Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! | Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan dan kesehatan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Buku di Antara Bayang-Bayang Kecerdasan Buatan

25 September 2024   13:36 Diperbarui: 30 September 2024   22:54 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Kompas.id (Ilustrasi Lembar Kertas dan AI)

Sebelum kecerdasan buatan atau biasa disapa AI menjadi sorotan lebih, diberi kesempatan untuk bisa mempelajarinya melalui program Studi Independen di bawah naungan Kemendikbudristek, di mana bidang AI yang saya ambil adalah terfokus pada ranah Bisnis.

Ketika mempelajarinya, menjadi hal tabu tetapi sekaligus menjadi ilmu baru bagi saya. Seperti yang saat itu difokuskan, yakni bagaimana kita bisa membangun sebuah startup (digital) berbasis kecerdasan buatan / AI.

Setelah program studi selesai, sempat tidak menyangka kalau AI akan mendapat sorotan yang lebih, tepatnya di 2022 akhir ketika Open AI meluncurkan sebuah aplikasi Chat GPT.

Mulanya biasa saja, tetapi rupanya AI berkembang cepat hingga menjadi gempuran baru di tengah era digital yang bahkan hampir tidak terbendung. Kehadiran AI sangat berdampak besar bagi umat manusia, di mana orang-orang mulai memanfaatkannya bahkan hingga bergantung, dua diantaranya adalah dunia pendidikan dan penulisan.

Mengapa bisa dikatakan bergantung? Selayaknya minta tolong, AI bisa diperintah untuk menghasilkan sebuah teks, dan ketika teks sudah berhasil muncul/diberikan, layaknya (seperti) seorang penulis yang menuliskan sebuah teks (karya tulis) bahkan dengan hasil yang jelas hingga langsung kepada inti pembahasannya.

Memang, AI tergolong sangat canggih, ketika baru ingin menggunakannya sudah digoda dengan keefisienan dan inovasi yang menonjol, di mana kemampuannya bukan hanya sekedar menghasilkan teks yang informatif dan kompleks saja, tetapi juga dengan kecepatannya yang sangat andal, sehingga membuat manusia ingin dimanjakan.

Meski demikian, apakah teks-penulisan yang dihasilkan oleh AI setara dengan karya manusia?

Jawabannya, Belum Tentu. Diwarta dari AIDA, AI kerap gagal untuk menyelami kedalaman gagasan/pemikiran manusia dan tidak mampu mempertahankan atau menyaingi butir-butir emosi manusia. Hal inilah yang menjadi pengingat, bahwa kecanggihan teknologi sekalipun, tidak mampu mengalahkan kedalaman dan keotentikan emosional yang menjadi sebuah kualitas tak tergantikan dari diri dan karya-karya manusia.

Pendidikan di Antara Bayang-Bayang Kecerdasan Buatan

Teringat kembali masa-masa akhir perkuliahan, di mana mencari buku (entah dengan cara membeli atau meminjam) sudah menjadi kewajiban dan budaya tersendiri untuk menunjang penyelesaian tugas akhir.

Ketika saya pribadi menjalani dan menyelesaikannya tentu mengikuti arahan tetap, yakni menggunakan buku dan jurnal. Tetapi, sempat heran ketika ada yang memilih menggunakan AI untuk menyelesaikan sebagian karyanya.

Dalam tugas akhir sendiri, ketika mau mengutip tulisan tentu harus mencantumkan lengkap sumbernya, dari judul buku, siapa penulisnya, hingga tahun buku tersebut diterbitkan. 

Seketika saya bertanya-tanya sendiri, "Kalau pakai AI, siapa nama penulis yang akan dicantumkan? Apakah mencantumkan kata AI? Apakah boleh? Atau apakah tujuan AI memang digunakan (sebagai topeng) seakan-akan hasil dari karya (tulisan) sendiri? Sehingga bisa menjadi kalimat yang tersusun rapih".

Menggunakan AI dalam dunia pendidikan seperti ini masih tabu (pada saat itu), karena yang umumnya diketahui adalah bahwa tugas akhir harus real karya sendiri yang diperkuat oleh sumber otentik seperti dari buku dan jurnal, bahkan jumlah buku dan jurnal yang digunakan untuk tugas akhir biasanya terdapat jumlah khusus yang sudah ditetapkan dan harus dipatuhi, seperti misal wajib menggunakan minimal 15 buku dengan tahun terbit di atas 2013 dan minimal 10 jurnal dengan tahun terbit di atas 2012.

Jika, sebuah karya diterbitkan dari hasil menggunakan AI, lalu apa yang disebut dengan keaslian karya?

Buku di Antara Bayang-Bayang Kecerdasan Buatan

Sama seperti contoh di atas. Menjadi kekhawatiran tersendiri ketika AI dimanfaatkan dalam dunia penulisan hingga penerbitan buku. Mewarta dari AIDA, hal ini akan menimbulkan dan memperburuk masalah, dari mulai hak cipta hingga pengawasan privasi. Kekhawatiran ini bisa terlihat, diperkuat dan diperjelas ketika kita kesulitan untuk membedakan mana hasil karya manusia dan mana hasil dari AI.

Yuval Noah Harari dalam buku terbarunya, yakni Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI mengungkap sekaligus memberikan sebuah argumen, bahwa AI menjadi wakil dari "kekuatan baru" yang tergolong amat radikal pada kemajuan peradaban umat manusia. 

Argumen tersebut juga pernah diutarakan olehnya pada sebuah artikel, mengenai kekuatan AI yang dimanfaatkan untuk memanipulasi budaya, bahasa, dan masyarakat. Di mana dalam artikel ini, Harari seakan memberi peringatan bahwasannya AI sudah "meretas sistem operasi peradaban manusia".

Buku, memiliki pengalaman yang amat mendalam dari si penulisnya. Bukan hanya sekadar menjadi media dan warisan informasi yang akurat, melainkan juga sebagai wadah untuk menebarkan emosi, budaya, hingga filosofi kehidupan yang lebih mendalam.

Kehadiran AI seakan menjadi ancaman untuk keberagaman kreativitas dan intelektual seperti pada bidang sastra ataupun akademis. AI, bisa saja menghasilkan karya yang tergolong memenuhi sebuah standar seperti aksesibilitas, namun tetap saja memiliki kekurangan hingga tidak mampu menyaingi emosional dan kualitas, sehingga memadamkan peran buku sebagai refleksi dan cermin dari pemikiran dan pengalaman autentik manusia.

Selaras seperti yang dikatakan oleh Harari dalam buku Nexus, walaupun AI diciptakan oleh manusia, namun tetap saja tidak akan bisa mempunyai jiwa. "Jiwa" dalam hal ini berarti sebuah dorongan "unik" manusia untuk terus berkreasi. Jadi, mau sehebat apapun AI, tidak akan bisa untuk menyamai dan menyaingi manusia. Terlebih, AI juga tidak mampu untuk mendorong emosi, kreativitas, hingga penalaran yang moral dan etis.

Lalu, bagaimana nasib masa depan keberagaman kreativitas dan bahasa? Seakan menjadi pertanyaan sekaligus pengingat tersendiri mengenai posisi AI dan penulis manusia dalam menciptakan sebuah karya / tulisan.

Baik pada bidang akademis ataupun penulisan lainnya, pasti kita sempat berpikir bahwa "Kan ada pengecekan plagiarisme sebelum sebuah karya (penulisan) diterbitkan, pastinya sudah terjamin dong jika hasilnya akurat maka itu karya manusia".

Melansir dari AIDA, hadirnya AI pada dunia penulisan (akademis) sendiri memicu resiko plagiarisme. Maka, dalam hal inilah diperlukan tiang pedoman yang sangat jelas dan kokoh terkait pemanfaatan AI khususnya pada (penulisan) ilmiah.

Ketika ingin mencoba membedakan antara tulisan hasil dari teks AI dengan penulisan manusia, biasanya dapat kita cermati dari sisi kebakuan bahasa. Dari sisi penulisan manusia, mau menggunakan bahasa sebaku apapun, tentunya masih tetap nyambung dan mudah dicerna, apalagi bagi penulis yang melekat dengan bahasa sehari-hari atau apa adanya, jadi sangat mudah dikenali. 

Namun, lain halnya dengan AI, di mana bahasanya terkadang tidak sinkron antara satu kata ke kata lainnya ataupun satu kalimat ke kalimat lainnya, meskipun sekilas terlihat meyakinkan dan nyambung-nyambung aja, tetapi begitu dicerna lagi AI tidak membahas konteks dan teori yang diperlukan secara mendalam, jadi ketika hasil teksnya keluar tidak benar-benar menghasilkan analisis yang bermakna.

Melihat fenomena ini, mengingatkan kita pada buku lawas, masih sangat kental akan keindahan bahasa yang ditata rapi melalui pemahaman mendalam, bahkan bukan hanya sekadar pemahaman semata melainkan juga lahir dari renungan penulisnya. Sehingga, ketika masih membacanya sampai saat ini, akan merasa jauh lebih melekat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan interpersonal.

Bukan data dan algoritma yang terhitung, buku lawas lahir dari buah pikir dan perjalanan penulisnya yang kalau dibaca di masa saat ini selayaknya kita sedang diajarkan bagaimana caranya untuk menghargai halusnya metafora hingga keindahan bahasa, di mana aspek-aspek ini kerap terabai pada hasil teks yang dilahirkan AI.

Salah satu cara terbaik ketika hidup berdampingan dengan AI adalah mengingat dan menanamkan, bahwasannya kita sebagai manusia perlu memberi batasan dan tanggung jawab, bahwa dalam berproses atau melengkapi berbagai kreativitas, AI "cukup" dimanfaatkan sebagai alat bantu, bukan untuk menggantikannya.

Semoga ulasan ini bisa bermanfaat. Salam literasi, sehat-sehat selalu yaa untuk kamu yang lagi membaca artikel ini.

Penulis: Dina Amalia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun