Pintu kereta adalah primadona, baik duduk tepat di pintu kereta maupun di sisinya. Nyaman sekali karena ada angin sepoi, pemandangan, dan napas yang bebas walaupun lutut terancam beton dan mesti berdiri ketika memasuki stasiun. Kalau hujan turun, bagiku itu anugerah. Basah sedikit tidak apa. Aku menikmatinya.
Duduk di pintu membuat kita terpapar angin segar secara langsung. Kau pikir di dalam kereta dengan puluhan ketiak dan beberapa orang yang belum mandi tidak membuat mata sakit dan kepala berkunang-kunang?
Suka ada yang menaruh permen asem atau jahe di paha atau tas lalu pergi dan kemudian dia kembali lagi sembari menagih uang kepada yang mengambil dan membuka bungkus permen tersebut. Teknik pemasaran yang unik, menggoda, namun mengandung unsur scam dan pemaksaan. Sulit bagiku menolak permen asem. Mereka tahu saja aku suka dan kebetulan sedang butuh permen.
Pernah dulu saat aku kecil, ayah mendudukkanku di sisi pintu kereta bersama adikku. Ayah dan ibu ada di sisi lain pintu. Tiba-tiba ada pemuda muncul dan mengajak kami mengobrol sambil teler. Ia mengira kami hanya berdua.
Ayah tidak tinggal diam. Ia membentak dan pemuda itu pun kabur. Setelah dewasa dan mengetahui sedikit tentang dunia bawah tanah, ternyata aku dan adikku hampir saja terancam sesuatu yang gelap. Terlalu gelap dan miris jika aku menuliskan apa yang anak-anak jalanan rasakan.
Aku tidak meromantisasi tentang dinamika kereta listrik ekonomi waktu dulu. Tentang jendela dan pintu yang terbuka, pedagang dan pengamen yang lalu lalang, hingga para penjahat yang berkedok.
Tentu kondisi KRL sekarang jauh lebih baik, lebih tertib, lebih taat demi kenyamanan bersama. Penjahat, durjana, dan orang-orang yang iseng dalam kesempitan memang selalu ada. Bukan berarti dengan kondisi yang lebih baik orang-orang seperti mereka tidak ada.
Suatu kali saat dalam perjalanan pulang kerja di kereta kekasihku menelepon, "I love you, Mas," katanya. Aku diam agak lama dan dia ngeh, "Lagi duduk mepet-mepet ya?" Aku tertawa kecil, "Iya. Bapak-bapak," bisikku.
Ia malah makin menjadi-jadi. "I love you! I love you! I love you!" serunya. Akhirnya, aku menyerah dan berbisik lembut, "I love you, Sayang."
Aku rasa bapak-bapak yang duduk di sebelah dan saling bertemu paha denganku bisa mendengar pembicaraan kami. Aku pasrah jika ia mengatai aku pria yang bucin. Masa bodoh lah.