Bangunan tersebut kemudian diperluas saat masa pemerintahan Pangeran Aria Soeria Atmadja. Bangunan Masjid Agung Sumedang mengalami pelebaran ke depan, samping utara dan samping selatan dengan penghulunya K.H.R. Muhammad Hamim. Sampai saat ini Masjid Agung Sumedang telah mengalami tiga kali Renovasi, saat pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama Kabupaten Sumedang. Renovasi pertama dilakukan tahun 1952, pada pada masa Dinas Urusan Agama dipimipin oleh MS. Muhammad Soemarya.
Hingga pada akhirnya setelah menjalani beberapa kali renovasi dari masa ke masa, Masjid Agung Sumedang tetap menggunakan ciri khas budaya Islam dan Tionghoa dalam pembangunannya, Hal ini bisa dilihat dari bentuk atap Masjid yang bersusun tiga, mirip bangunan pagoda, kelenteng atau vihara. Atapnya disusun makin ke atas makin kecil. Tingkatan paling atas berbentuk limas yang disebut mamale. Di bagian bagian puncaknya bertengger sebuah benda yang disebut mustaka, bentuknya menyerupai mahkota raja-raja di masa lampau.Â
Ciri khas yang paling menonjol pada bangunan Masjid Agung Sumedang adalah banyaknya tiang penyangga. Tiang penyangga ini hanya dibuat dari susunan bata yang dibulatkan dengan ukuran besar. Bagunan ini memiliki 166 tiang untuk berdiri, selain itu ciri khas pada bagunan masjid ini juga dapat dilihat dari gaya arsitekturnya yang kuno dan antik sesuai dengan zamannya yaitu, abad ke-19. Bagian dalam masjid ini juga terdiri atas tiang utama sebanyak 14 buah dengan diameter 100 cm dan tiang utama bagian luar sebanyak 106 buah dengan diameter 60 cm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H