Mohon tunggu...
Dita Nugrahani
Dita Nugrahani Mohon Tunggu... -

tunjukkan bahwa diri kita ada dan patut dipertimbangkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ragaka Satu

5 Januari 2012   05:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kini Satu sudah dewasa. Antara umur tiga puluhan. Jika dia kuliah telah selesai program sarjananya dan masternya tentu. Kau hanya menunduk lemas jika mengingat anak itu.

Pukul empat sore, sepeminum teh yang lalu kau kembali menyambangi pusara kecil dibelakang rumah sebelah timur. Tiga puluh tahun yang lalu. Pukul Empat sore menjelang senja seperti ini kau menangis. Tersedu dan pilu. Antara keluh dosa dan hasrat untuk mencintai. Sore yang lalu itu kau meringgis. Menahan perih dan kram perut akibat pengguguran. Sakit hati, pedih dan cita rasa perlindungan seorang ibu membuatmu bernapas sesak dan tersegal.

Semakin malam kau bhanya merapat didinding beton kamar senyapmu. Membiarkan keceran darah mengalir dari sisi paha dan vagina. Sebuah kontraksi menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Setelah kau mencoba mengingat kau yakin bahwa pengguguran itu sakit nomor satu yang pernah kau rasa. Keringat dingin mengalir ditengkukmu. Pandanganmu berkunang-kunang, kepala pusing. Jantungmu berdegup keras. Kau benar-benar merasakan darahmu mengalir cepat. Nafasmu tersegal. Kau tak lagi bisa mendengarkan suara apapun selain suara kecil yang kau bayangkan nanti keluar dari rahimmu.

Setelah menelan Pil seharga 600 rupiah itu, sebuah linggis besar, karatan seaakan merobek bagian rahimmu. Palu seberat 100 ton menimbun pinggang belakang, serta air air dalam keadaan mendidih menguyurmu. Linggis laknat itu terus saja menusuk dan merobek perutmu. Kau pejamkan mata sekuat tenagamu. Saat itu kau ingin mati saja. Kau berharap malaikat maut memberimu ampunan dengan mencabut nyawamu.

Tak perlu kau mengingat sakit lagi, kau rasa seonggok daging beserta darah mengalir memenuhi lubang vagina. Nyaris kau tak ingat apa-apa lagi. Namun entah kekuatan apa, matamu membuka, telingamu melebar, seakan kau ingin mendengar tangis jabang bayi. Diam pekat, sesaat kau lupakan semua perihal. Kau sisir darah kental dibawah selangkangan, kau buang cawet yang membuatmu tak sabar. Seonggok daging dengan mata hitam. Jemarinya kecil, kakinya pendek, hanya sebesar biji kacang tanah. Namun semua itu nyata. Bahkan dalam kulit transparan itu kau seakan bisa melihat detak jantung dan edaran darah.

Tangismu mengharu. Seribu kesalahan kau rasa penuh. Dan kau yakin akan mengingat hal itu sampai kau pikun. Sesal yang berkepanjangan akna menemani ingatanmu.

Dalam gelap malam kau membawa bocah bermata gelap itu ke balakang pekarangan. Membuatkan lubang sedalam 30 cm. Menguburnya. Dan menutup kembali lubang tak seberapa itu. Diatas selaras bambu rayapan kau tuliskan SATU, nama yang kau pilih untuk anakmu. Dan kau yakin bayi itu laki-laki.

Diantara pekik kembang api pesta tahun baru. Tak terhiraukan galau hatimu, yang ada hanyalah perih untuk menyambut satu persatu letusan kembang api. Letupan hatimu terlalu meriah untuk diuangkapkan. Lebih dari letupan perta rakyat dimalam menjemukan dan menjijikkan itu.

II

“aku hamil”

Lelaki didepanmu terperangah. Matanya menyipit. Lalu menatapmu sinis. Sekian lama tanpa bahasa menjembatani. Kemudian nafasnya berat, dalam, dan panjang.

“kau ingin aku mengugurkan bayi ini?”

“ya, jika kau mencintaiku” jawaban dari lelaki yang menghamilimu dan sama sekali tidak kau inginkan pada awalnya. Lelaki itu memelukmu. Tersenyum dan merangkulmu. Sebelum pulang lelaki itu menyelipkan amplop kecil, yang kau pastikan bukan pil pencuci perut ataupun pil untuk sakit demam.

Semalam dan beberapa malam berikutnya kau yakinkan bahwa lelaki itu mencintaimu. Dan seperti katanya kau juga mencintai lelaki itu. Kenapa kau lebih mencintai sesuatu dalam perut yang tak kelihatan dibanding lelaki yang telah kau kenal.Tanyamu meyakinkan seperti kata lelakimu beberapa kali.

III

Pukul empat sore ini kau termenung.

“aku sering bermimpi tentang dia, seorang lelaki muda yang mengenalkan aku pada gadisnya, yang bercerita tentang kawannya, dia juga menanyakan mengapa ku beri nama Satu, aku katakan kau seorang perjaka yang bunda lahirkan pada tanggal satu ketika tahun baru, kau anak bunda nomor satu dan satu-satunya. Bahkan sempat aku pekikan sumpah demi Tuhan untukmu bunda hanya melakukannya dengan satu Penis saja. Lalu dia akan mengatakan, kalau begitu bunda juga harus bersatu denganku, menemaniku. Kemudia aku katakan, iya nanti bersama papapun juga. Dia tumbuh menjadi lelaki yang tampan. Mengerti sakitku dan mengerti bahagiaku. Oh iya amat bahagia sekali rautnya saat aku menambahi nama Ragaka didepan namannya. Tak apa kan? ahhh Sayang kau tak pernah menatapnya. ” Gumanmu teramat pelan.

Lalaki beruban dihadapanmu membisu. Seakan mengeja tiap katamu. Entah menganggabmu sudah gila atau membenarkan ceritamu. Sedikit saja dia tidak mengulang cerita, diam dan hanya terhenyak. Diciumnya beberapa kali perempuan munggil dipangkuannya.

“cucuku datang dari Medan” katanya. Dan kau tak lagi menghiraukan semua itu. Gambaran senyum Satu membuatmu tak bergeming. Persiapan pesta tahun baru nanti malam telah meriah. Kau yakin jika malam nanti akan merayakannya bersama Satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun