Mohon tunggu...
Dimitri Lim
Dimitri Lim Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Suka

Selanjutnya

Tutup

Financial

Fear Of Missing Out : Gaya Hidup Konsumtif Masyarakat

18 November 2024   21:34 Diperbarui: 19 November 2024   06:42 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ekonomi.republika.co.id

Di dunia yang terus berkembang dan inovasi produk-produk yang meluncur tanpa batas, masyarakat Indonesia dihadapkan pada suatu fenomena yang dalam bahasa kekinian, disebut sebagai FOMO. FOMO adalah singkatan dari Fear Of Missing Out atau dalam Bahasa Indonesia, takut akan kelewatan/ketinggalan. Istilah ini sebenarnya sudah beberapa waktu hidup di tengah-tengah masyarakat. Namun, tidak terikat hanya pada masyarakat Indonesia, tetapi porsi besar di tiap-tiap belahan dunia juga mengalami hal yang sama. 

Baru-baru ini, istilah FOMO semakin merajalela di Indonesia seturut meningkatnya konsumsi masyarakat. Dalam konteks ini, istilah FOMO dikaitkan dengan perilaku konsumtif masyarakat yang didasarkan pada suatu tren kekinian yang umumnya muncul dari media sosial, seperti TikTok dan Instagram. Paparan sosial media sangat berpengaruh terutama dalam mempromosikan suatu barang atau produk. Hal ini berakibat pada semakin besarnya populasi masyarakat yang turut terpengaruh untuk membeli produk yang diiklankan. 

Dengan pembeli dan pemilik produk yang semakin banyak, secara alami akan tercipta sebuah tren baru dalam khalayak umum. Beberapa yang sangat umum dijumpai adalah tren berpakaian, wisata, konser, dan makanan. Semuanya dimulai dari suatu hal kecil yang mendadak viral sehingga membawakan masa yang begitu besar. 

Dari sinilah istilah FOMO tersebut mulai disoroti oleh publik. Masyarakat Indonesia dinilai sebagai masyarakat konsumtif yang tak mampu membedakan kebutuhan dan keinginan. Akibat melihat suatu hal menarik (produk, makanan, atau konser), apalagi dari seorang artis atau pesohor, masyarakat akan langsung mencarinya seolah dunia akan kiamat tanpa hal tersebut. Mereka tak ingin tertinggal tren yang sedang booming di media sosial dan sepertinya tren tersebut adalah “kewajiban” entah sekadar ikut-ikutan atau ingin menyombongkan diri. 

Beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan dalam konsumsi masyarakat yang cukup berarti. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), total konsumsi masyarakat Indonesia di tahun 2021 mencapai angka 54,4%. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki gaya hidup yang konsumtif, terutama sebagai masyarakat modern. 

Kaum muda menjadi sorotan dalam konteks ini dengan keterbukaannya terhadap media digital dan pergaulan. Pengaruh atau influence sosial media bukan satu-satunya yang berkontribusi terhadap konsumsi masyarakat, pergaulan juga menjadi percikan api yang berbahaya. 

Ambil contoh di lingkungan sekolah, saat seorang teman datang dengan tampilan yang baru menggunakan barang baru (gantungan kunci, sepatu, kaos, celana, dll), tak jarang teman-teman yang lain akan terpengaruh untuk mengikuti gaya tersebut. Atau ketika kita adalah satu-satunya yang tidak memiliki suatu produk tersebut, maka kecenderungan untuk membeli pun menjadi sangat menggoda demi berbaur dengan sesama. 

Antrian pembeli boneka labubu (Surya.co.id)
Antrian pembeli boneka labubu (Surya.co.id)

Satu contoh yang belum lama ini menjadi perbincangan hangat adalah boneka labubu. Sebuah boneka peri yang dideskripsikan memiliki kepribadian yang jail. Dengan telinga yang meruncing, senyum licik, dan bergerigi, boneka ini dicari-cari banyak masyarakat, terutama kaum muda bahkan hingga berebut satu sama lain, seolah mengejar status sosial. Dengan jumlahnya yang terbatas dan permintaan yang meningkat, tak heran jika boneka-boneka ini kemudian dijual dengan harga yang fantastis mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 20 juta. 

Pada dasarnya, konsumsi bukanlah suatu hal yang salah. Tak ada aturan yang melarang tindakan konsumtif seperti dijelaskan tadi, tetapi fenomena ini lebih menuju kepada masing-masing pribadi dan individu. Kegiatan jual beli tentu membawa keuntungan bagi negara, tapi tidak berarti kita kemudian membelanjakan uang kita untuk hal-hal yang tidak berarti, apalagi jika bertujuan untuk mengikuti seseorang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun