Saat ini kita menyaksikan adanya trend penurunan dalam penggunaan bahasa Madura Suasana sudah cukup masif dan mewabah dimana - mana. Di kantor dan instansi pemerintah, bahkan di ruang publikpun, menunjukkan suasana itu. Area yang paling azasi seperti keluarga sebagai cikal bakal berkembangnya bahasa ibu, kini mulai tergerus dan tak terlalu setia dengan bahasa Madura. Bahasa ibu mulai tergantikan, dari bahasa lokal menjadi bahasa nasional.
Lumbung -- lumbung penggunaan bahasa Madura yang selama ini eksis, juga mulai mencair. Komunitas penutur bahasa Madura yang beberapa dekade bisa bertahan, kini juga mengalami penurunan. Beberapa pondok pesantren salaf dengan tradisi komunikasi menggunakan bahasa Madura, kini juga mengalami hal serupa. Literatur klasik dengan goresan huruf pegon berbahasa Madura, lambat laun tergeser dengan naskah literasi berbahasa Indonesia. Hal ini sebagai akibat membanjirnya karya -- karya terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Sementara karya -- karya literasi berbahasa Madura sangat jarang kita temukan di ruang perpustakaan. Untungnya para Kyai saat memberikan ceramah keliling daerah masih lebih banyak menggunakan bahasa Madura.
Pada saat yang sama pondok pesantren terus membuka diri terhadap kemajemukan dan multi kultur. Dampak dari keduanya, pondok pesantren harus menerima calon santri yang berasal dari beragam etnik dan lintas bahasa. Tak ada lagi pondok pesantren yang menutup diri dari kemajemukan. Tak ada lagi pondok pesantren yang hanya menerima santri dari etnis tententu saja. Dari kenyataan ini, mau tidak mau pondok pesantren harus mengubah pola pembelajaran, mengubah bahasa pengantar, bahkan bahasa pergaulan. Kegiatan pembelajaran klasik yang menggunakan bahasa Madura kini bergeser menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam dunia pendidikan umum, persoalan yang sering muncul adalah sulitnya mencari guru bahasa Madura. Inilah negeri ironi. Terasing dalam keramaian. Kendati ada yang bersedia mengajar bahasa Madura hal itu hanya sekadar menggugurkan kewajiban, belum menjadi hobbi dan pilihan hati hurani. Muncul kegamangan dalam melakukan proses pembelajaran dikarenakan kurangnya penguasaan terhadap materi pembelajaran yang ada.
Kondisi seperti itu dipicu oleh realitas lain, begitu susahnya mencari literatur berbahasa Madura sesuai dengan konteks zaman. Kekinian dan kedisinian dalam materi bahasa Madura menjadi persoalan yang tak mudah dipecahkan. Naskah dan literatur klasik yang ada belum mampu mengakomudasi persoalan pembelajaran sesuai ruang dan waktu. Masih ada jarak antara teks dan konteks. Apalagi kalau dikaitkan dengan pembelajaran HOTS ( Higher Order Thinking Skill ) tentu keadaan jauh panggang dari api.
Apalagi menjadi guru bahasa Madura selama ini bukan out put dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ( FKIP ) prodi bahasa Madura. Prodi bahasa Madura masih langka kalau tak mau dibilang tidak ada. Para guru yang mengajar hanyalah berbekal pengalaman yang diperoleh dari praktik nyata dalam kehidupan sehari -- hari. Sebenarnya, jika FKIP Unej Jember bersedia membuka program studi bahasa Madura, saya yakin akan menjadi oase menyejukkan dari kegersangan setuasi yang sedang berlangsung. Ia akan menjadi jembatan dari permasalahan yang menggunung dalam bahasa Madura. Apalagi dengan dibukanya kampus Unej Bondowoso, menjadi sangat strategis, karena mayoritas masyarakat republik kopi adalah penutur bahasa Madura.
Karena Guru --guru yang mengajar bukan lulusan prodi bahasa Madura, tak dapat disalahkan jika bobot dan kualitas pembelajaran hanya sebatas berjalan apa adanya. Sebab bahasa Madura sebagai produk linguistik, begitu umit dan tidak banyak orang mampu mengajarkannya. Lebih ngeri lagi sebuah sekolah tak ada guru yang bersedia mengajar bahasa Madura. Saat itulah biasanya muncul para guru sukarelawan yang berasal dari etnis lain untuk mengajar.
Perlu diakui, adanya kebijakan dan pilihan politik pemerintah yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa pemersatu, bahasa perekat antar etnik, cukup berhasil. Perkembangan positif dalam penguasaan bahasa Indonesia dalam tiga dekade terakhir menunjukkan adanya peningkatan luar biasa. Bahasa Indonesia berkembang begitu dahsyat sebagai bahasa yang adaptable terhadap perubahan zaman.
Sayangnya keberhasilan itu belum diimbangi dengan konsep pelestaraian bahasa daerah ( Madura ) yang lebih membumi. Kita seperti kehilangan orientasi tentang pengembangan bahasa daerah. Lahirnya Pergub 19/2014 tentang pengajaran Muatan Lokal bahasa Jawa dan Bahasa Madura di Jawa Timur, masih belum memuaskan hasrat pencinta bahasa daerah. Sebab regulasi ini masih berada di area teoritis dan akademis  tidak merambah kehidupan yang lebih taktis dan praktis.
Berbicara tentang kecintaan kita terhadap bahasa Madura, beberapa tahun terakhir Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Bondowoso, meluncurkan beragam kegiatan. Setiap tahun, menyelenggarakan beragam lomba seperti lomba baca puisi bahasa Madura dan lomba berpidato bahasa Madura. Sebuah kegiatan yang boleh dianggap sederhana, tapi kenyataannya mendapatkan apreasiasi yang bagus dari masyarakat pencinta bahasa Madura.
 Dalam sebuah pertemuan dengan beberapa tokoh penggiat bahasa Madura, sempat mendiskusikan tentang perlunya tafsir Al Quran berbahasa Madura dan Kamus bahasa Madura ( khas Bondowoso ). Sayangnya ide bagus itu belum direalisasikan karena berkaitan dengan banyak hal. Pada saat yang sama, kita banyak kehilangan para pakar bahasa Madura. Lebih --lebih setelah berpulangnya Marsudin HS, seorang budayawan dan sastrawan Bondowoso yang banyak mewariskan karya literasi berbahasa Madura. Kita bagai kehilangan tempat bertanya tentang nasib dan masa depan bahasa Madura.