Mohon tunggu...
dimasmul prajekan
dimasmul prajekan Mohon Tunggu... Guru - Komitmen untuk lebih baik

Anak Desa Mencari Jati Diri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Pandemi, dan Komunikasi Gaya Baru

25 Agustus 2020   20:51 Diperbarui: 25 Agustus 2020   20:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gonjang ganjing Revolusi Industri Keempat saat ini memaksa setiap individu untuk terus belajar dan mengatualisasikan diri di depan gerbang zaman yang terus bergerak. Perubahan demikian cepat dan tak terelakkan. Secara tiba -- tiba banjir digitalisasi dan android menjadi keharusan yang tidak bisa ditolak. 

Bagaimana mungkin untuk menjaga watak efisiensi, seorang guru harus berkomunikasi secara jadul, berjalan kaki dalam puluhan kilometer hanya sekadar untuk menyampaikan pesan singkat seseorang. Butuh waktu dan energi yang cukup besar, bukan? Justru kontraproduktif dan lamban. Dalam hal ini, android telah mengambil alih semuanya. Andoid menjadi penyampai pesan yang bijak dan cepat dalam waktu yang serba terbatas.

Kecepatan pengiriman pesan, data, dan informasi telah membongkar pemahaman lama dari hidup konvensional dan tradional bergerak secara digitalis, cepat dan akurat. Interes terhadap kehadiran peranti teknologi, menjadi keniscayaan dari hidup kita. Dalam hidup modern, sudah tak berani hidup tanpa handphone. 

Orang -- orang sudah begitu gelisah jika keluar rumah disakunya tidak dilengkapi kotak ajaib itu. Semua akan merasa takut untuk bermufakat dengan kelambanan, ketertinggalan, dan keterpencilan. Dengan handphone yang jauh terasa dekat, yang tidak mungkin menjadi sesuatu yang masuk akal.

Prof.Richardus Eko Indrajit menyebut era disrupsi perubahan ini dengan, the future is now. Sebuah terminal pemberhentian sementara, untuk selanjutnya kita akan memasuki sebuah fase yang lebih rumit dan kian canggih. Apakah masa depan itu disebut Revolusi Industri Kelima atau apapun istilahnya, itu lain soal. 

Yang jelas, setiap individu harus menyiapkan diri agar mampu beradaptasi di dalamnya. Sejak dari budaya, gaya komunikasi, layanan, tatanan birokasi pemerintahan, hingga melakukan proses pembelajaran, semua akan terasa baru. Internet of think ( IoT ), telah mengantarkan manusia pada keadaan untuk berprilaku mengakrabinya.      

Berada di tengah - tengah era Revolusi Industri Keempat, dalam serba ketidaksiapan, semua profesi dan pekerjaaan menjadi terancam. Tidak ada jaminan sebuah kursi empuk seorang direktur, jabatan manis seorang guru, akan terus dipertahankan. Buktinya, semua jabatan strategis bisa saja didelete dari pandangan kita dalam kurun waktu begitu singkat. 

Kasak kusuk penghapusan jabatan eselon yang menjadi perbincangan hangat beberapa waktu lalu bisa menjadi realitas masa depan jika formasi itu tak dibutuhkan lagi. Tenaga padat karya yang berbasis tenaga manusia ( fisik ), secara evolutif mulai diambil alih oleh kehadiran tenaga mesin, digital, dan kecerdasan buatan.

Pada sisi ini kita harus bersungguh -- sungguh mereduksi dampak negatif kehadiran mesin - mesin yang menjadi pemangsa manusia. Kehadirannya memberikan efek kian bertambah panjangnya gerbong pengangguran. Keadaaan paling mengancam, ketika anak manusia tidak memiliki kesiapan dengan skill ( keterampilan ) yang memadai.

Pada sebagian masyarakat, tenaga kerja yang lebih mengandalkan otot dari pada otak, kian mengalami peminggiran masif, kalah bersaing dengan tenaga kerja yang mulai mempersiapkan diri dengan ragam keterampilan. Dari sudut salary dan kesejahteraan akan ditingal jauh oleh para pekerja yang berbasis keterampilan. 

Munculnya sekolah -- sekolah dengan spesialisasi dan vokasi, sesuai dengan minat bakat, dan para lulusannya sudah diorder jauh -- jauh hari oleh beberapa perusahaan yang membutuhkannya. Hampir setiap perusahaan akan menanyakan tentang pengalaman dan keahlian yang dimiliki setiap pencari kerja. Perusahaan sedikit abai terhadap kekarnya fisik sang pencari kerja.

Kemampuan para guru, sebagai bagian tenaga kerja pada akhirnya juga akan menjadi profesi terdampak untuk berubah. Ada perubahan eksponensial pada wilayah ini. 

Tidak bisa lagi harkat dan martabat guru diukur kemampuan oratoris dan kedashyatan verbalistik. Sudah banyak korban, betapa para guru yang mabuk kepayang pada kondisi ini, merasa puas dengan kemampuan yang stagnan, enggan belajar mengupgrate diri, antipati dengan digitalisasi dan komputerisasi, secara perlahan mereka mengalami pengeroposan nilai alami. Betapa banyak diklat dan worshop yang diadakan berbagai lembaga, mewajibkan setiap para peserta membawa laptop dan mahir komputer. Nah, pada titik ini mulai terasa, makna dari kehadiran teknologi.

Dari sepotong laptop atau android, kita bisa mengembara kemana -- mana. Dengan laptop dan android kita dapat melakukan berbagai kegiatan sekaligus dalam waktu bersamaan. Pada saat kita mengikuti workhop, sekali -- sekali kita bisa mengechek penjualan barang online kita melalui start up seperti Shoppe, Bukalapak, atau Blibli. Sekali -- sekali kita juga bisa menerima pesan dan berkomunikasi dengan banyak orang secara japri ataupun di WAG kita.

Kebijakan -- kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah terkait Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) yang menggunakan aplikasi Siplah ( Sistem Informasi Sekolah ) menunjukkan perubahan itu. Pengiriman data Dapodik ataupun data yang dibutuhkan Badan Kepegawaian Daerah ( BKD ) secara paperless, menjadi bukti kuat tentang perubahan besar sedang berlangsung. Pada era ini antara fisik, biologis dan digital menjadi tiga serangkai yang tak bisa diabaikan salah satunya.

Bersamaan dengan kuncup Revolusi Industri Keempat itu, tiba -- tiba dunia dikepung oleh pandemi covid19 yang begitu panjang dan belum bisa diprediksi secara valid kapan akan usai. Begitu banyak wilayah kehidupan yang terdampak belum bisa menemukan formula akurat untuk dijadikan solusi. 

Para pakar masih berdebat antara prioritas ekonomi atau kesehatan. Saya memiliki keyakinan, dengan pandemi selain sebagai ujian, Allah sedang mengalirkan ilmu -- ilmu baru, hikmah --hikmah baru. Paling kurang, para pakar punya pekerjaan rumah untuk menemukan vaksin penjinak yang paling akurat.

Hidup melalui adaptasi baru dengan mengikuti protokol kesehatan yang ada, tetap menjaga jarak, terbiasa cuci tangan, dan memakai masker. Sebuah kebiasaan baru positif yang patut dipatuhi. Inilah inti dari adaptasi kebiasaan baru itu sebenarnya. Pada saat itu pula pandemi mengajarkan kepada kita tentang komunikasi gaya baru, penyesuaian -- penyesuaian baru. 

Betapa diskusi daring, webinar, whorkshop online, pada beberapa bulan lampau tak pernah kita mengenalnya, pada era pandemi semua orang dipaksa untuk menjadi makhluk pembelajar. Webinar bertajuk Driving Skill for Teacher beberapa waktu lalu yang diikuti oleh 15.016 orang guru tersebar di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa ada semangat belajar baru terhadap kehadiran teknologi. Pandemi yang membuyarkan, tapi teknologi mampu merajut dan menyatukan.

Gagap dan gamang terhadap kebiasaan baru dalam berkomunikasi menjadi hal yang wajar, bukan menjadi penghalang untuk terus mempelajari banjirnya aplikasi, sejenis Zoom, Webeg, dan Microsoft Team. Para presenter dan narasumberpun juga tertantang untuk memasuki wilayah yang benar -- benar baru. Narasumber yang begitu asing dengan dunia broadcasting, secara mendadak harus membekali diri dengan aplikasi Open Broadcaster Software ( OBS Studio ). Inilah yang saya sebut kita harus menyesuaikan dengan kebiasaan baru, berkomunikasi gaya baru.

Kehadiran komunikasi gaya baru pada saatnya akan menjadi kebiasaan baru yang tak terbantahkan. Internet untuk segala dan kehadiran digital akan menjadi sahabat kita. Dalam dunia kita, yang semakin terkoneksi ini, internet menjadi bagian tak dapat dipisahkan dari kehidupan fisik seseorang. 

Saat ini popularitas seseorang bisa dilacak lewat jejak digital facebook, akun twitter, instagram, blog, dan profil linkedln. Dengan mengetik nama seorang pesohor di mesin pencarian Google kita akan begitu mudah mencari ragam dan rekam jejak seseorang. 

Bandingkan dengan seseorang yang sangat antipati dengan internet, dan tabu dengan segala jenis akun dan aplikasi, kita kesulitan menemukan jejak digitalnya. Dari sinilah komunikasi gaya baru menemukan pembenarnya. Maka bersyukurlah kita, ketika begitu cepat merespon era perubahan ini, menjadi entitas yang mampu mengkomunikasikan setiap jengkal informasi diri kita, secara digital, khususnya di era pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun