Mohon tunggu...
Dina Emiratunnisa
Dina Emiratunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Nama saya Dina Emiratunnisa, hobby saya adalah memasak dan berolah raga, saat ini saya menempuh program S1 bidang hukum di UIN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rekam Jejak Pelaku Pelecehan Seksual Herry Wirawan

3 Mei 2024   17:55 Diperbarui: 3 Mei 2024   18:09 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dilansir dari Kompas.com, awal terbongkarnya kasus ini bermula dari salah satu dari 13 korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan, pulang ke rumah karena libur hari raya Idul Fitri. Mengetahui keadaan anaknya sedang hamil, kedua orangtuanya langsung melaporkan ke Polda Jawa Barat serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut untuk ditindak lanjuti.

Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh pihak polisi maka terungkap bahwa korban diperkosa oleh Herry Wirawan yang merupakan seorang guru sekaligus pemilik Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Madani, Jawa Barat. Dan juga ditemukan fakta bahwa 8 dari 13 korban tersebut hamil dan melahirkan bahkan terdapat satu santri yang melahirkan dua kali.

"Jadi ada anak yang melahirkan dua kali. Rentang usia korban 14-20 tahun, yang terakhir melahirkan itu usia korbannya 14 tahun," kata Ketua P2TP2A Garut, Diah Kurniasari Gunawan dalam pemberitaan Kompas.com pada 9 Desember 2021.

Para korban diimingi biaya pesantren, sekolah gratis jadi polisi wanita, hingga dibiayai kuliah dan akan diberikan pekerjaan setelah lulus dari pondok.

Herry diketahui memperkosa 13 santrinya dalam waktu lima tahun sejak tahun 2016 hingga 2021. Pelaku melakukan aksinya di berbagai tempat diantaranya gedung yayasan KS, pesantren Tahfidz Madani, pesantren MH, basecamp, apartemen TS Bandung, hotel A, hotel PP, hotel BB, hotel N, dan hotel R.

Detik.com juga melansirkan berita bahwa sebenarnya Polda Jabar sudah menerima kasus ini sejak Mei 2021 tapi tidak diekspos ke media dengan pertimbangan dampak psikologis dan sosial dari korban kebejatan Herry Wirawan. Namun kemudian pada awal desember 2021 kasus ini viral di media sosial setelah beberapa kali dilakukan sidang dengan pemeriksaan 21 orang saksi.

Di meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Herry Wirawan mengakui tindakan biadabnya telah memerkosa 13 santriwati hingga hamil dan melahirkan. Herry meminta maaf atas perbuatannya, serta mengaku khilaf.

Kasus ini sampai menarik perhatian presiden Joko Widodo, Jokowi meminta penanganan hukuman terhadap Herry dilakukan tegas dan meminta agar memperhatikan kondisi korban. Arahan itu disampaikan Jokowi melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga. Beliau ikut terjun mengawal kasus ini berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi, Jawa Barat.

Pada tanggal 15 februari 2022, Herry Wirawan divonis hukuman penjara seumur hidup. Hakim menilai Herry terbukti bersalah melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati di Bandung.

"Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," ucap hakim.

Namun atas vonis tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung dan gugatan tersebut dikabulkan.

Majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung memperberat vonis terdakwa pemerkosa 13 santriwati Herry Wirawan dari hukuman penjara seumur hidup menjadi vonis mati. Hakim beralasan demi efek jera dan melindungi masyarakat dari perbuatan serupa

Tidak terima dihukum mati, pihak Herry Wirawan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, permohonan itu ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung. Mahkamah Agung justru menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung yaitu menghukum Herry Wirawan dengan vonis mati.

"JPU & TDW= TOLAK," demikian dikutip dari situs resmi MA, Rabu (4/1/2023).

Dalam putusan itu, Herry Wirawan tetap dihukum sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76 D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan

Tak hanya itu, Herry Wirawan juga dibebankan uang ganti rugi atau restitusi kepada terdakwa. Herry diwajibkan membayar restitusi ke 13 korbannya. Nominalnya beragam. Namun, jika diakumulasikan, total biaya restitusi yang harus dibayarkan Herry mencapai Rp 331 juta.

Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati (KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN) 
Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati (KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN) 
Namun kompas.com melansirkan kembali berita bahwa Insititute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan keputusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan. Salah satu peneliti dari ICJR, Maidina Rahmawati mengungkapkan bahwa penjatuhan hukuman mati terhadap Herry Wirawan menunjukkan fokus negara yang justru kepada pembalasan terhadap pelaku, alih-alih membantu pemulihan korban.

Beliau mengutip dari pernyataan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang urusan HAM, Michelle Bachelet, mengenai hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual yang justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban. Bachelet menyampaikan, meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.

Sejalan dengan pendapat diatas, Komnas HAM juga menganggap bahwa pemulihan 13 santriwati korban perkosaan Herry Wirawan, tak kalah penting dibandingkan vonis bagi Herry sebagai terdakwa.

Tribun News
Tribun News
"Bagi Komnas HAM, korban adalah pihak paling utama untuk diperhatikan. Maka kami juga sangat kuat mendorong ada proses restitusi, rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius, dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus-kasus lainnya," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik.

Ia juga beranggapan bahwa vonis mati terhadap Herry Wirawan tak berkorelasi dengan efek jera. Pidana mati juga tidak berkorelasi langsung terhadap upaya pemulihan para korban. Tidak efektifnya vonis mati menjadi salah satu sebab hukuman ini mulai ditinggalkan secara global..

Disisi lain Komisioner KPAI, Retno mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat tersebut. Namun beliau berpendapat bahwa restitusi 331 juta itu terlalu kecil untuk para korban beserta bayi-bayi yang lahir.

"Yang penting restitusi dipastikan pemenuhannya, karena para korban harus melanjutkan hidupnya, masa depannya masih panjang, termasuk para bayi yang dilahirkan, seharusnya dihitung restitusinya juga, karena bayi-bayi itu juga korban. Jadi restitusi Rp 330 juta terlalu kecil," ujar Retno.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun