Orang Tua Gila
Rima datang dari keluarga yang sederhana. Semestinya normal saja.
Keluarganya adalah tipikal keluarga Indonesia pada umumnya.
Yang tinggal di sebuah kampung yang cukup guyub.
Sedikit pembeda mungkin: ayah Rima adalah seorang pendongeng.
Di akhir hari kerjanya yang melelahkan, ayah Rima hampir selalu menyempatkan diri untuk ‘mendongengi’ anak perempuannya itu.
Bukan cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, karena Bapak tidak mau anaknya jadi baik tapi lembek.
Bukan juga cerita Cinderella, karena ide menunggu pangeran berkuda putih mengurai kusutnya dunia kurang bisa dicerna.
Apalagi cerita Putri Salju, karena anak gadis tidak sepatutnya tinggal dengan banyak pria yang bukan muhrimnya.
Seringkali, isi cerita pengantar tidur dari Bapak adalah bahwa
Bapak beruntung memiliki Ibu dan Rima.
Hidup tidak bergelimang harta, tetapi setiap hari sangat berbahagia dengan suka cita yang berkelimpahan.
Semua karena rasa syukur dan rasa cukup.
Bapak berkata: di depan, berkarya di masyarakat hanya bisa dimulai dengan memiliki potensi diri.
Maka kerja keras wajib dimulai dari sekarang.
Membesarkan,
Mendidik,
Menyekolahkan, dan
Pada masanya, menikahkan Rima
Adalah tanggung jawab Bapak dan Ibu sebagai orang tua.
Bukan Rima yang ingin dilahirkan di dunia, tetapi Bapak dan Ibulah yang ingin memiliki Rima.
Rima tidak berhutang apapun pada Bapak dan Ibu.
Segala kerja keras
Semua waktu yang digunakan untuk belajar
Keputusan demi keputusan yang diambil Â
Adalah untuk masa depan Rima sendiri.
Untuk kesuksesan atau pun kegagalan dia sendiri.
Beranjak dewasa
Rima mencapai sebuah pemahaman atas apa yang selama ini diucapkan bapaknya.
Di usia mereka yang senja, Bapak dan Ibu Rima bukan peminta-minta.
Mereka tidak mengharapkan pembiayaan dari Rima atau pun menyodorkan jadwal rutin kunjungan orang tua.
Bapak dan Ibu bahagia ketika Rima dan cucu-cucu mengunjungi mereka.
Menerima apabila Rima memberi sedikit angpao.
Dan bersuka cita apabila ada rejeki dan waktu untuk bepergian bersama.
Tetapi tidak pernah meminta.