Tahu-tahu, kami sudah sampai di Sentul. Seperti halnya tahu-tahu, kamu sudah ada dalam pelukanku. Sore itu jalan yang lancar membuat kami tak menyadari betul dan setengah jam kemudian, tiba-tiba kami sudah sampai di kawasan yang dituju.
Mata kami sibuk mencari kafe, tempat ngeteh, atau semacamnya. Tempat yang nyaman berduduk lama. Ditambah kudapan karena kami lapar di sepanjang jalan.
Musababnya penumpukan pekerjaan di akhir pekan yang tak bisa diselesaikan di meja kerja, namun mungkin bisa diselesaikan di meja yang disertai kopi, teh, atau singkong yang renyah.
Di sentul banyak pilihan. Kami bingung harus ke mana. Tempat mana yang terenak atau tempat mana yang ternyaman? Atau tempat mana yang termurah? Hehe pilihan termurah berupa opsi dan protes lirih kepada pemerintah bahwa harga sudah banyak yang melonjak.
Keputusan itu datang, setelah berjalan kaki memutari jalan pedestrian dan taman di kawasan Taman Budaya Sentul. Hampir setengah lingkaran kami buat dengan berjalan. Lalu pilihan kami jatuh pada kafe Tujuh Cerita.
Tempat duduk outdoor yang seperti teras dan taman yang nyaman menyambut kami di depan. Kabin kecil seperti foodtruck, namun tampak bersifat permanen terlihat sebagai pusat sumber keuangan dan makanan.
"Aku lapar. Mau ini!" seru Nona melihat singkong di menunya. Selain itu, ia juga memesan minuman segar, yaitu butterscotch latte.
Karena sedang mengurangi kopi, saya memesan semacam mocktail dengan pilihan sirup dan buah segar. Saya mengantuk karena kurang tidur dan butuh yang bisa membuat mata saya terbuka. Saya harap kesegaran minuman itu bisa membuat saya terjaga.
Semua yang dipesan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dari butterscotch lattenya yang manis, singkongnya yang renyah dan lembut sekaligus, sampai mocktail manis, asem, dan segarnya. Tidak ada kurang dari apa yang kami perkirakan. Tidak ada ekspektasi berlebihan. Ekspektasi memang kadang bisa menyakitkan.
Vibe atau suasananya juara. Suasananya hangat dengan nuansa oranye kecoklatan. Meja kayu, lantai berpola, sampai dinding putih, membuatnya sangat nyaman. Apalagi di sore hari, saat salah seorang dari mereka membuka semua korden yang sebelumnya tertutup. Cahaya sore masuk melalui jendela yang sangat besar. Pemandangan taman rerumputan dan lapangan sepak bola membuat hati senang.
"Habis ini ke sana, ya," pinta Nona. Tentu saya mau ke sana. Duduk di rumput dan berkumpul seperti orang-orang di sana, bagaikan piknik di pinggir ibu kota.
Namun, sebelum saya keluar dari kafe Tujuh Cerita, salah satu yang sangat saya syukuri sudah memilih kafe tersebut adalah tiba-tiba seseorang datang bersama teman-temannya duduk di kursi luar, di bagian teras dan taman-taman. Ia adalah Mario Kahitna.
Wajah Nona langsung memerah. Ia mengaguminya. Perasaan, sama saya tidak sebegitunya. Ah kepingin mengumpat. Tapi ya sudahlah. Mungkin saya juga akan begitu jika melihat Yuni Sarah. Meskipun begitu, saya sangat senang melihat Nona senang. Sore yang indah dan rasanya ingin lagi ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H