Pengalaman berahmat dan terindah dalam hidupku, tatkala hidup bersama anak-anak panti asuhan. Bila tiba waktunya untuk makan, saya sungguh terharu, kasihan, ditantang dan diusik oleh kemapaman saya selama ini atas makanan yang dihidangkan.Â
Umumnya menu makanan mereka sama mulai dari pagi hingga malam yakni nasi dan indomie, kadang mereka hanya makan nasi dan sayur jipang. Bila donatur datang mereka akan memakan apa yang dibawa donatur berupa makanan yang enak seperti KFC, nasi kotak, dan mie-bakso. Demikianlah variasi makanan yang mereka makan setiap hari.Â
Apa yang dirasakan oleh anak-anak panti ini amat jauh dari apa yang saya rasakan ketika hidup sebagai seorang biarawati. Kebutuhan saya sungguh terpenuhi dengan baik. Makanan dan minuman tersedia dan terjamin. Persediaan bahan makanan juga tercukupi. Tanpa mengkhawatirkan apa yang akan dimakan esok hari, semua sudah dimasak dan dihidangkan di atas meja makan; hanya tinggal menunggu waktu untuk menikmatinya.Â
Namun, selalu saja ada yang dikeluhkan atas makanan yang dihidangkan: "itu-itu saja menu makanan kita ya, gak kreatif yang memasak, malas kali aku makan, gak berkelas makanan ini, yuk kita cari tempat makanan yg lebih mantap". Inilah variasi sungut-sungut yang kerap dilontarkan. Bukannya bersyukur karena masih dapat makan melainkan lebih banyak mengeluarkan rumusan sungut-sungut.Â
Dan lagi, banyak makanan yang terbuang karena tidak dimakan, entah karena puasa, tidak selera makan, lupa mengkomunikasikan kepada petugas dapur dan masih banyak lagi alasan yang lain. Intinya selalu ada alasan untuk membenarkan diri.Â
Tentu hal ini merupakan sebuah pelecehan terhadap makanan, mereka yang telah berjuang dengan sepenuh hati memasak dan menyediakan dan terlebih kepada saudara-saudari  yang belum memperoleh makanan. Nilai-nilai luhur sebutir nasi yang kerap dikumandangkan dan diperdengarkan  itu tidak menyatu dalam hidup melainkan hanya sebatas teori atau pajangan indah penghias dinding dan meja makan.Â
Ketika saya masih tinggal dalam keluarga,ayahku selalu mengingatkan kami nilai luhur dari sebutir nasi. Setiap kali makan ayah selalu mengingatkan ambil sesuai porsimu. Karena ketika makanan sisa dipiring sama hal nya dengan merampas jatah orang lain.Â
Bukan hanya itu, setiap kali ada nasi yang jatuh dari piring,ayahku selalu bilang bahwa nasi itu akan menangis. Nasi itu punya ruh. Ntah lah benar perkataan ayahku waktu itu. Tapi perkataan itu selalu kuingat setiap kali saya makan.
Hal senada juga diungkapkan oleh seorang saudari, "Betapa enaknya makanan ini, seandainya aku mampu bersyukur atas segala sesuatu yang ada alangkah hidup ini lebih bahagia. Tapi karena ke'aku'an ku membuatku bersungut-sungut betapa malunya diriku yang kurang mampu bersyukur."
Dalam kalimat ini dapat dikatakan bahwa "You are what you eat". Diriku menandakan apa yang saya makan. Makanan itu bukanlah semata-mata pemuas rasa lapar saja melainkan jauh lebih dalam lagi yakni erat kaitannya dengan psikis manusia. Aku makan supaya aku hidup bukan aku hidup supaya aku makan. Pemahaman itu mengajak saya untuk senantiasa bersyukur dengan menghargai makanan seraya menuntut hidup saya supaya lebih berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H