Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dengan Kepribadian yang prefeksionis dan juga suka menulis, saya kadang lupa orang-orang panggil saya, hai manis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengenal Konsep Diri Siswa: Perspektif Akademis, Sosial, dan Emosional

20 Desember 2024   22:24 Diperbarui: 20 Desember 2024   22:24 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Teori Carl Harlow menekankan bahwa pembentukan konsep diri seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan pengalaman hidup yang dialami. Dalam teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang membentuk identitasnya melalui hubungan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Setiap interaksi, baik itu positif maupun negatif, akan memberikan dampak pada cara individu melihat dirinya sendiri. Misalnya, dukungan dan pengakuan dari orang-orang terdekat dapat membantu membangun rasa percaya diri, sementara kritik yang tidak konstruktif bisa melemahkan persepsi positif seseorang terhadap dirinya.  

Konsep diri melibatkan berbagai aspek yang saling berhubungan, termasuk aspek fisik, emosional, dan sosial. Pada dimensi fisik, individu memandang dirinya berdasarkan penampilan dan kesehatan tubuhnya. Misalnya, seseorang yang merasa puas dengan penampilannya akan cenderung memiliki konsep diri yang lebih positif. Aspek emosional, di sisi lain, mencakup cara seseorang mengelola perasaan dan memahami emosi dirinya. Individu yang mampu mengontrol emosi biasanya memiliki pandangan diri yang stabil dan lebih optimis.  

Aspek sosial dalam konsep diri berkaitan dengan peran individu dalam masyarakat dan hubungan interpersonal yang dimiliki. Bagaimana seseorang diterima oleh lingkungannya, seperti keluarga, teman, atau komunitas, memengaruhi pandangan dirinya terhadap nilai dan kontribusinya. Pengalaman positif dalam hubungan sosial, seperti mendapatkan dukungan atau pengakuan, dapat memperkuat konsep diri yang sehat. Sebaliknya, pengalaman seperti penolakan atau pengucilan sosial bisa memunculkan keraguan terhadap diri sendiri.  

Masa SMA merupakan fase krusial dalam kehidupan remaja karena pada periode ini mereka mulai membangun konsep diri. Konsep diri, yang mencakup pemahaman tentang siapa mereka dan bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam hubungan dengan lingkungan sekitar, sangat dipengaruhi oleh berbagai pengalaman dan interaksi. Dalam usia ini, remaja berada di tengah proses pencarian jati diri yang sering kali menjadi pondasi bagi kehidupan mereka di masa depan.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi remaja dalam membentuk identitas adalah tekanan dari lingkungan. Lingkungan sosial, baik di rumah, sekolah, maupun komunitas, sering kali memberikan tuntutan yang bervariasi. Misalnya, remaja mungkin merasa perlu untuk memenuhi harapan orang tua, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, atau bahkan mematuhi norma-norma sosial tertentu. Tekanan ini dapat memengaruhi cara remaja melihat diri mereka sendiri, baik secara positif maupun negatif.

Selain itu, ekspektasi akademik menjadi salah satu faktor dominan yang turut membentuk konsep diri remaja. Masa SMA biasanya ditandai dengan beban pelajaran yang lebih berat, persiapan menuju perguruan tinggi, serta kompetisi akademik yang semakin intens. Dalam situasi ini, keberhasilan atau kegagalan akademik dapat menjadi indikator penting bagi remaja dalam menilai diri mereka. Hal ini menjadikan masa SMA sebagai periode yang penuh tantangan, tetapi juga peluang untuk mengembangkan ketahanan diri dan rasa percaya diri.

Hubungan sosial juga memainkan peran besar dalam pembentukan konsep diri remaja. Interaksi dengan teman sebaya, guru, dan orang-orang di sekitarnya membantu remaja memahami posisi mereka dalam suatu kelompok atau masyarakat. Hubungan yang positif dapat memperkuat rasa percaya diri dan penerimaan diri, sedangkan konflik atau hubungan yang bermasalah dapat menimbulkan rasa tidak aman atau kebingungan identitas. Oleh karena itu, dukungan dari lingkungan sosial menjadi sangat penting dalam membimbing remaja melalui fase yang kompleks ini.

Dalam upaya memahami dinamika tersebut, penulis melakukan wawancara dengan seorang siswi kelas 12 SMAN 3 Cibinong bernama Rizla Divia, yang lebih akrab disapa Rir. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang cara siswa memandang diri mereka dalam berbagai aspek kehidupan, seperti akademis, sosial, emosional, dan cita-cita masa depan. Pemahaman ini penting untuk mengidentifikasi pola-pola yang membantu atau menghambat perkembangan mereka.

Beberapa pertanyaan utama yang diajukan dalam wawancara dirancang untuk mengeksplorasi proses refleksi diri para siswa. Pertanyaan-pertanyaan ini meliputi bagaimana mereka mendefinisikan diri, apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan mereka, serta bagaimana mereka merespons tantangan yang dihadapi. Dengan menggali jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, diharapkan dapat ditemukan pola atau wawasan yang dapat membantu memahami proses pembentukan identitas pada masa SMA.  

Riri menunjukkan kesadaran yang mendalam terhadap dirinya sendiri, baik dari segi kelebihan maupun kekurangan. Ia menggambarkan dirinya sebagai pribadi yang kreatif, empati, dan mampu memahami orang lain tanpa perlu banyak bicara. Kesadaran ini mencerminkan pemahaman tentang real self yang realistis, yaitu kemampuan untuk menerima kekurangan seperti kecenderungan overthinking, terlalu sensitif, dan kurangnya manajemen waktu. Meski demikian, Riri tetap nyaman dengan dirinya, yang menunjukkan penerimaan diri yang sehat dan upaya untuk terus berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya.  

Penerimaan dari lingkungan sekitar juga menjadi aspek penting dalam membangun konsep diri Riri. Ia merasa dihargai dan diterima oleh orang-orang di sekitarnya, yang memberikan rasa aman emosional. Meskipun jarang menerima apresiasi atau penghargaan secara eksplisit, Riri tetap berusaha menemukan nilai intrinsik dalam setiap pencapaiannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan akan pengakuan eksternal dan motivasi internal.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun