Langkah kaki terus berlari.
Bertikai dengan emosi,
hingga memaksa diri berkompetisi.
Tiada henti memburu imbalan,
untuk terus memenuhi berbagai keinginan.
Beradu garis hidup,
tak kenal kata cukup.
Tak ada waktu sendiri apalagi waktu sunyi.
Keramaian sudah terlanjur menyelimuti diri.
Saat kencangnya langkah kaki yang terus berlari,
tiba-tiba Tuhan menegur melalui mimpi untuk segera berhenti.
Saat ramainya dunia dan bisingnya kota,
tiba-tiba sebuah pena menyapa dimeja.
Diri ini lantas berhenti,
dan mulai mengayunkan pena di atas kertas satu helai.
Ternyata Tuhan menegur untuk berhenti,
karena telah lupa mengenal diri sendiri.
Pena mengayun-menoreh untuk menafsirkan diri.
Pena memanggil untuk menikmati diri nan abdi.
Berhenti dari capainya berlari,
dan mulai berpuisi.
Menghanyutkan ego demi meredakan diri,
hingga candu menikmati sunyi.
Berhenti untuk bisa bersastra.
Bersastra hingga mampu menafsirkan sanubari nan gana.
Penulis: Dina Amalia
Ibukota Jakarta, 20 Oktober 2023.
Baca Juga: Puisi: Sang Penyair
Baca Juga: Puisi: Aku dan Buana
Baca Juga: Puisi: Berselancar di Dunia Tulisan
Baca Juga: Puisi: Diri Sendiri
Baca Juga: Puisi: Duka Menjadi Seorang Pemimpin
Baca Juga: Puisi: Ramai Dalam Tulisan
Baca Juga: Sajak Istimewa: Kepalsuan Orang Kota
Baca Juga: Sajak Istimewa: Bocah Kecil dan Sekarung Harapan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H