Mohon tunggu...
dinaaa
dinaaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Suka mendengarkan musik dan menjelajahi hal-hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Privilage Jabatan: Amanah Atau Penyelewengan?

7 Januari 2025   18:57 Diperbarui: 7 Januari 2025   18:57 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jabatan adalah posisi yang memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada individu dalam sebuah organisasi, baik itu di sektor pemerintahan, bisnis, pendidikan, atau lembaga lain. Jabatan biasanya dianggap sebagai suatu kehormatan atau keistimewaan yang tidak mudah diraih oleh sembarang orang. Sebagai entitas yang memiliki peranan vital dalam tatanan masyarakat, jabatan memegang fungsi yang sangat krusial dan penuh urgensi.

Keistimewaan atau yang sering disebut dengan privilage inilah yang membuat beberapa individu menjadi lebih berkuasa. Hak istimewa yang diperoleh tidak hanya memberikan akses lebih mudah kepada kekuasaan, tetapi juga mempengaruhi perlakuan terhadap orang yang memegang jabatan tersebut. Perlakuan istimewa ini kerap kali menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang merasa bahwa hak mereka diabaikan, serta mendiskreditkan prinsip kesetaraan. Privilage yang melekat pada jabatan tentu menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat memberikan kesempatan untuk berbuat baik, namun di sisi lain, ia bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Penyalahgunaan jabatan atau privilage ini telah menjadi fenomena yang sering kita temui. Sejumlah pejabat publik yang diberikan amanah oleh rakyat sering kali menyalahgunakan kekuasaan mereka demi memperkaya diri atau golongan mereka, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi, nepotisme, dan bahkan kekerasan seksual. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kita dapat mempercayai semua orang yang diberikan jabatan untuk menjalankan tugasnya dengan integritas dan tanggung jawab? Nyatanya, jawabannya sering kali tidak. Penyalahgunaan jabatan ini berpotensi merusak kepercayaan publik, menurunkan kualitas kehidupan sosial, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara sudah menjadi headline di berbagai media. Pada tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatatkan 16 pejabat yang terjerat kasus korupsi dengan nilai kerugian negara yang mencapai lebih dari 1 triliun rupiah. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau fasilitas publik, malah dialihkan untuk kepentingan pribadi. Dampak dari penyalahgunaan ini sangat besar, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Ketidakadilan yang terjadi akibat penyalahgunaan jabatan memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada dan menciptakan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.

Dari sudut pandang ekonomi, penyalahgunaan jabatan mengakibatkan pemborosan sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk kemaslahatan umum. Menurut laporan Bappenas, sekitar 10-15% dari anggaran publik dihabiskan secara tidak efisien akibat praktik-praktik seperti korupsi. Proyek-proyek yang seharusnya menguntungkan rakyat dan mendorong kemajuan bangsa sering kali terabaikan demi kepentingan pribadi. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya menjadi prioritas justru terhambat.

Di sisi sosial, penyalahgunaan jabatan bertentangan dengan prinsip dasar negara kita, yaitu Pancasila. Sila kelima yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," seharusnya menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketidakadilan yang tercipta akibat penyalahgunaan jabatan memperburuk kondisi sosial dan memperlebar jurang ketimpangan di masyarakat.

Nepotisme, misalnya, adalah contoh lain dari penyalahgunaan jabatan yang merusak sistem meritokrasi dalam perekrutan. Laporan dari Lembaga Antikorupsi Indonesia menyebutkan bahwa sekitar 30% perekrutan di instansi pemerintah dipengaruhi oleh hubungan keluarga atau kedekatan personal dengan pejabat tertentu. Hal ini mengurangi kualitas pemerintahan karena posisi diberikan bukan berdasarkan kemampuan, melainkan kedekatan hubungan.

Selain itu, penyalahgunaan jabatan juga dapat berujung pada pelanggaran yang jauh lebih berat, seperti kekerasan seksual. Salah satu contoh mencengangkan adalah kasus pelecehan seksual oleh seorang pemimpin pondok pesantren terhadap santriwatinya. Ini menunjukkan betapa berbahayanya jika kekuasaan jatuh ke tangan individu yang tidak bertanggung jawab. Korban dari pelecehan ini sering kali mengalami trauma psikologis yang mendalam, bahkan beberapa korban sampai mengalami depresi berat dan terpaksa mengakhiri hidupnya. Kejadian semacam ini menunjukkan pentingnya pembenahan dalam sistem pelaporan, dukungan psikologis bagi korban, serta penegakan hukum yang lebih tegas.

Jabatan bukan hanya soal memiliki wewenang atau privilage, tetapi juga tentang menjalankan tanggung jawab dengan integritas. Pemimpin yang baik adalah mereka yang dapat mengambil keputusan yang adil dan bijaksana, serta melaksanakan tugasnya tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi. Seorang pemimpin harus memiliki mental yang kuat dan mampu menahan godaan untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Jabatan bukan sekadar hak, tetapi sebuah amanah yang harus dijaga.

Dalam Islam, jabatan dianggap sebagai amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyebutkan, "Jabatan adalah amanah dan ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali yang menerimanya dengan hak serta menunaikannya dengan baik." Hadits ini menegaskan bahwa jabatan yang disalahgunakan akan membawa penyesalan di akhirat. Oleh karena itu, pejabat harus menjalankan tugasnya sesuai dengan hak dan kewajiban yang telah ditentukan.

Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin besar pula godaan untuk menyalahgunakannya. Oleh karena itu, untuk mencegah penyalahgunaan jabatan, pejabat yang baik harus memiliki integritas dan kemauan untuk menahan diri dari godaan-godaan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun