Mohon tunggu...
DiMei
DiMei Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang murid di sekolah kehidupan

Seorang manusia dan murid yang biasa-biasa saja. Ingin berbagi cerita kepada semua yang mau sama-sama belajar tentang apa saja. Berharap tulisan saya dapat menjadi sebuah titik kecil di dunia yang kadangkala terlalu sibuk untuk sekadar berhenti sejenak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Tua Gila

8 Oktober 2023   05:52 Diperbarui: 10 Oktober 2023   04:18 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang Tua Gila

Rima datang dari keluarga yang sederhana. Semestinya normal saja.
Keluarganya adalah tipikal keluarga Indonesia pada umumnya.
Yang tinggal di sebuah kampung yang cukup guyub.

Sedikit pembeda mungkin: ayah Rima adalah seorang pendongeng.
Di akhir hari kerjanya yang melelahkan, ayah Rima hampir selalu menyempatkan diri untuk ‘mendongengi’ anak perempuannya itu.

Bukan cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, karena Bapak tidak mau anaknya jadi baik tapi lembek.
Bukan juga cerita Cinderella, karena ide menunggu pangeran berkuda putih mengurai kusutnya dunia kurang bisa dicerna.
Apalagi cerita Putri Salju, karena anak gadis tidak sepatutnya tinggal dengan banyak pria yang bukan muhrimnya.

Seringkali, isi cerita pengantar tidur dari Bapak adalah bahwa
Bapak beruntung memiliki Ibu dan Rima.
Hidup tidak bergelimang harta, tetapi setiap hari sangat berbahagia dengan suka cita yang berkelimpahan.
Semua karena rasa syukur dan rasa cukup.

Bapak berkata: di depan, berkarya di masyarakat hanya bisa dimulai dengan memiliki potensi diri.
Maka kerja keras wajib dimulai dari sekarang.
Membesarkan,
Mendidik,
Menyekolahkan, dan
Pada masanya, menikahkan Rima
Adalah tanggung jawab Bapak dan Ibu sebagai orang tua.
Bukan Rima yang ingin dilahirkan di dunia, tetapi Bapak dan Ibulah yang ingin memiliki Rima.

Rima tidak berhutang apapun pada Bapak dan Ibu.
Segala kerja keras
Semua waktu yang digunakan untuk belajar
Keputusan demi keputusan yang diambil  
Adalah untuk masa depan Rima sendiri.
Untuk kesuksesan atau pun kegagalan dia sendiri.

Beranjak dewasa

Rima mencapai sebuah pemahaman atas apa yang selama ini diucapkan bapaknya.
Di usia mereka yang senja, Bapak dan Ibu Rima bukan peminta-minta.
Mereka tidak mengharapkan pembiayaan dari Rima atau pun menyodorkan jadwal rutin kunjungan orang tua.

Bapak dan Ibu bahagia ketika Rima dan cucu-cucu mengunjungi mereka.
Menerima apabila Rima memberi sedikit angpao.
Dan bersuka cita apabila ada rejeki dan waktu untuk bepergian bersama.
Tetapi tidak pernah meminta.

Di kala hampir semua orang tua berpegang teguh pada keyakinan bahwa:
“Kalian sewaktu kecil, dibesarkan oleh orang tua.
Diberi makan
Dididik
Disekolahkan
Dinikahkan
Sekarang giliranmu merawat orang tua.
Kamu bayar hutang budimu kepada orang tua.
Kalau tidak, berarti kamu anak durhaka.”

Cara berpikir Bapak dan Ibu sungguh menginspirasi dia.
Anak tidak berhutang apapun kepada orang tua.
Bapak hanya beberapa kali mengulang pesan ini kepada Rima:

Marang wong tuwo, cukup loro perkarane:
Dipikul dhuwur
Dipendhem jero

(Kepada orang tua, cukup dua hal ini:
Diangkat tinggi-tinggi
Dikubur dalam-dalam)

Bapak berpesan bahwa cara terbaik untuk merawat orang tua adalah dengan dua cara:
1.Mengangkat derajatnya. Yaitu tidak melanggar norma atau melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya.
Maka wajib menjaga nama baik diri sendiri dan keluarga besar.
2.Berkunjung ke pusara wajib hanya untuk mendoakan dan melepas kangen.
Cheng beng bukan untuk berkeluh-kesah kepada orang tua yang sudah tiada karena tengah diterpa masalah duniawi yang dialami.
Maka wajib bekerja dengan keras dan bersungguh-sungguh agar hidup dijalani dengan suka cita dan berkecukupan.

Rima ingat Bapak berkata, “Mungkin Bapak dan Ibu adalah orang tua yang gila apabila dibandingkan dengan banyak orang tua lain di luar sana.
Tapi kegilaan ini adalah karena kami sayang luar biasa kepada Rima.
Silakan Rima melanglang buana.
Temukan
Usahakan
Wujudkan apa saja yang membuat Rima berbahagia.
Bapak dan Ibu sudah tua.
Wajib untuk bisa menemukan kebahagiaan kami sendiri.
Terbanglah, sayang.
Kami yang tinggal di sini senantiasa mendoakan kamu dari jauh.”

Masa tua seperti inilah yang akhirnya Rima impikan juga.
Masa senja yang berbahagia; yang mandiri—tidak ngalem.
Yang tidak menuntut pembayaran hutang budi oleh anak
Inilah arti menjadi orang tua yang sebenarnya:
Harus gila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun