Selamat pagi, siang, dan malam untuk pembaca yang budiman!
Berkenalan dengan penulis cantik ini yang berasal dari kota yang dikenal dengan "Lumpur Lapindo" yaitu Kota Sidoarjo. Nama saya Dina Aprilia Hasna, saat ini saya sedang menempuh pendidikan di kota yang dijuluki dengan Kota Bunga. Hari ini saya ingin berbagai pengalaman saya saat masih menginjak bangku sekolah menegah pada tahun 2018 lalu. Tahun dimana masih belum banyak orang yang aware dengan gangguan kesehatan mental seseorang, terutama saya yang masih berumur 15 tahun.
Gangguan kesehatan mental merupakan keadaan seseorang yang mengalami gangguan terhadap pola pikir seseorang hingga sikap dan emosi mereka dapat terpengaruh. Hal ini menyebabkan terganggunya perilaku seseorang ketika berinteraksi dengan masyarakat. Dari data yang ada di sidoarjo sebanyak 3.264 orang mengalami gangguan jiwa.
Saat saya masih duduk di bangku SMP, fenomena yang sedang marak pada saat itu adalah self harm atau melukai dirinya sendiri dengan benda tajam. Hal ini menjadi tren pada masa itu dan banyak diikuti oleh beberapa teman sekolah saya. Pada saat itu saya masih kurang paham akan apa yang dilakukan oleh teman-teman saya dan saya mengira mereka hanya segerombolan orang-orang yang ikut-ikutan tren agar terlihat keren.
Tren self harm ini dilakukan untuk menyalurkan rasa sakit di hati mereka ke tubuh agar mereka merasa lebih baik. Self harm termasuk dalam perilaku pribadi yang tidak sehat dan membuat kesehatan mental seseorang menjadi menurun. Entah dilakukan dengan sengaja atau tidak, perilaku tersebut termasuk dalam perilaku negatif yang dapat membahayakan nyawa seseorang. Pada akhirnya pihak sekolah mendengar bahwa siswanya terlibat dalam self harm. Mereka akhirnya mengumpulkan semua siswa/siswa yang ikut tren tersebut dan memanggil orang tua mereka.
Pihak sekolah memandang siswa/siswa tersebut sebagai anak nakal atau anak bermasalah, tanpa mau tahu penyebab mereka melakukan slef harm ke diri mereka. Hal ini menunjukkan nilai dan pandangan kesehatan mental di mata masyarakat sidoarjo masih kurang dianggap sebagai hal serius.
Akibat dari banyaknya siswa/i melakukan self harm ke dirinya sendiri membuat pihak sekolah mengadakan pengajian dan ruqiyah untuk anak yang sudah terjerumus. Tentunya hal tersebut atas persetujuan dari orang tua masing-masing siswa/i. Ancaman DO kepada siswa/i yang melakukan hal tersebtt juga dilakukan pihak sekolah agar tidak ada yang berani mengulanginya lagi. Masyarakat sidoarjo cenderung memandang orang yang memiliki masalah kesehatan mental sebagai orang yang kurang bersyukur dan kurang mendekatkan diri dengan tuhan. Para orang tua juga selalu menyuruh anak-anaknya mereka untuk rajin sholat ketika kesehatan mereka menurun.
Pihak sekolah seharusnya menjadi pihak yang selalu aware dengan kesehatan mental dan tidak memandang rendah kesehatan mental siswa dan siswinya. Pada akhirnya banyak siswa dan siswi di sekolah saya melabeli anak yang melakukan self harm sebagai anak nakal. Jika saya bisa memutar waktu dan kembali ke masa itu, saya ingin sekali menanyakan alasan mengapa mereka melakukan self harm.Â
"Seberat apa hidup kalian?"
"Masalah apa yang sedang kalian hadapi sekarang?"
"Sesakit itukah dampaknya? Sampai-sampai kalian menyakiti diri kalian sendiri"
Jika dibandingkan dengan masa kini, masyarakat sidoarjo sudah mulai paham terkait kesehatan mental dan langsung berobat ke psikolog jika dirasa masalah tersebut sudah sangat parah. Namun, masih banyak orang tua yang belum merubah pandangannya. Mereka seringkali menganggap alasan kesehatan mental anak mereka menurun karena kurang taat beribadah.
Beginilah nilai dan cara pandang masyarakat sidoarjo yang bermayoritas agama islam terkait ganguan kesehatan mental seseorang. Pengalaman ini murni dari kisah penulis ketika mengijak bangku sekolah dan cara pandang masyarakat dapat berubah mengikuti perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H