Satu kata ini telah mengoyak batin seorang Meri.
Satu kata ini yang berhasil mengacak-acak petang hari Meri di ujung minggu.
Satu kata yang begitu buruk rupa bagi seorang Meri ini adalah ‘seharusnya’.
‘Seharusnya’ ini tidak terjadi.
‘Seharusnya’ ini yang terjadi.
Terjadi pergolakan di dalam hati Meri tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya terjadi di petang hari itu.
Meri menjadi tidak hidup, walau dia tidak mati.
Meri harus berusaha logis, meskipun dia hampir menangis.
Meri ingin marah, padahal dia tau tidak ada yang salah.
Pikirannya berkelana ke dunia ‘seharusnya’.
Buah karma mempertemukan Meri dengan Sang Burung Hantu.
Meri sangat menyayangi dan mempercayai Burung Hantu kawan karibnya ini.
Dengan cara yang sangat implisit, Meri mencurahkan beban pikirannya kepada Sang Burung Hantu.
Berharap dia memahami apa arti kalimat-kalimatnya yang penuh dengan perumpamaan yang kabur.
Sang Burung Hantu pun dengan lihai menyelami pikiran Meri.
Meski belum lama berkawan, Sang Burung Hantu begitu memahami Meri dan buah pikirnya; seolah-olah mereka pernah berkawan karib di kehidupan masa lampau mereka.
Baik.
Kembali ke petang hari yang kelam tadi.
Sang Burung Hantu pun menyandingkan kata ‘seharusnya’ dengan ‘waktu’.
Meri menangkap pesan mendalam tentang ‘waktu’ dari Sang Burung Hantu yang disampaikan dengan cara yang lembut dan tidak menggurui.
Dan di sinilah Meri mengalami sebuah penyadaran.
Kawan, siapa yang tau berapa banyak waktu yang kita punya di dunia ini?
Untuk berbahagia
Untuk bersyukur
Untuk berbagi
Atau untuk sekadar menikmati lembutnya sentuhan matahari?