ke penjual maupun bukan kewajiban penjual di toko online untuk menyetorkan ke kas negara.

3. PPh Pasal 23/26 dan PPh Pasal 21

Perlu dipahami, dalam aktivitas bisnis di toko online juga mengandung unsur Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26 maupun Pajak Penghasilan Pasal 21

Jenis pajak penghasilan pasal 23 atau pasal 26 ini merupakan PPh yang dipotong oleh pihak marketplace dari biaya jasa yang dibayarkan marketplace ke perusahaan yang jasanya digunakan pihak marketplace.

Jika PPh Pasal 23 dikenakan pada perusahaan wajib pajak dalam negeri, sedangkan PPh Pasal 26 merupakan wajib pajak luar negeri.

Sedangkan PPh Pasal 21 dalam perpajakan di online shop ini muncul ketika pihak marketplace menggunakan jasa dari pihak individu atau perorangan, misalnya influencer.

Maka, pihak marketplace ini akan memotong PPh 21 dari biaya jasa atau komisi yang diberikan kepada individu yang jasanya digunakan oleh pihak marketplace tersebut.

Karena telah memotong atau memungut PPh 23/26 dan PPh 21, maka pihak marketplace pula yang akan menyetorkan hasil pemungutan PPh 23/26 maupun PPh 21 ini ke kas negara.

Pihak marketplace juga wajib membuat Bukti Potong PPh 23/26 dan melaporkan PPh 23 secara online melalui e-Bupot Unifikasi

Ketiga jenis PPh tersebut, akan langsung dipotong pihak marketplace pada saat transaksi pembayaran jasa.

Jadi, jenis pajak ini tidak berkaitan dengan kewajiban pajak bagi penjual di toko online atau marketplace.

4. PPN

Masih berkaitan dengan poin ketiga di atas, jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam bisnis online shop juga merupakan kewajiban pihak marketplace dan pihak yang memberikan jasa, bukan penjual barang di toko online ini.

Ketika pihak marketplace menggunakan jasa dari pihak yang memberikan jasa, maka pihak marketplace tersebut harus membayar PPN yang dipotong langsung pada saat transaksi oleh pihak pemberi jasa.

Kemudian pihak pemberi jasa dalam hal ini perusahaan yang sudah berstatus PKP, harus menyetorkan pemungutan/pemotongan PPN atas transaksi jasa kena pajak dari pihak marketplace tersebut ke kas negara.

Sementara itu, pihak marketplace sendiri juga akan menjadi pihak yang memungut PPN. Marketplace akan memungut PPN dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau PPN PMSE atas barang/jasa kena pajak dari luar negeri melalui sistem elektronik.

Artinya, PPN PMSE ini dibayarkan oleh penjual barang/jasa kena pajak dari luar negeri. Sedangkan PPN PMSE 10% itu sendiri sebenarnya dibebankan pada pembeli produk/jasa digital yang dijual oleh penjual luar negeri kepada pembeli di Indonesia melalui situs.

Jadi, kewajiban PPN dari bisnis di online shop ini juga bukan merupakan kewajiban penjual di toko online yang merupakan wajib pajak dalam negeri.

Namun bagi penjual di toko online yang sudah memiliki sejumlah omzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun, baik penjual di marketplace sebagai orang pribadi maupun badan/perusahaan, maka sudah wajib mengajukan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Ketika WP Badan maupun WP Pribadi sudah berstatus PKP, maka memiliki kewajiban memungut PPN atas transaksi barang/jasa kena pajak yang dilakukannya dan menerbitkan Faktur Pajak untuk lawan transaksi.

Kemudian WP Badan ataupun WP Pribadi PKP sebagai penjual di toko online ini wajib menyetorkan pemungutan/pemotongan PPN dari lawan transaksi tersebut ke kas negara.

Itulah jenis-jenis pajak olshop yang ada dalam bisnis online shop yang wajib diketahui dan dipahami dengan baik bagi pelaku usaha jual beli barang secara daring di marketplace. Semoga bermanfaat.

Referensi

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5824896/viral-penjual-di-toko-online-ditagih-pajak-hingga-rp-35-juta

https://klikpajak.id/blog/pajak-bisnis-online-shop-di-indonesia/

https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/25/131444765/ramai-soal-penjual-olshop-dapat-tagihan-pajak-rp-35-juta-ini-kata-djp?page=all

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun