Nona tak mau pergi ke cafe yang saya ajukan. Ia lebih memilih Warung Ceu Mumun, sebuah tempat makan Sunda di pinggir ibu kota.
"Bikin aku bahagia gampang. Nasi hangat sudah bikin bahagia."
Tentu saja saya turut bahagia mendengarnya. Warung Ceu Mumun yang berada di pinggir Jalan Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan itu sudah menyelamatkan saya.
Ingin mengajaknya tinggal di desa, di sebuah rumah, di tengah-tengah sawah yang padi, beras, dan nasinya berlimpah. Tanaman-tanaman yang subur dan peternakan yang sederhana, namun cukup.
Warung Ceu Mumun tampak seperti warkop atau warteg di pinggir jalan, namun beda rupa. Ia kecil dan sederhana. Mobil hanya muat satu untuk parkir persis di depannya. Beruntung kami dapat tempat.
Nona membicarakan pecak nilanya. Pedas dan bumbunya yang ia suka.
Ia memilih menu itu dan saya memilih menu bawal bakar. "Ini juga enak." Nona menambahkan sambal tempe pada menu pesanan.
Di sela-sela menunggu pesanan, antara Mbak pramusajinya saling mengobrol bahasa Jawa. Kami berdua terkekeh karena Ceu Mumun itu kan nama Sunda, tapi malah dengar mereka berbahasa Jawa. Tidak masalah sih. Tidak apa-apa juga. Zaman sekarang sudah globalisasi dan tidak menutupi diri dari multidimensi, multisuku, dan multi-ideologi.
Siang hari, cuaca cerah, kehadiran pecak ikan dan ikan bakar dengan sambal sungguh menyenangkan selera. Meskipun cuaca panas saya tetap memesan teh tawar hangat, sedangkan Nona memesan es jeruk manis, "Es jeruknya jangan asam ya, Mbak."
Kami mulai menyantap dan mencoba masing-masing pesanan. Pecaknya itu wangi, sedikit asam segar, dan pedas. Pecak itu memang seharusnya menyegarkan. Bumbunya yang bertaburan di atas ikan dan sekitarnya juga enak dimakan begitu saja. Kuahnya ditaruh di atas nasi merupakan sebuah kemantapan. Nona puas melihat saya "keenakan" mencoba pecaknya.Â
Kombinasi yang menarik juga ada pada ikan bawal bakar saya. Manis, kental, gurih, dan sambalnya pedas manis. Saya selalu suka wangi asap bakar yang ada di makanan.
"Cobain ini," kata Nona. Tempe yang dileburkan tidak secara halus dicampur dengan sambal segar. Saya pun mengambil sambal tempe itu dan menaruhnya di nasi. Kemudian, "Hu ha hu ha!" Saya kepedasan. Semua menu pesanannya segar dan membuka mata, membuat tidak mengantuk, namun berkeringat.
Di tengah kenyang dan rasa pedas, saya meminum teh tawar yang masih panas. Air mata pun langsung keluar ketika teh panas itu bercampur lidah yang memerah. Nikmat sekali rasanya. Nona juga meminum teh tawar itu dan tentu ia berurai air mata. Tapi, tolong jangan salah sangka. Itu adalah air mata bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H