Meroketnya Harga Batu Bara
Awal tahun 2018 tercatat Harga Batu Bara Acuan (HBA) meroket ke angka 100,69 US$ / metric ton, meningkat 11 % dibandingkan bulan sebelumnya [1]. HBA didapat dari rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC) dan Platss 9500. Kondisi ini berdampak keras pada industri kelistikan nasional, tentu PLN sebagai konsumen terbesar batu bara menjadi pihak yang menanggung beban paling besar akibat tingginya harga batu bara dimana hampir 40% dari total produksi listrik nasional dihasilkan dengan memanfaatkan batu bara.Â
Faktanya, tercatat laba bersih PLN turun drastis dari angka Rp 10,98 Triliun pada September 2016 menjadi hanya Rp 3,06 Triliun pada penutupan tahun 2017 [2]. Dengan harga jual listrik rata-rata nasional sekitar Rp 1350 / kWh dan harga batu bara Rp. 1.297.242 / ton atau Rp. 1297 / Kg (asumsi kurs dollar Rp 13.578 / US$) , maka diperkirakan PLN akan menanggung beban Rp 16 Triliun untuk Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Beban yang amat luar biasa sementara PLN masih harus memikirkan untuk terselesaikannya proyek 35 GW yang sampai saat ini masih banyak yang tertunda.
Kekecewaan Terhadap Pemerintah
Langkah Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, menemui Presiden Jokowi langsung untuk membahas melambungnya harga batu bara dinilai banyak pihak sebagai langkah yang panik. Namun, langkah ini bisa sangat dimengerti apabila mengukur resiko yang sangat besar dibalik kejadian ini. Sayangnya, Pemerintah seakan tidak memberikan solusi yang tepat atas permasalahan yang terjadi.Â
Dari hasil rapat terakhir antara Manajemen PLN, Kementerian ESDM dan Pengusaha batu bara hanya menghasilkan keputusan yang abu -- abu. Menteri ESDM Ignasius Jonan justru menyarankan PLN berdiskusi dengan pengusaha tambang batu bara untuk mendiskusikan sendiri harga batu bara khusus Domestic Market Obligation (DMO) dengan mekanisme Business to Business (B to B), pasalnya selama ini harga batu bara dalam negeri khusus untuk keperluan pembangkit disamakan dengan harga batu bara di pasar dunia. Keputusan ini seakan bertentangan dengan pernyataan Menteri Ignasius Jonan yang berjanji akan menetapkan harga batu-bara dalam negeri khusus keperluan pembangkitan listrik [3].
Pada akhirnya efek domino kenaikan batu bara akan dialami oleh pemerintah yang tentu juga harus meningkatkan anggaran untuk subsidi biaya penyediaan listrik yang sangat besar, hal ini justru bertolak belakang ditengah gencarnya usaha Presiden Jokowi untuk mengalihkan subsidi listrik ke sektor yang lebih produktif.Â
Padahal secara logika sederhana,hampir seluruh tambang batu bara di Negeri ini dikuasai oleh pihak swasta maupun asing, dimana mereka dipastikan akan meraup laba bersih bekali lipat, ironisnya disaat yang sama pemerintah hanya mendapat royalti sebesar Rp 1,3 Triliun dari perusahaan tersebut. Jadi, bisa dibayangkan berapa subsidi yang harus ditambah dibandingkan dengan royalti yang didapat, jelas tidak ada artinya.
Listrik Sebagai Komoditi
PLN yang memiliki 67 juta pelanggan yang tersebar di seluruh Indonesia mulai dari kalangan rumah tangga, bisnis sampai dengan industri tentu menjadi pihak yang memutar otak paling keras. Di Negeri ini, tidak ada perusahaan lain yang dapat menandingi PLN dari sisi jumlah pelanggan.Â
Ditambah lagi, karakteristik pelanggan PLN adalah continue user dimana mereka membeli listrik secara terus -- menerus, sangat berbeda dengan perusahaan energi serupa seperti Pertamina atau PGN. Hal yang perlu ditekankan dari sedikit fakta diatas adalah bahwa semua pihak harus mulai menyadari PLN bukanlah lagi perusahaan penyedia jasa listrik, namun harus ada perubahan pola pikir bahwa listrik adalah sebuah komoditi.Â
Dari sisi pemerintah, pemerintah harus mulai menanamkan mindset bahwa electricity as economic driven bukan lagi seperti sebelumnya bahwa ekonomi yang menunjang pertumbuhan konsumsi listrik. Dari sisi PLN pun harus banyak berbenah, seperti perusahaan penjual komoditi umumnya, tentunya PLN sekarang harus mulai berpikir untuk mengembangkan strategi marketing yang tepat untuk menggenjot penjualan ditengah teknologi yang semakin maju sehingga banyak sekali kalangan bisnis dan industri yang lebih memilih untuk membangkitkan energi listrik sendiri.Â
Ditambah kenyataan bahwa sekarang hampir semua daerah di Indonesia telah mengalami surplus daya. Sejatinya, dalam keadaan yang sangat sulit ini tidak ada pilihan lain untuk terus berpikir dan tetap maju melawan tantangan.
Ditulis saat menjelang Subuh, 07 Februari 2018.
Oleh : Dimas Palgunadi
Sumber :
[1]http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/01/20/harga-batu-bara-capai-us-10625-per-metrik-ton
[2] Buku Statistik PLN tahun 2016 dan 2017
[3]https://finance.detik.com/energi/3639443/jonan-akan-atur-harga-batu-bara-untuk- kelistrikan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI