Mohon tunggu...
Dina Amalia
Dina Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Bouquiniste

Biasa disapa Kaka D! | Hidup pada dunia puisi dan literasi | Etymology Explorers | Mengulik lebih dalam dunia perbukuan dan kesehatan | Contact: dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Book-Shaming": Racun Penghakiman Pencinta Buku

9 Juni 2024   08:17 Diperbarui: 9 Juni 2024   12:20 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Unsplash/Matthew Feeney

Apakah kamu pernah mendengar book-shaming? Atau bahkan kamu pernah mengalaminya? Bagi sebagian orang khususnya pencinta buku mungkin sudah tidak asing lagi dengan book-shaming, dan bagi bagian sebagian yang lainnya mungkin baru saja mendengar sebutan 'book-shaming'.

Istilah atau sebutan book-shaming sendiri mencuat sudah beberapa tahun terakhir ini di dunia buku, yakni merupakan tindakan seseorang (seperti berkomentar negatif atau merendahkan atau menghina) pembaca buku karena genre-genre tertentu yang disukai. Singkatnya, mengejek pilihan buku bacaan seseorang. Alhasil, membuat si pembaca tersebut tampak merasa malu, bahkan sampai tidak percaya diri lagi.

Sebagai contoh, seperti narasumber bernama Kak Vira yang mengungkapkan pengalamannya melalui Kompas.id, di mana beliau merupakan pencinta buku-buku komik romansa hingga mengoleksinya, namun kegemarannya itu justru dicap 'alay' oleh kakaknya sendiri, menurutnya hal tersebut bercanda, akan tetapi jadi menimbulkan rasa kurang nyaman pada dirinya.

Penyebab terjadinya book-shaming karena beberapa hal, dua diantaranya seperti dari opini seseorang terhadap genre bacaan yang disukai oleh orang lain (si pembaca), dan bisa juga karena ketidaktahuan seseorang terkait latar belakang si pembaca yang mungkin saja sudah kebiasaan berkat didikan orang tua atau memang sudah memiliki hobby membaca sejak ia kecil.

Melansir dari Sintiaastarina.com, ada tiga ciri-ciri book-shaming, berikut diantaranya.

1. Mengkotak-Kotakan Si Pembaca 

Book-shaming bisa terjadi karena hadirnya anggapan atau pandangan yang mengkotak-kotakan pembaca dari segi genre, umur, bahkan hingga gender. Seperti misalnya, buku-buku fiksi komik hanya pantas dibaca oleh anak-anak, orang dewasa cocoknya baca yang berat-berat seperti tentang politik, dan sebagainya.

Sebagai contoh, ketika duduk dibangku SMA ada teman yang suka sekali membaca buku-buku komik, kalau lagi ada jam kosong di kelas terkadang ia isi dengan membaca komik. Namun, suatu waktu ada yang mengomentari dirinya, "Sudah SMA kok bacanya komik". Orang-orang yang berkomentar menganggap bahwa, seusia beliau lebih pantas membaca buku-buku yang selaras dan pas, seperti buku-buku self improvement, atau buku-buku novel.

2. Merendahkan dan Menghakimi Bacaan Seseorang

Kedua, ketika seseorang merendahkan buku bacaan orang lain karena menurutnya kurang pantas atau tidak selaras. Selain itu, penghakiman bisa terjadi karena melihat kebiasaan seseorang yang memang suka atau hobby membaca buku, entah di ruang kelas, ataupun di ruang terbuka, namun si pembaca justru diberi label seperti 'Sok pintar', 'Kutu buku' dan sebagainya. Tanpa disadari label atau cap yang diberikan tersebut dapat membuat si pembaca jadi minder atau malu.

Melansir dari Kompas.id, seperti pengalaman yang diungkap oleh narasumber bernama Kak Nabila seorang Literatour, di mana ketika masa sekolah ia suka menyelipkan waktu mainnya untuk membaca buku ketimbang main di lapangan atau di kantin seperti teman lainnya, namun kebiasaannya itu justru dianggap sebagai anak aneh. Padahal menurutnya, ketika membaca di ruang publik bukanlah ingin dilihat sebagai anak yang pintar, melainkan bentuk dari kesukaannya terhadap membaca.

3. Merasa Buku yang Dibaca Jauh Lebih Keren

Masih dari laman yang sama, diungkap bahwasannya book-shaming terjadi disaat diri pelaku merasa buku bacaannya jauh lebih keren dan berisi, seperti genre yang biasa dibaca misalnya dari sastra dan ditulis oleh legenda-legenda sastra ternama, sehingga menutup diri untuk membaca genre-genre lainnya namun juga membuatnya menjadi kurang suka sampai merendahkan pembaca lain yang menyukai genre berbeda.

Ikut Terpengaruh

Bagaikan racun, book-shaming memiliki efek yang cukup berpengaruh terhadap kepercayaan diri pembaca. Masih dari narasumber yang sama, yakni Kak Nabila, yang sebelumnya sangat suka membaca di ruang terbuka atau ruang publik, jadi merasa was-was dan memilih tempat yang sekiranya aman untuk membaca seperti di rumah.

Sedangkan pengaruh yang dirasakan oleh Kak Vira, yang sebelumnya memiliki kesukaan dalam membaca buku-buku komik romansa, namun karena terpengaruh dari ledekan dan komentar orang, jadi ikut beralih membaca genre yang orang lain komentari.

Pengaruh-pengaruh tersebut selaras seperti seruan yang pernah di share oleh Kak Windy Ariestanty melalui akun instagramnya dengan caption 'Stop Book-Shaming' dan dikembangkan lagi oleh Kak Sintia Astarina melalui laman blognya, bahwasannya book-shaming sangat memperngaruhi sikap pembaca, berikut poin-poin dan penjabarannya.

1. Jadi merasa malu ketika membaca genre tertentu di ruang terbuka atau ruang publik

Seperti contoh nyata diatas, ketika pernah mengalami book-shaming sering kali jadi merasa malu untuk membaca genre yang biasa dibaca di ruang publik, dan lebih memilih membaca genre-genre atau buku-buku populer yang sebenarnya sama sekali tidak disukai.

2. Membeli buku yang jauh dari minat diri sendiri

Masih selaras dengan poin pertama, selain malu juga memiliki rasa was-was dan memilih genre buku lainnya supaya tidak di book-shaming lagi. Poin ini diungkap sebagai hal yang memaksakan diri sendiri, karena membaca genre lain yang rasanya sangat sulit sekali untuk bisa dinikmati.

3. Jadi takut untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi buku

Poin yang satu ini merupakan rasa ketakutan yang dimiliki korban book-shaming ketika orang lain meminta rekomendasi buku, perasaan takut ini selalu membayang dipikirannya karena takut dihakimi, seperti berpikir 'apakah ketika saya memberikan rekomendasi buku mereka akan suka dan terima?', 'saya biasa membaca novel-novel romansa, sedangkan mereka sukanya membaca yang berbau komedi dan fantasi, nanti malah mereka ngeledekin saya', dan sebagainya.

Itulah pengaruh-pengaruh yang biasanya timbul ketika seseorang mengalami book-shaming.

Membaca buku tidak semata-mata hanya untuk belajar saja, misalnya seperti membaca tema yang mungkin berat-berat, namun terkadang kita hanya ingin membaca buku entah untuk mengisi waktu yang kosong ataupun untuk mengulik cerita-cerita seru, karena dengan buku kita sering kali merasa terhibur dan berjelajah, membacanya suka sampai ketawa-ketiwi bahkan ada yang sampai baper dan nangis sesegukan hasil dari kesuksesan sang penulis yang mampu membawa emosi para pembaca.

Membaca buku dengan genre apapun sangatlah baik dan membaca buku di ruang baca manapun tentunya menjadi hak diri yang sah-sah saja, paling terpenting adalah menghargai setiap pilihan bacaan seseorang karena menjadi salah satu bentuk keadilan diri kita dalam berfikir.

Semoga bermanfaat, sehat-sehat selalu untuk kamu yang lagi membaca artikel ini.

Penulis: Dina Amalia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun