Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! | Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan dan kesehatan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Eksistensi Koran Cetak di Tengah Gempuran Media Online dan Esensi Rohnya yang Menolak Mati

28 Agustus 2024   10:17 Diperbarui: 28 Agustus 2024   13:37 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Kompas.id (Ilustrasi Tumpukan Koran Cetak)

"Pagi hari, waktunya baca koran sembari ngopi". Kalimat yang sangat hangat terdengar sejak masa kecil di era 2000-an, bahkan mungkin kalimat ini sudah melekat sejak masa 90-an, di mana biasanya keluarga dari mulai bapak hingga kakek memiliki rutinitas membaca koran di pagi hari sebelum berangkat kerja dengan ditemani secangkir kopi.

Koran cetak menjadi media yang telah berhasil mengubah dunia sejak satu abad terakhir ini. Dengan kualitas dan karakternya yang sangat aktual dalam menyuguhkan ragam berita ke masyarakat luas, menjadikan koran cetak sebagai media paling terpercaya. 

Selain aktual, koran cetak juga dikenal sangat cepat dalam proses penyajiannya alias berkala dan up to date. Maka tak heran jika bagi sebagian orang, khususnya bapak-bapak, agaknya terasa hampa jika melewatkan pagi hari tanpa baca koran.

Tak kalah dari isinya, masa-masa pengantaran koran juga sangat melekat dari diri koran cetak yang hingga kini terus terbayang-bayang, di mana setiap pagi buta para loper sangat gesit untuk mengantar koran ke rumah-rumah, sapaan khasnya selalu menyambut para pembaca dengan gembira "koran, koran", terkadang juga dibarengi dengan membunyikan bel sepeda.

Sebelum fokus ke masa-masa menonton berita dari televisi, koran cetak sudah lebih dulu menjadikan sebagian besar orang berdiskusi bersama terkait informasi-informasi yang tengah hangat diberitakan dalam lembaran koran. 

Seperti momen-momen bapak atau kakek yang setelah membaca koran di pagi hari sebelum berangkat kerja, begitu sampai di kantor langsung membahas berita yang sedang hangat diberitakan bersama rekan-rekannya. Tanpa disadari, momen-momen inilah yang menciptakan nilai sentimental dan mempererat hubungan sosial yang amat berharga.

Tergerus Gempuran Media Online

Namun sayangnya, pamor koran cetak kini dapat dikatakan semakin memudar. Media online sudah cukup mendominasi mengubah masyarakat dalam mengonsumsi ragam berita.

Koran, dahulu dikejar-kejar, banyak orang sibuk berlangganan, entah harian, mingguan, ataupun bulanan supaya tidak ketinggalan beragam informasi. Bahkan, koran sendiri kerap dijadikan sebagai media untuk propaganda, seperti partai politik, pemerintah, hingga perusahaan-perusahaan swasta. 

Tetapi kini, sebagian sudah ditinggalkan hingga gulung tikar alias sudah stop produksi dan memilih mengembangkannya secara online.

Munculnya platform digital atau media online, membuat ragam informasi dan berita terkini bisa dengan mudah didapatkan/diakses dimanapun dan kapanpun, hanya perlu jaringan dan sentuhan layar handphone saja.

Tak hanya koran saja yang ikut tergerus, tetapi loper pun ikut merasakan dampaknya. Memang, loper koran mungkin hanya terlihat menjalankan tugas yang mudah untuk mengantar koran ke rumah-rumah, namun pekerjaan ini adalah tumpuan dirinya untuk menghidupi keluarganya. 

Entah mengantar koran dengan gowes sepeda, naik motor, bahkan sampai jalan kaki pun loper akan menjalankan tugasnya. Tanpa disadari, peran loper sangatlah besar bagi media cetak, di mana ia harus menyampaikan ribuan informasi yang sudah dikemas dalam lembaran koran untuk sampai tepat waktu kepada pembaca.

Terkadang, tidak hanya sekedar mengantar koran saja, tetapi loper juga kerap akrab dengan para pembaca koran fanatik untuk sekedar berbincang santai, hingga memberikan berbagai informasi dan rekomendasi. 

Dahulu, loper menjadi orang yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya setiap pagi dengan senyuman ikhlas dan sapaan khasnya "koran, koran".

Saat ini, loper masih ada, namun tidak seramai dahulu yang sering kita lihat berlalu-lalang di jalan. Bahkan, sebagian kini memilih untuk menjualnya secara satuan alias bukan berlangganan, dan bisa kita temui seperti di pasar pagi atau lingkungan luar mall tertentu, biasanya ia akan berjualan secara keliling menawarkan satu per satu atau door to door.

Mereka yang Stop Produksi dan Beralih Ke Media Online

Melansir dari tempo.co, per tahun 2021 tercatat ada sekitar 593 media cetak, namun di tahun 2022 hanya tersisa 399 saja. Beberapa diantaranya seperti, surat kabar sinar harapan yang tutup pada tahun 2015, kemudian pada tahun 2020 indopos memutuskan untuk tutup dan disusul oleh koran tempo yang memutuskan untuk beralih ke media online, pada tahun 2022 harian republika juga memutuskan beralih ke media online, dan di tahun 2023 koran sindo juga mengumumkan berhenti melakukan penerbitan koran baik cetak ataupun versi e-papernya, hingga media cetak lainnya baik koran ataupun majalah.

Mewarta dari IKIP Siliwangi yang mengolah data dari Serikat Perusahaan Pers, selain tergerus gempuran media online, ada beberapa penyebab yang membuat media cetak memutuskan untuk gulung tikar, salah satunya karena pendapatan yang sangat menurun drastis dan jika dilirik melalui kacamata bisnis, yakni karena pertumbuhan dari pendapatan yang mengalami deselarasi atau perlambatan.

Seperti yang sudah disinggung pada judul dan poin diatas, satu diantara beberapa penyebab media cetak khususnya koran berjatuhan, yakni karena tergerus platform digital atau media online. 

Mengapa demikian? Perlu diketahui, bahwa besar pendapatan perusahaan media cetak digantungkan dari sekian banyaknya eksemplar yang laku terjual dan juga berasal dari iklan, di mana kedua pendapatan tersebut saling berpengaruh. Bisa dibayangkan, jika minat pembaca sudah mulai menurun dan pergi, maka pendapatan yang bergantung dari hasil penjualan (eksemplar) sudah otomatis ikut menurun. 

Ditambah dengan para pengiklan yang sudah pasti hanya memasang iklan pada media strategis karena menyasar khalayak luas/ramai, jika pembaca koran berjumlah sedikit, maka pengiklan pun akan angkat kaki dan tidak memasang iklan lagi di koran.

Sebagai contoh nyata dari 2013 hingga 2017 yang diwarta dari IKIP Siliwangi dan Katadata, pada periode januari hingga september tahun 2013, total belanja iklan pada media cetak tercatat sekitar 25 triliun, namun angka tersebut berkurang sekitar 13% di tahun 2017 yang hanya mencapai 21,8 triliun. 

Angka tersebut menjadi saksi, bahwa bukan hanya total pembaca saja yang mengalami penurunan, melainkan pengeluaran iklan juga berkurang dan mengalami penurunan.

Jika, kita tengok di masa sekarang ini, sudah sangat jelas sekali bahwa sebagian besar orang jauh lebih memilih untuk bergantung pada gawai alias mau mencari informasi apapun itu pasti menggunakan akses internet atau media online, selain sangat fleksibel dan cepat, juga sangat murah. Maka, peran platform digital atau media online inilah yang secara signifikan terus menggerus pembaca dan peminat media cetak khususnya koran.

Masih mewarta dari sumber yang sama, (khususnya di Indonesia) penggunaan internet melalui handphone tercatat sebanyak 60% (baik digunakan untuk mengakses beragam situs dan mencari/membaca ragam informasi), selebihnya menggunakan PC/laptop pribadi.

Hal tersebut, jelas memperlihatkan bahwa generasi masa kini bahkan hingga yang akan datang lebih menyukai media online dalam mencari dan membaca ragam informasi.

Lantas, bagaimana nasib koran cetak saat ini?

Tentu masih ada! Sebagian perusahaan media cetak yang masih beroperasi, masih menjalankan aktivitas percetakan dan penyebaran koran seperti sedia kala. Masih terdapat pembaca fanatik yang hingga kini berlangganan koran dan seperti biasa diantar oleh loper. 

Sistem penerbitan dan berlangganannya pun juga masih sama yakni secara berkala, dari mulai setiap hari hingga mingguan. Kalau kita mau beli mendadak alias satuan, juga bisa! Kita bisa membelinya secara langsung ke loper keliling yang dapat ditemui seperti di pasar pagi atau lingkungan luar mall tertentu, biasanya loper berkeliling dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

Sumber Foto: koran.tempo.co (Tampilan Cover Koran Digital)
Sumber Foto: koran.tempo.co (Tampilan Cover Koran Digital)

Kemudian, bagi perusahaan media cetak lainnya, sudah memutuskan untuk bertransformasi ke versi digital sepenuhnya. Media yang bertransformasi, umumnya mendistribusikan koran dengan membangun sebuah website. 

Dalam jenis koran digital sendiri, sebagian media masih menjalankan sistem yang sama seperti cetak, yakni sistem berlangganan misalnya untuk per bulan atau mingguan, sistem ini biasa disebut juga dengan member prioritas atau premium. Untuk tampilan versi digitalnya pun, ada yang hanya sekedar tampilan website biasa, namun ada juga yang menggunakan cover seperti koran cetak.

Pudar Sih... Tapi Ruhnya Menolak Mati!

Pernah merasakan membuat kliping dari koran?

Rupanya kegiatan tersebut masih ada sampai sekarang!

Agaknya, kaget ketika mendengar beberapa anak SMP di zaman sekarang mencari koran, ketika ditanya untuk apa, sautnya untuk membuat kliping! Masih sama seperti dahulu kala, mereka mengincar judul, foto, dan isi tertentu, kemudian digunting-gunting hingga ditempel.

Melihat masih ada kegiatan membuat kliping, rasanya seperti bernostalgia ke era 90-2000 an, di mana anak-anak sekolah berbondong-bondong mencari koran yang kemudian diambil bagian judul, foto, dan isi yang pas, tak lain untuk tugas yang diberikan oleh bapak/ibu guru. 

Rasanya semangat betul ketika mendapat tugas ini, seperti mau berjelajah ketika mulai mencarinya, kalau orangtua tidak ada stok koran pasti mencari kerumah-rumah tetangga, dan ketika sudah dapat rasanya fokus sekali hingga senang bisa menggunting lekukan korannya sesuai kreasi kita, kemudian ditempel entah di buku tulis ataupun kertas hvs.

Bagi pembaca fanatik, koran cetak tidak pernah mati, walaupun lebih sering berinteraksi melalui gawai, koran tetap menjadi alternatif untuk menghilangkan penat dari dunia teknologi. Mungkin boleh saja terlihat jadul, tetapi koran cetak membuat pengalaman membaca jadi khidmat, dari mulai fisiknya dengan tekstur yang khas, lipatan halamannya, aroma kertasnya yang juga sangat khas sekali, ditambah dengan kefokusan berita yang tertuang di dalamnya.

Tak dapat dipungkiri juga, ketika koran cetak sudah selesai dibaca, maka terbitlah beragam fungsi yang dimilikinya. Bagi pembaca fanatik, agaknya membuang koran yang telah dibaca dengan begitu saja adalah hal yang mubazir, namun jika disimpan pun lama kelamaan akan menumpuk hingga menjadi sarang kuman, dan pada akhirnya kebanyakan koran cetak kerap dimanfaatkan untuk berbagai hal rumah tangga.

Kalau zaman dulu, tak jarang yang memanfaatkan koran cetak bekas untuk membuat kerajinan tangan, entah memang ditugaskan dari sekolah ataupun sekedar membuatnya saja, seperti dijadikan kotak tisu, tempat pensil, vas bunga, keranjang, pajangan, hingga tas.

Koran cetak, turut menjadi saksi perjalanan bangsa dan zaman, rohnya seakan menolak mati, fisiknya masih suka dicari-cari, sangat mudah dan murah untuk mendapatkannya dengan keaktualan informasi yang tertuang di badannya.

Penulis: Dina Amalia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun