Mungkin Judul ini tepat untuk menggambarkan bagaimana keadaan perangai masyarakat Minangkabau di era globalisasi yang terjadi begitu pesat dan cepat saat ini. "Adaik Nan Basandi Syara', Syara' Nan Basandikan Kitabullah yang merupakan falsafah hidup orang minangkabau, dimana adat yang berdasarkan ajaran agama dan agama yang berdasarkan kitab suci Al-Qur'an seolah sirna dan terlupa oleh kenikmatan surga dunia sesaat.Â
Segala cara dilakukan dan dihalalkan untuk mendapatkan harta,tahta dan jabatan tanpa memperdulikan landasan hidup orang minang yakninya, "Syara' mangato, Adaik mamakai" yang artinya Islam mengajarkan, memerintahkan serta menganjurkan. Sedangkan adat melaksanakan hubungan antar masyarakat dengan etika dan moral sebagai landasan dan acuan.Â
Acuannya yaitu Al-Qur'an serta Sunnah Nabi Muhammad SAW. Nilai moral yang menunjukan perilaku santun  merupakan ciri khas masyarakat minangkabau yang seolah-olah hilang ditengah kesibukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang disebabkan oleh godaan untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Seperti yang kita tahu aparatur negara sangat sibuk untuk membereskan dan membersihkan orang yang tidak jujur, serta segelintir manusia rakus dan tamak yang memberikan ketidakadilan di bumi Indonesia khususnya di ranah minang itu sendiri.Â
Beberapa hal diatas hanyalah segelintir masalah Minangkabau masa kini yang harus dititikberatkan kepada pemuda-pemudi ranah minang sebagai pengemban penuh penerus ranah minang dalam menyikapi arus globalisasi yang berjalan begitu cepat dan pesat.
Ditengah tantangan gaya hidup globalisasi, pemuda dan pemudi minangkabau diibaratkan, "Pambao Runtuah Tunggak Nan Lah Rabah". Mereka seakan-akan sangat jauh dari jati diri mereka sebagai penerus ranah minang. Begitu banyak pergeseran yang  terjadi pada saat ini. Jika dahulu minang terkenal dengan baju kurung yang bahkan sampai di jadikan lagu 'baju kuruang', tapi jika kita lihat sekarang keaadannya yang lebih terkenal dengan istilah ' baju kurang'.Â
Bagaimana dengan moralnya? Seringkali ketika membaca surat kabar, tak pernah ada putus-putusnya dan bahkan sering menjadi headline utama tentang perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dilakukan oleh orang minang, apakah budaya malu yang merupakan ciri khas minang itu telah hilang ? Hal tersebut merupakan bukti keterpurukan pemuda-pemudi minangkabau dalam menjaga sikap dan etika sesuai falsafah hidup, "urang awak".
Tatakrama dan kearifan masyarakat minang nan ramah dan elok pun seolah hilang ditelan bumi. Sikap acuh yang ditunjukan pemuda minang merupakan salah satu faktor hilangnya budaya tersebut. "Nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago- Nan baiak iyolah budi, nan elok iyolah bahaso"Â (Yang kuriak ialah kundi, yang merah ialah sago, yang baik ialah budi, yang indah ialah bahasa).Â
Namun dalam kehidupan nyata, banyak orang di daerah Minangkabau tampak tak ramah, apalagi bertutur bahasa yang baik. Padahal pepatah itu mengandung ajaran Adat untuk mendidik masyarakatnya berbudi pekerti yang luhur. Kalau demikian, maka relevanlah mereka prihatin dan bergesernya pandangan terhadap nilai-nilai budaya Minangkabau yang mereka yakini sebelumnya sebagai budaya yang tinggi.Â
Sikap saling hormat-menghormati kepada orang tua sudah mulai pudar. Kisah "Malin Kundang" hanya menjadi bahan tertawaan oleh pemuda minang saat berani membantah dan melawan kepada orang tuanya. Nasihat orang tua hanya jadi catatan sampah yang berlalu dari telinga kiri keluar ditelinga kanan.Â
Batas-batas antara lelaki dan perempuan telah hilang hanya demi satu tujuan, agar terlihat gaul dan tidak ketinggalan zaman. Pemuda yang dulunya tidur di masjid, sekarang hanya angan-angan belaka.Â
Bahkan, untuk ke masjid pun tidak pernah untuk melakukan sholat berjamaah. Solidaritas pemuda yang kuat, yang ditunjukan melalui Persatuan Pemuda Negeri yang diwakilkan oleh Karang Taruna, kini telah punah digantikan club/komunitas yang gemar membuang-buang waktu hanya untuk kesenangan dunia serta meresahkan masyarakat.
Tidak dipungkiri, semua akibat dari perkembangan globalisasi yang menuntut agar setiap orang  tidak tertinggal, tidak memberikan manfaat yang begitu besar bagi masyarakat Indonesia. Amat disayangkan, pemuda dan pemudi minangkabau sendiri tidak menyaring perihal apa yang didatangkan dari globalisasi tersebut. Mereka tidak bisa menyaring mana yang baik dan buruknya dari jati diri dan tatakrama pemuda  minang itu sendiri.Â
Sebagai bukti yang kuat pula, sekarang randai sebagai kesenian tradisional anak nagari yang dulunya merupakan permainan mereka sekarang kalah bersaing dengan permainan anak modern, seperti band dan dance. Kebanyakan pemuda minang akan datang berbondong-bondong untuk menonton pertunjukan band dan dance, sebaliknya mereka enggan untuk menonton pertunjukan randai. Hal ini tentu saja akan membuat keberadaan randai semakin berkurang, karena untuk menontonnya saja banyak yang enggan, apalagi mengambil peran di dalamnya.
