Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! ~ Best In Opinion Kompasiana Awards 2024 ~ Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Eksistensi Koran Cetak di Tengah Gempuran Media Online dan Esensi Rohnya yang Menolak Mati

28 Agustus 2024   10:17 Diperbarui: 28 Agustus 2024   13:37 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Kompas.id (Ilustrasi Tumpukan Koran Cetak)

Tak hanya koran saja yang ikut tergerus, tetapi loper pun ikut merasakan dampaknya. Memang, loper koran mungkin hanya terlihat menjalankan tugas yang mudah untuk mengantar koran ke rumah-rumah, namun pekerjaan ini adalah tumpuan dirinya untuk menghidupi keluarganya. 

Entah mengantar koran dengan gowes sepeda, naik motor, bahkan sampai jalan kaki pun loper akan menjalankan tugasnya. Tanpa disadari, peran loper sangatlah besar bagi media cetak, di mana ia harus menyampaikan ribuan informasi yang sudah dikemas dalam lembaran koran untuk sampai tepat waktu kepada pembaca.

Terkadang, tidak hanya sekedar mengantar koran saja, tetapi loper juga kerap akrab dengan para pembaca koran fanatik untuk sekedar berbincang santai, hingga memberikan berbagai informasi dan rekomendasi. 

Dahulu, loper menjadi orang yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya setiap pagi dengan senyuman ikhlas dan sapaan khasnya "koran, koran".

Saat ini, loper masih ada, namun tidak seramai dahulu yang sering kita lihat berlalu-lalang di jalan. Bahkan, sebagian kini memilih untuk menjualnya secara satuan alias bukan berlangganan, dan bisa kita temui seperti di pasar pagi atau lingkungan luar mall tertentu, biasanya ia akan berjualan secara keliling menawarkan satu per satu atau door to door.

Mereka yang Stop Produksi dan Beralih Ke Media Online

Melansir dari tempo.co, per tahun 2021 tercatat ada sekitar 593 media cetak, namun di tahun 2022 hanya tersisa 399 saja. Beberapa diantaranya seperti, surat kabar sinar harapan yang tutup pada tahun 2015, kemudian pada tahun 2020 indopos memutuskan untuk tutup dan disusul oleh koran tempo yang memutuskan untuk beralih ke media online, pada tahun 2022 harian republika juga memutuskan beralih ke media online, dan di tahun 2023 koran sindo juga mengumumkan berhenti melakukan penerbitan koran baik cetak ataupun versi e-papernya, hingga media cetak lainnya baik koran ataupun majalah.

Mewarta dari IKIP Siliwangi yang mengolah data dari Serikat Perusahaan Pers, selain tergerus gempuran media online, ada beberapa penyebab yang membuat media cetak memutuskan untuk gulung tikar, salah satunya karena pendapatan yang sangat menurun drastis dan jika dilirik melalui kacamata bisnis, yakni karena pertumbuhan dari pendapatan yang mengalami deselarasi atau perlambatan.

Seperti yang sudah disinggung pada judul dan poin diatas, satu diantara beberapa penyebab media cetak khususnya koran berjatuhan, yakni karena tergerus platform digital atau media online. 

Mengapa demikian? Perlu diketahui, bahwa besar pendapatan perusahaan media cetak digantungkan dari sekian banyaknya eksemplar yang laku terjual dan juga berasal dari iklan, di mana kedua pendapatan tersebut saling berpengaruh. Bisa dibayangkan, jika minat pembaca sudah mulai menurun dan pergi, maka pendapatan yang bergantung dari hasil penjualan (eksemplar) sudah otomatis ikut menurun. 

Ditambah dengan para pengiklan yang sudah pasti hanya memasang iklan pada media strategis karena menyasar khalayak luas/ramai, jika pembaca koran berjumlah sedikit, maka pengiklan pun akan angkat kaki dan tidak memasang iklan lagi di koran.

Sebagai contoh nyata dari 2013 hingga 2017 yang diwarta dari IKIP Siliwangi dan Katadata, pada periode januari hingga september tahun 2013, total belanja iklan pada media cetak tercatat sekitar 25 triliun, namun angka tersebut berkurang sekitar 13% di tahun 2017 yang hanya mencapai 21,8 triliun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun