Kota Baghdad memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah Islam, terutama pada Zaman Keemasan Kekhalifahan Abbasiyah. Didirikan oleh Khalifah al-Mansur pada tahun 762, kota ini menjadi pusat politik, budaya, dan ilmiah dunia Islam. Karena letak geografisnya yang strategis di tepi Sungai Tigris, Baghdad menjadi persinggahan penting di jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Timur dan Barat dunia.
Baghdad sebagai  pusat intelektual terkenal dengan berdirinya Baitul Hikmah, sebuah lembaga penerjemahan dan penelitian yang menarik para cendekiawan dari berbagai negara. Kota ini juga menjadi tempat berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain astronomi, matematika, kedokteran, filsafat, dan sastra. Kemajuan ini menjadikan Baghdad sebagai simbol kejayaan peradaban Islam dan terus memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia hingga saat ini, namun era kejayaan ini berakhir ketika kota itu jatuh akibat invasi Mongol pada tahun 1258. Meskipun demikian, warisan intelektual dan budaya Baghdad masih dianggap sebagai salah satu puncak peradaban manusia dalam sejarah.
Kota Baghdad didirikan pada tahun 762 M oleh Khalifah al-Mansur, penguasa Abbasiyah kedua, sebagai ibu kota baru kekhalifahan tersebut. Baghdad didirikan di tepi Sungai Tigris dekat Efrat dan menjadi pusat perdagangan yang strategis. Letaknya yang sentral di wilayah kekhalifahan memudahkan pengawasan dan pengendalian wilayah yang luas serta memperkuat hubungan antara dunia Timur dan Barat. Al-Mansur memilih Baghdad sebagai lokasinya karena sumber daya alamnya yang melimpah, termasuk tanah yang subur dan air yang cukup untuk irigasi dan memenuhi kebutuhan penduduknya. Situasi ini juga mendukung pembangunan berkelanjutan kota-kota besar. Baghdad dirancang dengan gaya arsitektur yang sangat inovatif pada masanya. Kota ini berbentuk lingkaran sempurna dan kemudian dikenal sebagai "Kota Lingkaran" (Madinat al-Mansur). Di jantung kota terdapat istana Khalifah dan masjid utama, dikelilingi oleh tembok besar sebagai simbol perlindungan dan kekuasaan. Sejak awal, Baghdad dirancang  lebih dari sekadar pusat pemerintahan. Kota ini direncanakan sebagai pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan  Islam. Hal ini tercermin dalam pembangunan lembaga-lembaga penting seperti perpustakaan, universitas, dan pasar-pasar besar.
1. Masa Kejayaan Baghdad
- Baghdad sebagai Pusat Ilmu PengetahuanÂ
Baitul Hikmah, yang berarti "Rumah Kebijaksanaan", didirikan pada abad ke-8 pada masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah Harun al-Rashid dan mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan putranya, Khalifah al-Ma'mun. Tentang ketenarannya. Lembaga ini awalnya adalah perpustakaan kerajaan yang menyimpan berbagai manuskrip dan dokumen penting, termasuk karya klasik dari Yunani, Persia, India, dan tradisi lainnya. Harun al-Rashid dan al-Ma'mun ingin menjadikan Baghdad pusat intelektual dunia, dan mengundang ulama dari berbagai budaya untuk bertemu dan belajar di Baitul Hikma.
 Baitul Hikmah berfungsi sebagai pusat penerjemahan, penelitian dan pengajaran. Penerjemah terkenal seperti Hunayn ibn Ishaq dan al-Kindi menerjemahkan karya Aristoteles, Plato, Hippocrates, dan Galen dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, mengadaptasi pengetahuan dari tradisi Persia dan India. Selain itu, lembaga ini merupakan tempat penelitian ilmiah di berbagai bidang, termasuk matematika, astronomi, kedokteran, kimia, dan filsafat. Berkat dukungan penuh Khalifah dalam bentuk pendanaan dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan, Baitul Hikmah tumbuh menjadi pusat ilmu pengetahuan yang besar.
 Namun, setelah invasi Mongol ke Baghdad pada tahun 1258, prestise Bait Kebijaksanaan mulai memudar. Banyak manuskrip berharga yang hilang atau hancur, dan masa keemasan lembaga tersebut pun berakhir. Meski begitu, warisan Rumah Kebijaksanaan tetap hidup. Penerjemahan dan penelitian yang dilakukan di sana menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan Eropa pada masa Renaisans.
Ilmuwan Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan al-Hawarizmi memberikan kontribusi penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia selama Zaman Keemasan Islam. Dikenal sebagai "Filsuf Arab", al-Kindi adalah seorang pemikir serba bisa yang memainkan peran penting dalam pengenalan dan pengembangan filsafat Yunani di dunia Islam. Dia menulis lebih dari 260 karya tentang filsafat, matematika, optik, dan kedokteran, dan memperkenalkan penggunaan angka Indo-Arab ke dalam sistem matematika. Dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, Al-Farabi memberikan kontribusi penting bagi filsafat, musik, dan politik. Ia mengembangkan konsep negara ideal yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan mengintegrasikannya dengan ajaran Islam. Selain itu, ia mengembangkan teori musik yang sangat maju pada masanya.
 Al-Khawarizmi sekarang dianggap sebagai bapak aljabar, yang meletakkan dasar-dasar matematika modern. Dalam bukunya Al-Kitab al-Muktasar fi-Hisab al-Jabr wal-Mukabbala, ia mengembangkan metode sistematis untuk memecahkan persamaan linear dan kuadrat, yang ia sebut "aljabar". Ini menjadi dasar  istilah tersebut. Ia juga memberikan kontribusi pada astronomi, geografi, dan sistem  desimal yang menjadi standar global. Ketiga ilmuwan ini tidak hanya mewariskan pengetahuan klasik, tetapi juga memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan, meninggalkan warisan berharga bagi peradaban dunia.
- Kemajuan Ekonomi dan Perdagangan
 Pada masa kejayaannya, Baghdad adalah salah satu pusat ekonomi dan perdagangan terpenting di dunia. Letaknya yang strategis di Sungai Tigris dan dekatnya dengan Jalur Sutra menjadikannya rute transportasi penting yang menghubungkan Timur dan Barat. Baghdad memfasilitasi perdagangan barang-barang dari Cina, India, Persia, Afrika, dan Eropa, termasuk sutra, rempah-rempah, permata, tekstil, dan produk pertanian. Pelabuhan dipenuhi kapal dagang, dan pasar seperti pasar swalayan di Baghdad merupakan pusat kegiatan ekonomi yang ramai, tempat para pedagang dari banyak negara berinteraksi.
 Perkembangan ekonomi Baghdad juga didukung oleh kebijakan Abbasiyah yang mendorong pertumbuhan perdagangan dan industri. Sistem pajak yang efisien, infrastruktur yang baik seperti jalan raya dan jalur air, serta mata uang dinar emas yang stabil memperkuat aktivitas ekonomi. Selain perdagangan, Baghdad juga berkembang sebagai pusat produksi kerajinan tangan seperti tekstil, keramik, dan logam.
 Lebih jauh lagi, inovasi dalam sistem keuangan seperti penggunaan cek dan jaringan perbankan memfasilitasi transaksi yang meluas. Kota ini juga merupakan tempat para ulama Islam mengembangkan ide-ide ekonomi yang canggih, termasuk prinsip-prinsip pasar bebas dan perjanjian perdagangan. Kombinasi aktivitas komersial yang dinamis, inovasi ekonomi, dan dukungan politik dari pemerintah menjadikan Baghdad tidak hanya menjadi pusat pengetahuan tetapi juga simbol kemakmuran ekonomi di dunia Islam saat itu.
- Kehidupan Sosial dan BudayaÂ
Selama masa kejayaan  Baghdad, seni, sastra, dan musik berkembang pesat sebagai bagian dari kemakmuran budaya yang dipromosikan oleh Kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah seperti Harun al-Rasheed dan al-Ma'mun sangat mempromosikan seni dan budaya, menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para seniman, penulis, dan musisi.
Dalam seni, arsitektur dan dekorasi, Islam mencapai puncak kejayaannya. Masjid, istana, dan bangunan publik di Baghdad dihiasi dengan kaligrafi Arab yang rumit, pola geometris, dan seni arabesque. Tenun karpet, tembikar, dan pengerjaan logam juga berkembang pesat, dengan para perajin menciptakan karya-karya yang indah sekaligus fungsional.
Di bidang sastra, Baghdad menjadi pusat produksi dan distribusi karya sastra. Karya-karya seperti "Seribu Satu Malam" berasal dari kota ini dan merupakan lambang sastra Islam, yang  menggabungkan cerita rakyat, legenda, dan tradisi dari berbagai daerah. Penyair seperti Al-Mutanabbi dan Abu Nuwas menggabungkan tema cinta, agama, dan kehidupan sehari-hari dalam puisi mereka, menciptakan warisan sastra  abadi. Baghdad juga merupakan tempat berkembangnya prosa ilmiah dan filsafat, menghasilkan karya-karya yang menerangi dunia pengetahuan.
Dalam musik, Baghdad menjadi pusat inovasi dan pengembangan teori musik. Musisi seperti Ishaq al-Mawsili mengembangkan instrumen dan melodi baru, sementara  filsuf seperti al-Farabi menulis teori musik yang menggabungkan filsafat dan harmoni. Musik  tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai media spiritual dan budaya yang mendekatkan masyarakat.
Dengan dukungan  istana kerajaan dan keterbukaannya terhadap pengaruh budaya asing, Baghdad menjadi pusat utama seni, sastra, dan musik, tidak hanya mempromosikan budaya Islam tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi pengembangan peradaban dunia.
Pada masa kejayaannya, Baghdad merupakan contoh hebat multikulturalisme, dengan berbagai suku bangsa dan agama hidup berdampingan dan berkontribusi terhadap pertumbuhan kota. Sebagai ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad menarik orang-orang dari seluruh dunia, termasuk orang Arab, Persia, Turki, Kurdi, Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan komunitas lainnya. Keberagaman ini memperkaya budaya, ekonomi, dan ilmu pengetahuan kota, menjadikannya pusat peradaban dunia saat itu.
 Peran berbagai kelompok etnis tercermin dalam kontribusi mereka terhadap pemerintahan, militer, dan perdagangan. Misalnya, bangsa Persia memainkan peran kunci dalam administrasi negara dan bangsa Turki terlibat aktif dalam militer Abbasiyah. Selain itu, para pedagang dari India, Cina, dan Afrika membawa barang-barang dan ide-ide baru, yang mendorong perkembangan ekonomi dan inovasi Baghdad.
 Dari sudut pandang agama, sikap Kekhalifahan Abbasiyah yang relatif toleran menciptakan suasana harmonis di mana berbagai komunitas agama dapat hidup berdampingan. Misalnya, umat Kristen Nestorian memainkan peran kunci dalam penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab di Baitul Hikma, yang menjadi dasar keilmuan Islam. Komunitas Yahudi juga aktif dalam perdagangan, pengobatan, dan pemerintahan. Meskipun umat Islam merupakan mayoritas, kaum minoritas agama juga memainkan peran penting dalam membangun infrastruktur intelektual dan sosial Baghdad.
 Multikulturalisme ini telah memperkaya seni, sastra, dan tradisi lokal Bagdad. Perpaduan budaya daerah yang berbeda menciptakan lingkungan kreatif untuk inovasi di berbagai bidang. Meskipun ada tantangan dan ketegangan yang kadang terjadi, multikulturalisme Bagdad berfungsi sebagai model penting dari keberagaman yang produktif dan harmonis dalam sejarah peradaban manusia.
2. Kejatuhan Baghdad
Jatuhnya Baghdad pada tahun 1258  ditandai oleh sejumlah faktor internal dan eksternal yang melemahkan kekuatan kota tersebut sebagai pusat peradaban Islam. Salah satu faktor utamanya adalah kemunduran politik Kekhalifahan Abbasiyah. Selama abad-abad terakhir kekuasaan mereka, Abbasiyah kehilangan kendali efektif atas banyak wilayah mereka, yang kemudian digantikan oleh penguasa lokal dan dinasti yang lebih kecil seperti Seljuk dan Fatimiyah. didominasi oleh Konflik internal, perebutan kekuasaan, dan melemahnya kekhalifahan telah membuat pemerintahan Baghdad  rentan terhadap ancaman eksternal.
Faktor eksternal terbesar adalah invasi tentara Mongol yang dipimpin oleh Hllg Khan. Bangsa Mongol, yang terkenal dengan peperangan brutal dan kehancuran besar-besaran, mengepung Bagdad pada musim semi tahun 1258. Bagdad tidak mempunyai kekuatan pertahanan militer yang  kuat untuk menahan serangan ini, antara lain karena tentara Abbasiyah kurang terkoordinasi. Setelah serangan yang berlangsung kurang dari dua minggu, Bagdad jatuh dan ribuan penduduknya dibantai. Hrg Khan juga memerintahkan penghancuran besar-besaran, termasuk pembakaran Rumah Kebijaksanaan, yang mengakibatkan hilangnya ribuan manuskrip berharga yang berisi  pengetahuan dan warisan budaya Islam.
Apalagi jatuhnya Bagdad disebabkan menurunnya ketergantungan ekonomi. Ketika rute perdagangan internasional berubah, posisi Baghdad sebagai pusat perdagangan secara bertahap digantikan oleh kota-kota lain, dan ekonominya melemah. Dalam jangka panjang, Â pengelolaan perkotaan yang buruk, termasuk irigasi dan infrastruktur, akan memperburuk kondisi kehidupan masyarakat.
Dampak jatuhnya Baghdad sangat besar, tidak hanya bagi dunia Islam tetapi juga bagi sejarah peradaban manusia. Invasi tersebut tidak hanya menandai berakhirnya kekuasaan Abbasiyah, tetapi juga berakhirnya Zaman Keemasan Islam dalam bidang sains dan budaya. Pernah menjadi mercusuar kejayaan, Baghdad terbengkalai dan butuh waktu berabad-abad untuk pulih dari kehancuran.
TERIMAKASIH
Penulis:
 Dimas Pradita Ramadhan_23060098_Mahasiswa Ekonomi Syariah_STAI YOGYAKARTA
Dosen:
Navirta Ayu, SEI.,ME
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H