Menelik sejarah Indonesia, maka kita akan menemukan deretan nama tokoh nasional yang memiliki darah keturunan Minangkabau. Banyak tercatat dalam sejarah Indonesia Orang Minangkabau yang memainkan kiprahnya di pentas nasional, mulai dari bidang politik, budaya dan sastra, agama, dan juga ekonomi. Sebut saja Moh. Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Buya Hamka, Tuanku Imam Bonjol, Sutan Syahrir, M. Yamin, M. Natsir, dan masih banyak lagi nama-nama putra Minang yang dikenal sebagai tokoh nasional.Â
Sederatan nama tersebut seolah telah mengukuhkan Minangkabau sebagai industri otak pada masanya dulu. Namun jika kita melihat kondisi saat ini, sangat riskan jika sekarang generasi muda pada saat ini justru tidak kenal dengan pahlawan yang berasal dari daerah minang, yang mampu membawa nama daerah minang ke kancah internasional.Â
Generasi muda lebih mengenal artis-artis luar, Â yang bahkan bisa dikatakan sangat minim dengan nilai moral dan rawan ke maksiat, sebut saja sederatan artis-artis korea, boyband dan girlband, bahkan sampai kesejarah masa lalunya mereka tau, tapi kenapa ketika ditanya tentang tokoh nasional, yang jelas nyata hadirnya, bukan rekaan seperti film korea, generasi sekarang tidak ada yang tahu. Apakah cerita itu memang tidak pernah disampaikan, atau mereka yang memang tidak peduli ?
Keadaan ini tentu begitu mengiris hati dan perasaan, ketika para perantau daerah Minangkabau diseluruh penjuru negeri ibu pertiwi berusaha untuk melestarikan variasi budaya Minangkabau, namun usaha itu seakan-akan sia-sia karena masyarakat daerah Minangkabau itu sendiri tidak mampu melestarikan budayanya sendiri. Dan ketika  budaya minangkabau diklaim oleh negara lain, lucunya pemuda minangkabau merasa begitu geram.Â
Namun ketika kita ditanya oleh orang lain, bagaimana sejarah budaya minang yang diambil atau bahkan diklaim oleh negara itu lahir ? Kita hanya diam mensiasati pertanyaan tersebut. Ketika kita kembali ditanya mengenai kisah "Malin Kundang", masih saja ada orang yang tidak mengetahuinya. Dan juga ketika Malaysia mengklaim rendang adalah salah satu masakan tradisional Malaysia, masyarakat Minang begitu geram dan marah dengan keadaan tersebut, bahkan masyarakat Minang ingin Indonesia untuk menyatakan perang kepada Malaysia.Â
Namun, pernahkah kita bertanya, bagaimana cara membuat rendang kepada pemuda dan pemudi Minagkabau saat ini ? Mereka hanya diam dan membisu, dengan jawaban terbata-bata, "Tidak tahu, karena saya hanya bisa memakannya."
"Tatilungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun. Tarapuang-rapuang samo hanyuik, tarandam-randam samo basah." Harusnya pemuda minangkabau memiliki rasa solidaritas untuk bersama-sama menjaga utuh adat dan budaya minangkabau, supaya bisa lancar menjalankan aktivitas diera globalisasi saat ini. Sesuai dengan pepatah minang diatas, hendaknya masyarakat minangkabau, telungkup sama-sama makan tanah, terlentang sama-sama minum embun, terapung-apung sama-sama hanyut, dan terendam sama-sama basah.Â
Hendaknya seluruh pemuda membulatkan tekad untuk dapat menyatukan visi bersama menjaga adat dan budaya agar tetap utuh di dalam keseharian masyarakat. Bukan seperti saat ini, pemuda banyak yang tidak peduli dan masih mengedepankan sikap individualisme dan apatis.
Apa yang salah dengan kondisi masyarakat Minang saat ini ? Adat tidak lagi menjadi pembimbing bagi kehidupan masyarakat minang. Banyak orang berpendapat, Â ini akibat dari era globalisasi dan perkembangan teknologi yang merubah tatanan sosial masyarakat dunia.
Jangan sampai orang lain menertawakan adat minang, dengan mengatakan, "Pemuda minang seperti Malin Kundang, karena ketidaksopanannya menghormati orang yang lebih tua".Â
Karena tidak akan ada arti ilmu pengetahuan, Â jikalau akhlak dan budi pekerti itu telah musnah. Kato Nan Ampek hendaknya menjadi dasar pemuda-pemudi Minang untuk memiliki budi pekerti nan luhur.
Sudah saatnya seluruh komponen masyarakat Minang kembali membangun kehidupan yang dilandasi adat. Jika persoalan ini tidak menjadi perhatian yang utama, maka Kebudayaan Minang atau Kehidupan Masyarakat Minang seperti yang di gambarkan oleh lagu minang yang dinyanykan oleh Febian, Minang hilang tingga kabau ! Hendaknya kita sebagai orang minang merasa bangga dengan variasi kebudayaan Minang yang beragam, dengan menginterprestasikannya, bukan hanya dengan sekedar bangga, tapi dengan melestarikan dan membudayakan adat-adat yang seharusnya dikembangkan.
Semoga tulisan ini dapat membangunkan pemuda Minangkabau. Jangan sampai kilau pemuda Minang hilang dan sejarah manis Minang terhapus oleh modernisasi yang meninggalkan sejarah tokoh politik Minang, seperti Moh. Hatta sebagai Proklamator Bangsa, merasa kecewa karena pemuda Minang tidak menjaga adat dan budaya. Bangkitlah generasi emas Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H